Selasa, 28 Oktober 2025

Maafkan Kami, Bumi

Hari-hari ini, panas terasa begitu menyengat

Keringat mengucur deras bahkan sejak terbangun di pagi merapat

Tak menunggu panas mereda, hujan tiba-tiba menjebak

Sungguh cuaca tak lagi bisa ditebak

Di setiap lini masa, penyakit musiman merebak

Kami tak tahu, siapa harus terkena salah

Mungkin bumi sudah terlalu lelah dan membiarkan segala makhluk di atasnya, terkena tulah

Singkatnya, bumi sedang tak baik-baik saja

Dan nyatanya, manusialah penyebab utamanya


Duhai bumi, maafkan kami telah membuatmu merenta cepat

Sampah bertebaran dimana-mana seperti daki yang memenuhi tubuh karena setahun tak mandi

Hutan gundul dan menggersang, seperti jenggot yang habis dicukur serampangan

Suhu tubuhmu memanas, seperti bayi kecil baru disuntik vaksin penyakit yang ganas


Duhai bumi, maafkan kami tak berdaya hanya mengeluh kesal melihat mereka membuang sampah sembarangan dipinggir jalan

Kami lelah mengadu, telinga mereka terlalu penuh gumpalan debu

Kami sering tertipu harapan palsu berisi janji kampanye tak bermutu


Duhai bumi, maafkan kami terpaksa membiarkanmu terengah membasuh lukamu sendiri

Banyak dari kami tak peduli, luka menganga di sekujur tubuhmu hanya demi gengsi dan perut terisi

Lahan subur dipaksa hancur, berganti bangunan megah yang bersolek bak pelacur 

Gas beracun memenuhi udara, membuktikan begitu tak berharganya nyawa yang menghirupnya

Limbah busuk mengalir deras di sepanjang sungai yang sudah penuh sampah berbagai barang bekas


Duhai bumi, maafkan kami hanya bisa bergerak lambat menjadi penyelamat dengan dada yang sesak

Otak kami menawarkan beribu solusi, namun tangan kami begitu lemah tanpa energi

Beribu kali kami hendak berlari mencoba menopangmu, kaki kami sering terjengkang si pandai besi yang arogan penuh nafsu


Duhai bumi, maafkan kami yang hanya bisa bergerak sendiri dalam sepi

Tapi kami selalu percaya gerakan kecil dengan sejuta semangat menyala, akan menjadi oase di padang gersang yang nyaris tanpa harapan

Tapi kami tetap yakin, Tuhan di atas sana tak pernah tidur menyaksikan kami tak cuma diam dalam kenistaan

Barangkali, kini kami cuma setetes air di padang pasir

Esok hari, tetes itu menjadi tsunami yang menumpas para manusia serakah tak punya nurani.

Yakinlah janji kami, bumi

Kami tak kan pernah berhenti 

***

(Sebuah keresahan diri, menghadapi kondisi bumi yang kian sakit)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar