Jumat, 18 November 2011

Pelajaran Pagi Hari

Adzan shubuh berkumandang pukul 04.25 WIB. Aku telah siap bepergian. Selesai sholat Shubuh aku berangkat bersama suami. Pagi ini aku akan berangkat ke Denpasar. Kami berboncengan motor menuju Stasiun Bojonggede. Pagi yang dingin dan  aku sungguh terkejut melihat anak perempuan kecil berumur empat tahunan berambut keriting yang biasa aku lihat setiap pagi pukul 6 saat aku berangkat kerja, telah siap sedia di dekat loket menengadahkan tangannya.
Sepagi ini nak kau telah memulai rutinitasmu? Jika saja tak buru-buru, ingin sekali aku bertanya di mana keluargamu, orang tuamu? Mengapa mereka membiarkanmu berkeliaran sepagi ini untuk mencari sesuap nasi, melawan dingin yang menyesap tulang. Padahal jika engkau sedikit terawat dan bersih, rambut keritingmu itu akan menjadikanmu anak yang lucu dan imut.
Betapa aku langsung teringat keempat anakku. Sampai aku berangkat tadi, si bungsu masih terlelap. Si nomor dua terbangun sebentar untuk bersalaman dan tidur lagi. Si nomor tiga langsung terbangun mendengar suara-suara ayah dan ibunya yang mempersiapkan diri meski biasanya ia lebih suka meneruskan mimpi pada jam yang sama. Si sulung yang paling susah bangun, langsung membuka matanya mendapatkan kecupan pamitku, lalu memelukku erat dan menangis sesenggukan enggan ditinggalkan.
Ah, betapa beruntungnya kami dibandingkan banyak orang yang masih merasakan kelaparan dan harus berjuang keras untuk mendapatkan kebutuhan mereka.
Di pintu loket kedua, seperti biasa, seorang ibu mengenakan jilbab bersama seorang anak laki-laki berumur dua tahunan. Sama seperti gadis kecil berambut keriting itu, mereka dengan setia menadahkan tangannya menunggu belas kasih para pembeli tiket kereta. Si anak lelaki pasti dengan terpaksa tak bisa beranjak jauh dari ibunya untuk menarik iba dari para dermawan. Kubayangkan lagi anak-anakku di usia itu, takkan sanggup diam dalam waktu yang lama. Mereka pasti akan berlari kesana kemari bereksplorasi dan mencoba mengenal dunia.
O ibu, tak terpikirkankah olehmu masa depan anakmu selain menjadi pengemis? Anak belajar dari apa yang dilihatnya. Jika setiap tarikan nafas anakmu melihat engkau menadahkan tanganmu, maka dalam pikiran anakmu, itulah yang akan dilakukannya nanti dewasa. Meskipun sekarang engkau hanya seorang pengemis, tak adakah keinginan dalam hatimu kelak anakmu tak mengikuti jejakmu?
Tak lama kereta ekonomi AC yang pertama datang. Setelah berebut tempat dengan para penumpang lainnya, akupun dapat duduk di gerbong dua. Itupun suamiku yang memperjuangkannya. Baru saja aku meletakkan pantatku dikursi yang kebetulan berada paling pinggir dekat salah satu pintu keluar, kulihat seorang gadis kecil berumur tujuh atau delapan tahunan dengan baju sedikit lusuh bersama ayahnya berdiri di depan pintu keluar. Mau kemana ia sepagi ini? Terbersit dalam pikiranku untuk memberinya duduk berhimpitan denganku yang kebetulan masih ada space untuk tubuh kecilnya. Namun kuperhatikan lagi, oh Tuhan. Rupanya ia tengah menjadi “mata” bagi ayahnya yang buta. Sepagi ini pula mereka tengah berangkat mencari nafkah. Tak jadi kupersilahkan ia duduk. Bukan karena ia pengamen, namun aku yakin ia akan segera turun di stasiun berikutnya. Sambil terkantuk-kantuk di tangan ayahnya, ia harus tetap terjaga untuk tak terlewatkan dari stasiun tujuan mereka. Seharusnya, ia tak berada di sini. Seperti anak-anakku dan anak-anak yang lebih beruntung lainnya, semestinya ia tengah sibuk mempersiapkan diri untuk pergi sekolah, mandi dan sarapan. Apakah yang bisa kulakukan untukmu wahai gadis kecil?
Kemudian aku teringat seorang anak lelaki yang biasa “mangkal” di dekat loket ke tiga, di seberang loket yang biasa aku mengantri. Dulu aku suka membeli tiket disana ketika aku selalu diantarkan dan turun di sisi kiri stasiun. Kini aku lebih sering membeli di loket sebelah kanan stasiun. Ketika suatu saat aku membeli tiket di loket itu, anak lelaki itu masih setia di situ dengan kantung plastik dan sebuah kertas bertuliskan permohonan bantuan. Ia  yang beberapa tahun lalu masih anak-anak, sekarang nampak beranjak remaja dengan sebersit kumis yang mulai tumbuh di atas bibirnya. Biasanya aku tak peduli apa tulisan yang tertera di kertas yang ia bawa. Paling juga permintaan sumbangan dari yayasan yatim piatu. Tapi saat itu entah kenapa, terdorong rasa penasaran, aku mencoba membaca tulisannya. Benar sebuah permintaan sumbangan untuk anak yatim yang berjumlah empat orang yang telah ditinggal mati oleh ayah mereka. Dalam hatiku, apakah ia akan selamanya menadahkan tangan dengan alasan yatim? Apakah jika kemudian dia beranjak dewasa ia tetap menjadi anak yatim? Tidakkah ia berpikir untuk lebih meningkatkan derajatnya dengan berjuang sebagaimana kawan-kawannya disekitarnya yang dengan semangat berjualan koran, tissue, permen, atau barang-barang lain yang biasa dibutuhkan oleh para penumpang  yang berseliweran di stasiun. Bagaimana aku bisa mempengaruhi jalan pikirannya?
Akupun lalu teringat dua orang anak laki-laki dan perempuan kakak beradik yang bergantian mengganti atau menambal ban yang bocor di sebuah bengkel kecil tak jauh dari keriuhan stasiun Bojonggede. Kadang tak peduli rintik hujan menemani aktivitas mereka. Sungguh perkasa engkau nak. Dan sungguh besar jasamu bagi mereka yang ingin segera tiba di rumah untuk melepaskan lelah bekerja seharian. Oh, aku sungguh kagum dengan mereka. Anak-anak seperti mereka semoga kelak menjadi anak-anak yang kuat dan memperoleh nasib yang lebih baik. Kalian akan menjadi manusia bermental baja dibandingkan anak-anak yang biasa menadahkan tangannya kepada orang tua untuk minta sesuatu.
Sekali lagi Alhamdulillah. Terimakasih ya Allah betapa beruntungnya kami. Betapa pagi ini aku mendapatkan pelajaran yang berharga untuk senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Engkau diberikan. Untuk senantiasa melihat bahwa masih banyak orang-orang yang tidak beruntung dalam kehidupan mereka. Semoga menjadikan kami makin banyak bersedekah dan membantu orang-orang yang membutuhkan.
(Suatu pagi di awal tahun 2011)