Selasa, 29 Maret 2016

Lapor Pajak lewat E-filling

Hari gini gak bayar pajak atau malas laporin pajaknya? Malu lah ya! Apa lagi dengan segala kemudahan melalui e-Filling.
Dengan e-Filling, laporan pajak tak sampai lima menit. E-Filling dapat di akses di https://djponline.pajak.go.id
Aplikasi tersebut memang sukses untuk banyak orang. Tapi ada beberapa orang termasuk aku yang mengalami kesulitan. Setelah mencoba akses masuk, ternyata ada keterangan NPWP Non Efektif.
Teman menyarankan untuk coba akses ke. https://djponline2.pajak.go.id dan hasilnya setali tiga uang.
Teman yang lain menyarankan mencoba  akses lewat http://www.online-pajak.com/id/e-filing-pajak dan beneran sukses nggak sampai lima menit.
Yuuk, buat yang belum lapor pajak, masih ada waktu 2 hari lagi. Tertib pajak, cerminan pribadi kita. Hasil pajak juga buat kita-kita kaan...!
***

#odopfor99days
#day62

Senin, 28 Maret 2016

Media, Punya Siapa?



Media itu cerminan yang punya
Terserah ia mau dibawa kemana
Si empu bilang a ia menjadi a
Si punya bilang ba, ia pun ucap ba

Media itu mudah mengarah
Tergantung arah yang di tetapkan penguasa
Bukan bagaimana kita mengasah
Tapi hitungan angka tetap utama

Mata ini memburam
Enggan menjelajah berita
Malas merayapi aksara
Samudera fitnah kian meluas
Badai kehancuran menunggu lengah, siap memangsa

Media terus saja bersuara
Lantang, menggema, menghantam
Ia tak lagi peduli nyeri ulu hati apalagi batas kesopanan
Selagi lembaran duniawi tergenggam di tangan
Apalah arti tangisan 

Media kita papa
dan kita hanya bisa merana
***

#odopfor99days
#day 61

Minggu, 27 Maret 2016

Mozaik Cinta #2

Mozaik Cinta #1

Kampung Pelarian
Ara tak tenang hanya menunggu. Ia ingat perkataan Fadia bahwa Faiz mempunyai toko bunga di kota ini. Maka ia menjelajahi pertokoan bunga yang ada. Disetiap toko yang disinggahi, ia bertanya siapa pemiliknya. Entah berapa kali ia menelan kecewa saat mengetahui pemilik toko bukanlah Faiz.
‘Dimanakah kau, Faiz?’ Ara mengeluh dalam hati. Tak dipedulikannya keringat yang bercucuran, atau perutnya yang mulai mengeluarkan bunyi-bunyian. 
“Memangnya Eneng sedang mencari siapa?” tanya salah seorang penjaga toko bunga yang ditanyai. Mungkin heran dengannya yang bukannya membeli bunga malah bertanya siapa pemilik toko. Ara tersenyum memelas.
“Saya sedang mencari sahabat saya yang sudah lama hilang kontak. Kata seorang teman, dia memiliki toko bunga di daerah sini.”
“Namanya siapa, Neng? Siapa tahu saya kenal.” Si abang penjaga toko yang berambut gondrong dikuncir itu, sepertinya tulus ingin membantu. Barangkali tak tega melihat wajah Ara yang mulai pucat kelelahan dengan keringat yang terus bercucuran. “Saya kenal hampir semua pemilik toko bunga di sini.”
“ Namanya Faiz, Bang.”
“We lha dalah, cowok, to?” si abang itu tersenyum menggoda. Ara hanya bisa tersenyum malu.
“Kalau gitu pasti bukan sahabat. Pacarnya ya, Neng?” Sekali lagi Ara hanya tersenyum, pahit.
“Tapi sepertinya saya nggak pernah dengar nama itu, Neng.” Ara langsung mengkerut, sedih.
“Tapi siapa tahu memang ada mas nya itu dan saya tidak kenal.” Si Abang berusaha menghibur Ara yang tampak sangat kecewa.”Iya, Bang. Saya mau bertanya ke toko yang lain dulu. Terima kasih.”
“Kalau nanti nggak ketemu juga, di sini banyak yang masih jomblo lo, mbak. Daripada susah-susah nyari yang nggak ada. Ups, maaf.” Si Abang menutup mulutnya karena sudah terlanjur lancang menggoda Ara.
“Maaf, Neng.”
“Iya, Bang. Nggak pa-pa. Mari!”
“Mari, Neng!”
Sekali lagi Ara mengedarkan pandangan menyisir deretan toko-toko bunga yang berjajar rapi. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah toko yang cukup besar dan apik. Toko itu bernama EKSOTIS. Ingatannya melayang pada suatu senja di ceruk eksotis. Saat terakhir kali ia berdekatan dengan Faiz. Buru-buru ditepiskannya kenangan itu. Ia segera menuju ke toko yang kelihatan berbeda dari yang lain. Bunga-bunga yang dijual juga lebih lengkap, dan mawar putih itu….mendominasi toko itu. Angannya kembali melayang pada 3 tahun silam. Setangkai mawar putih pemberian Faiz masih tersimpan di kamarnya meskipun telah kering. 
Kali ini Ara membeli beberapa tangkai mawar putih sebelum ia menanyakan siapa pemilik toko itu. Sayang sekali, yang disebutkan si penjaga bukan pula nama Faiz tapi nama seorang perempuan. Entah kenapa, Ara tetap merasa yakin, inilah toko yang ia cari. Barangkali Faiz pun tak ingin orang lain tahu ialah pemilik toko itu, jadi ia bisa saja menggunakan nama mamanya atau kakaknya. Bukankah Faiz punyak kakak perempuan. 
“Apakah pemilik toko ini punya seorang anak laki-laki?” tanya Faiz kembali, penuh harap.
“Emm… benar, Neng. Malah ia yang membantu mengurusi kebunnya. Kalau yang sering mengawasi toko ya bu Dahlia.” Darah Ara berdesir lembut.
“Apakah … emm...?” bibir Ara bergetar hendak menyebut nama nama Faiz. Sekejap kemudian ia teringat, Faiz tak ingin berhubungan dengan semua yang ia kenal. Ia telan kembali pertanyaannya.
“Eh, kenapa kak?” si embak penjaga toko itu bingung melihat Ara ragu-ragu bertanya.
“Oh, anu, bolehkah saya tahu dimana kebun bunga yang menyuplai toko ini. Saya tertarik sekali. Toko ini tampak berbeda dengan yang lain. Bunganya cukup lengkap dan segar-segar. Tentu menyenangkan bisa berjalan-jalan cuci mata ke sana.”
Maka sebuah nama desa yang sangat terpencil berada dalam genggaman Ara. Beberapa toko sempat ia datangi untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa feelingnya benar.
Seperti tak ingin membuang waktu sedikitpun, Ara segera mencari penyewaan mobil. Ia hanya beristirahat sholat dan makan siang sebentar lalu segera meluncur menuju sebuah desa yang dikatakan sama si embak penjaga toko Eksotis. Tiga jam perjalanan ke sana membuat Ara tak bisa berhenti memikirkan Faiz. Bayang wajahnya seolah lekat dimatanya. Jika tak sedang menyetir, mungkin ia sudah semakin dalam masuk dalam lamunannya.
Memasuki desa yang dituju, ia menanyakan letak kebun bunga yang ternyata cuma satu-satunya di desa itu.
“Apakah pemiliknya bernama pak Faiz?”
“Benar neng.” Rasanya seperti siraman air telaga dihatinya saat mendengar jawaban itu.
“Kalau rumahnya pak Faiz letaknya di mana.”
“Ndak jauh dari sini, neng. Lurus aja lalu belok kanan sampai ketemu danau kecil. Rumah pak Faiz di depan danau itu.
“Em, maaf pak. Pak Faiz yang bapak maksud yang....em, kakinya....”
“Maksud neng, cacat? Iya beliau pakai kursi roda. Memang neng ini kenal dengan Pak Faiz? Kata orang-orang kampung sini, beliau orangnya baik sekali. Kalau saya sih, dari desa sebelah. Tapi pak Faiz memang sangat terkenal baiknya.”
“Baiklah, pak. Terima kasih. Saya akan segera ke sana.”
“Sama-sama, neng.”
Ara melanjutkan perjalanannya menuju kebun bunga. Jalanan di desa itu lumayan bisa dilalui mobil meskipun masih berupa jalan makadam. Akhirnya Ara sampai di kebun bunga Faiz. Kebun itu sangat luas. Hamparan bunga beraneka warna dan rupa sedang berkembang, seperti pelangi melingkari bumi. Berlatar belakang pegunungan dan siluet senja, pemandangan dihadapannya begitu sempurna.
Ia selalu bisa menemukan tempat yang istimewa. Batin Ara. Ia menghentikan kendaraannya beberapa waktu, menikmati lukisan semesta yang sayang bila dilewatkan begitu saja. Ia lalu meneruskan perjalanannya mencari rumah Faiz sesuai petunjuk bapak tua yang ditemuinya tadi. Ternyata benar, rumah Faiz tak jauh dari kebun itu, hanya sekitar 300 meter. Rumah yang sangat asri dan menyatu dengan sekitarnya tanpa pagar. Terasnya menghadap danau kecil yang terawat bersih. Jantungnya serasa melompat saat dari jauh terlihat seorang laki-laki sedang duduk di kursi rodanya, menatap danau menikmati senja. Mata Ara memanas, ia nyaris tak bisa menahan diri untuk segera mendekatinya. Tapi ada sesuatu yang menahannya. Ia tak mau merusak pertemuan mereka karena ia yakin, Faiz tak akan mau menerimanya seperti dulu. Ia ingin menyiapkan pertemuan yang tak akan bisa ditolaknya. Ara buru-buru menjalankan mobilnya kembali sebelum ia benar-benar tak sanggup menahan diri untuk menemui Faiz. Selaksa bahagia menyelusup lembut di ruang hampanya melihat kekasih hatinya baik-baik saja.
Malam itu ia menginap di rumah salah seorang warga desa yang kebetulan kepala sekolah di satu-satunya sekolah yang ada di desa itu. Ia ingin menggali semua cerita tentang Faiz dan mencari celah untuk langkah yang akan dia ambil.
***
Dalam kesunyiannya, Faiz menjalankan bisnis peternakan dan kebun bunga jauh dari keramaian dan kenangan masa lalu yang menyakitkan. Ia tinggal bersama pembantunya, pak Somad dan bibi Nur, suami istri yang sudah dua tahun ini setia mendampinginya. Faiz suka termenung sendiri di tepi danau menikmati senja dan mengenang pelepah demi pelapah kenagannya bersama Ara. Hanya itu yang ia miliki. Ia tak ingin Ara tahu keadaannya sekarang.
Anak-anak kampung kadang menjadi penghiburnya. Mereka suka menemaninya setiap Sabtu sore dan ia akan bercerita atau mengajari mereka melukis. Salah satu anak yang sangat ia sukai adalah Intan. Ia anak yang cerdas dan tak malu bertanya-tanya tentang segala hal yang tak diketahuinya. Ia juga berbakat menggambar. Ia pernah menanyakan lukisan besar seorang gadis yang terpampang di dinding rumahnya. 
Saat itu Intan sedang membantu bibi Nur menyiapkan kue-kue untuk teman-temannya yang sedang asyik membuat prakarya.
“Om, lukisan gadis di ruang tengah itu bagus sekali. Seperti beneran. Lukisan siapa, om?” tanya Intan.
Faiz tersenyum. 
“Oh, itu hanya lukisan seorang gadis dalam khayalan om.”
“Ah masak sih. Pasti gadis itu ada beneran. Cantik deh, om.” Faiz tertawa.
“Namanya siapa, om?”
“Ara.”
“Om suka ya padanya?”
“Menurutmu bagaimana?”
“Menurut Intan, om cintaaa... banget sama gadis itu. Buktinya sampe om Faiz bisa melukisnya sebagus itu.” Faiz mengacak rambut Intan sambil tertawa. Intan banyak memiliki kesamaan sifat dengan Ara. Matanya yang cerdas dan berpendirian teguh, selalu mengingatkannya pada sosok gadis yang sekarang entah dimana. Mungkin ia malah sudah berkeluarga dan tak sedikitpun mengingatnya. Itulah mengapa ia sangat menyukai Intan.
“Kalau om Faiz cinta, kenapa tak menikah saja dengan dia?”
“Tapi kan om Faiz tidak lagi bisa berjalan. Pasti ia tak mau jadi istri om. Apalagi om nggak tahu sekarang ia ada dimana.”
“Menurut Intan kalau dia memang cinta harus bisa menerima kalau om bisa jalan atau enggak.”  “Kau ini sok ngerti aja, Tan.”
“Bener, om. Kayak mamaknya Arif tuh, tetep sabar waktu ayahnya Arif sakit parah nggak sembuh-sembuh. Tiap hari jagain, merawatnya sampai meninggal. Sampai sekarang mamaknya nggak menikah lagi.”
Faiz merasa tersindir dengan perkataan Intan.
“Sekarang kita nggak usah bicarakan itu lagi ya. Lagian Intan dah ditungguin teman-temannya tuh, ntar ketinggalan melukisnya.” 
Intan segera bergabung dengan teman-temannya, menyisakan Faiz yang hanya bisa menelan kepahitan dalam diam.
***

Sabtu, 26 Maret 2016

Mozaik Cinta #1

Kepingan Hati  Yang Berserak
Gadis itu membetulkan letak kerudungnya yang sebenarnya tak apa-apa. Sebuah kebiasaan bila ia merasa tak tenang atau grogi. Matanya jeli memperhatikan setiap kelebat yang melintas di sekitarnya, kentara sekali sedang menunggu seseorang. Minuman dihadapannya tinggal tersisa setengah gelas. Sementara itu makanannya baru disentuh sedikit. Sisanya hanya dimain-mainkan karena perutnya masih enggan menerima sesuatu sebelum hatinya merasa tenang.
Ia menghela napas lega ketika akhirnya yang ditunggu nampak terburu-buru menghampirinya yang telah menunggu selama 20 menit di kafe itu. 20 menit yang bagai setahun baginya. Mereka berpelukan erat, melepaskan kerinduan yang terpendam bertahun-tahun.
“Ya ampun, Ara. Sorry aku terlambat. Tadi udah mau berangkat, tiba-tiba si bos minta data. Terpaksalah kucarikan dulu. Sudah lama ya?”
“Lumayanlah. Kau masih kelihatan langsing padahal sudah punya anak. Ah, aku kangen sekali, Fadia. Lama sekali kita tak berjumpa. Tiga tahun lebih ya?”
“Iya. Kau tambah cantik dengan jilbabmu.”
Ara tersenyum.
“Bagaimana kabar teman-teman kantor?”
“Kau mampirlah ke kantor. Baik, semua baik. Ada beberapa yang baru menggantikan teman-teman yang mengundurkan diri.”
“Aku nggak bisa lama-lama, Fadia. Jadwalku ketat sekali. Habis makan siang ini aku harus mengisi seminar di hotel Mahardika. Besok siang aku sudah harus ada di Jakarta untuk bertemu dengan sesama LSM membicarakan kerjasama perbaikan lingkungan di wilayah Ujung Kulon. Makanya mumpung di sini aku sempatkan, paling tidak ketemu kamu. Habis dah kangen banget. Eh, kau pesen dulu makananmu.” 
Ara melambaikan tangan kepada pramusaji. Fadia lalu menyebutkan pesanannya.
“Sekarang kau sibuk sekali ya?”
“Seperti kubilang tadi. Tapi aku senang. Supaya aku tak punya waktu untuk melamun.” Fadia mengerutkan keningnya.
“Jangan-jangan kau masih mencintai Faiz, ya? Ya Tuhan, itu sudah lama sekali berlalu.”
Ara menghela napas.
“Aku tak bisa mencintai orang lain seperti aku mencintainya.”
“Sebenarnya hampir tak terdengar kabar lagi darinya setelah menikah dan menjalankan perusahaan papanya. Tapi belum lama ini aku mendengar kabar, ternyata dia sudah lama bercerai.”
“Apa?” Ara sangat terkejut mendengar berita tentang Faiz.
“Setelah kecelakaan yang menimpa dan membuatnya cacat.”
“Ca...cat...?” suara Ara nyaris tak terdengar bersamaan dengan air matanya yang tiba-tiba berjingkrakan di sudut matanya. “Kenapa tak pernah kau ceritakan padaku lewat email-emailmu?”
“Maaf, Ara. Aku pikir kau sudah melupakannya sebagaimana harapanku. Bagaimanapun kau harus meneruskan hidupmu sendiri.”
“Lalu dia ada dimana sekarang?”
“Entahlah. Andi bilang, ia tak tinggal dirumahnya lagi. Ia menghilang seperti ditelan bumi. Tak mau ditemui siapapun. Ia nggak pegang perusahaan papanya lagi. Katanya ia punya toko bunga yang di kelola orang lain. Ia sendiri tak pernah datang ke situ. Andi aja waktu datang ke rumahnya nanyain alamatnya yang sekarang, nggak dikasih sama mamanya. Katanya Faiz nggak mau ditemui siapapun termasuk Andi, sahabatnya. Padahal maksudnya mau memberinya semangat. Kasihan, dia.” Fadia menggenggam tangan Ara, melihat sahabatnya itu terisak lirih.
“Maaf, Ara. Aku tak menyangka sebesar itu cintamu padanya.”
Ara melihat jam tangannya sepintas. Lalu menghapus sisa-sisa air matanya.
“Sorry. Sepertinya aku harus pergi. Nanti kita lanjutkan di dunia maya, ya.”
Fadia tersenyum. Mereka berpelukan beberapa saat.
“Salam untuk suami dan anakmu ya.”
“Jaga dirimu baik-baik.” Ara mengangguk.
***
Setelah pertemuan dengan Fadia, Ara merenungkan segalanya. Kelihatannya, sebuah keputusan yang sulit harus diambilnya segera. Dan setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, ia telah memilih.
Sore itu juga, setelah bertemu dengan rekan LSM, ia kembali ke kota tempat segalanya dimulai. Pagi-pagi sekali ia mendatangi rumah Faiz untuk bertemu mamanya. Ia akan mencoba mencari tahu keberadaan Faiz.
“Ada yang bisa dibantu, nak?” tanya mama Faiz saat menemui Ara di teras rumahnya. Ara tersenyum. “Ayo silahkan duduk dulu.”
“Saya Mutiara, bu. Teman Faiz di kantor dulu.”
“O, pantesan seperti pernah lihat dimana gitu.”
“Mungkin waktu acara pertunangan Faiz dan Sarah. Saya datang waktu itu.” Ara tak tahu bahwa mama Faiz memang sering melihat dirinya di suatu tempat.
“Iya, benar. Apa yang bisa ibu lakukan untukmu, nak Mutiara.”
“Ara, bu.”
“Iya, nak Ara.”
“Kalau diijinkan, saya ingin bertemu dengan Faiz.” Mama menghela napas.
“Mungkin kau telah mendengar. Faiz sudah tidak tinggal disini lagi. Dan dia berpesan agar tak memberitahukan tempat tinggalnya pada siapapun yang berasal dari masa lalunya.” 
Termasuk akukah? Batin Ara. Tak tahukah kau aku tetap mencintaimu seperti dulu apapun keadaaanmu.
“Sebenarnya ibu juga sangat sedih dengan sikap yang diambilnya. Tapi mau bagaimana lagi. Ibu menghargai pilihannya. Dia kan memang begitu kalau punya kemauan tak mudah dibelokkan.”
“Ini sangat penting, bu. Ada sesuatu yang harus saya selesaikan dengan Faiz.”
“Kalau boleh tahu apa yang harus diselesaikan antara nak Ara dan Faiz? Barangkali ibu bisa membantu.”
“Maaf, bu. Saya belum bisa menceritakannya sebelum bertemu dengannya.”
“Sungguh, nak. Ibu tak bisa memberitahumu. Mungkin nak Ara bisa meninggalkan no telepon. Nanti akan saya sampaikan pada Faiz. Atau coba ibu telpon Faiz sekarang, siapa tahu ia berubah pikiran untuk bertemu denganmu.”  Mama kemudian memencet no telepon Faiz. Ara seketika mengejang. Akankah ia akan bertemu dengan lelaki yang senantiasa dirindukannya itu?
“Sayang sekali, nak. Tidak diangkat. Mungkin ia sedang keluar rumah dan hpnya ditinggal. Ia memang suka begitu sekarang. Tak terlalu peduli dengan hp.” Ara langsung lunglai. Ia lalu menyobek kertas dari dalam tasnya dan menuliskan no teleponnya. Meskipun Faiz pasti punya nomornya itu. Tapi siapa tahu Faiz juga sudah membuangnya bersama kenangannya.
“Baiklah, bu. Ini nomor telepon saya. Siapa tahu Faiz mau menghubungi saya. Karena saya tak bisa menghubunginya lagi dengan nomor lamanya.”
“Iya, nak. Nomor lamanya sudah tidak aktif.”
“Baiklah, bu. Saya permisi dulu. Terima kasih.”
“Maaf sekali ya, nak. Mudah-mudahan Faiz segera menghubungimu.”
Sayang sekali, sebelum mama menyimpan kertas berisi nomor telepon Ara, tak lama setelah Ara pamit, cucu kecilnya yang sedang lincah-lincahnya datang. Anak kakaknya Faiz. Dan kertas itu entah bagaimana segera menjadi mainan si kecil, tak lama kemudian hancur berkeping-keping. Mama telat menyadarinya dan merasa sangat menyesal. Ia langsung terbayang betapa kecewanya gadis itu bila tak bisa bertemu dengan Faiz. 
Ia juga sangat penasaran sekali mengapa saat melihatnya pertama, ia merasa telah mengenalnya sejak lama.
***

Note: Mozaik Cinta merupakan babak ke dua dari serial Mutiara-mutiara.

Jumat, 25 Maret 2016

Rejeki tak kan tertukar

Si fulan yang memiliki sebuah toko kelontong mengeluh, akhir-akhir ini rejekinya mulai seret akibat adanya toko kelontong baru di kampungnya. Ia mulai mencari-cari kesalahan pemilik toko kelontong baru itu. Ia menyalahkan pemilik toko baru itu sebagai penyebab rejekinya berkurang.
Benarkah demikian?
Sesungguhnya Allah telah menetapkan perjalanan dunia ini hingga akhir jaman nanti, bahkan sejak ribuan tahun sebelum dunia diciptakan.
Allah sudah menentukan perjalanan dunia jauh sebelum dunia dijadikan ciptakan
Demikian pula dengan makhluk yang hidup di dalamnya.
Seberapa banyaknya air yang diminum dan makanan yang dimakan oleh setiap makhluk pun sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Namun demikian bukan berarti lantas kita tidak perlu berusaha. Justru sebaliknya, kita perlu berusaha untuk mendapatkan rejeki yang telah ditetapkan oleh Allah. Bahkan burungpun keluar untuk menjemput rejekinya.
Dengan demikian, tak ada istilah orang lain merebut rejeki. Jika rejeki kita berkurang, memang sudah seperti itu yang tertulis dalam perjalanan hidup kita. Jikapun banyak saingan yang ada di sekeliling kita, jika Allah sudah berkehendak, rejeki kita tak kan berkurang sedikitpun bahkan malah bertambah.
Tidak ada rejeki yang diambil orang lain. Jika ada orang sholih yang dibiarkan miskin atau tidak naik-naik jabatannya, maka bisa jadi Allah sayang padanya karena Allah tahu, jika dia diberikan kekayaan atau jabatan maka ia menjadi lupa sama Allah.
Makanan yang sudah di depan mulut, jika belum rejeki maka akan lepas. Harta yang sudah berpindah ke tangan orang lain, jika masih rejeki maka akan kembali.
Jadi, sudah sepantasnya kita syukuri rejeki berapapun yang kita miliki. Dengan banyak bersyukur, maka rejeki terasa nikmat dan penuh berkah. Semoga kita termasuk dalam hamba Allah yang pandai bersyukur. Aamiin
***
#odopfor99days
#day60

Kamis, 24 Maret 2016

Cafe Cinta

Aku bisa mendengar langit runtuh di depanku.
Aku bisa melihat hatiku tercerabut tak berbentuk.
Aku bisa merasakan kehancuran merajam tubuhku.
Dan aku hanya bisa membeku.
 ***


"Hai! Apa kabar?" sapanya tergagap.
Aku tertawa ringan.
"Kok ketawa sih?"
"Yaa.. Alhamdulillah, baik. Mas sendiri gimana?"
"Baik."

Kemudian kami kembali terdiam. Sekuat mungkin aku menahan tawa di hatiku. Bagaimana tidak. Kami sering rapat bersama hampir setiap minggu jika kantor tempatku bekerja sedang memiliki proyek bersama dengan kantornya. Dan lima menit yang lalu kami baru selesai berdiskusi dalam rapat di kantor client kami. Tiba-tiba di dalam lift ini, saat kami tinggal hanya berdua, dia menanyakan kabarku. What a funny thing!
"Apa kita perlu berkenalan lagi?" tanyaku ketika tak tahan lagi menahan tawa di hati.
"Maksudmu?" tanyanya sambil menatapku bingung. Aduh, gemas sekali melihatnya seperti anak culun yang baru di marahi gurunya. Seorang Prana yang super smart dan lincah, kini seperti anak kecil merajuk pada ibunya.
Pintu lift terbuka. Aku telah sampai di lantai tujuanku. Aku keluar lift diikuti olehnya.
"It's fine, mas. Nggak usah dipikirin, " kataku tak tega melihatnya yang masih bingung. Tapi sukaaa bisa melihat sisi lain dirinya. Ups!
"Oke, mas. Aku mau naik taksi. Mas naik apa?" tanyaku kemudian.
Dia tersentak mendengarnya.
"Eh, aku bawa mobil."
"Kenapa mas nggak turun langsung ke basement?"
Dia belingsatan sesaat. Aduh kenapa sih mulutku nggak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya?
"Iya, kenapa aku jadi ikutan turun disini? Penasaran sih sama pertanyaan Tiara."
Aku tertawa.
"Tiara mau ke arah mana? Bareng aku aja yuk!"
"Nanti ngrepotin?"
"Enggaklah. Hayuk!"
Aku tersenyum mengiyakan.
Kami kembali masuk ke lift menuju ke basement 2. Kembali dia disergap kegugupan.
"Yakin mas, aku nggak pa-pa barengan nih?" tanyaku.
"Hmm. Enggak. Beneran nggak pa-pa."
"Aku takut nih."
"Kenapa takut?"
"Enggak, ah!"
"Tiara ini suka sekali berteka-teki menjelang keluar lift ya?" katanya sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Aku tertawa.
Pintu lift kembali terbuka. Kami berjalan menuju city car hijau nya yang di parkir tak jauh dari lift.
"Mobilnya keren, mas. Mas Prana suka warna hijau ya?"
"Warna favoritku biru, hijau warna kedua yang kusuka."
Lagi-lagi ups. Aku menutup mulutku. Takut keceplosan bicara lagi.
"Kenapa, Tiar? Kok seperti terkejut?""
"Enggak pa-pa, mas."
"Hari ini sudah 3 pertanyaanku yang belum kau jawab."
Aku tertawa mendengar protesnya.

Mas Prana ini tak hanya pandai otaknya, cara dia menyetirpun enak. Kencang dan smart memilih jalan yang lancar tapi nggak bikin perut diaduk. 
"Tiara langsung ke kantor? Ada meeting nggak habis ini?"
"Iya mas. Nggak ada meeting sih. Paling ada yang harus diselesaikan." 


Beberapa menit kemudian aku baru menyadari, mobilnya tidak mengarah ke kantorku maupun kantornya. 
"Kok lewat sini mas?"
Dia hanya tersenyum. Sial, sepertinya dia mau membalas tingkahku.
"Memangnya cuma Tiara yang bisa bikin teka teki?"
Aku terpaksa nyengir. Dahiku segera mengernyit ketika mobilnya berbelok ke sebuah cafe. 
Setelah memarkir mobilnya, ia mengajakku turun.
"Aku belum lapar, mas. Lagi pula ini belum jam makan siang."
"Minum atau nyemil apa gitu juga boleh. Cafe ini kayaknya asyik buat nongkrong."
Aku terpaksa menurut. Gawat nih. Alarm hatiku yang sebenarnya sejak tadi berteriak-teriak, kali ini semakin kencang bunyinya. Bisa-bisa meledak tuh alarm.
Kami, lebih tepatnya dia, memilih meja dengan sofa di lantai 2. Kami bisa leluasa memandang sekitar. Sekali lagi pilihan yang smart.
"Pesan apa, Tiar?"
Aku membuka-buka sebentar menu yang di berikan oleh pramusaji. 
"Strawberry smoothies 1."
"Saya Thai tea ice 1, mbak."
"Makanannya, pak?" tanya pramusaji cantik berusia belia itu.
"Tiar?" tanya mas Prana.
"Itu dulu deh, mas. Ntar nggak bisa makan siang aku."
Dia membuka menu kembali.
"Sushi plater 1, mbak."
"Baik, pak. Mohon ditunggu sebentar."
"Sushinya kita makan bareng ya, Tiar."
Aku cuma tersenyum lalu memperhatikan sekeliling meja kami. Sambil berusaha meredam getar yang tiba-tiba mengguncang di dalam sana. Sial. Serangan telah berbalik ke arahku. Pipiku menyemu merah.
Ia menatapku.
"Aku mau menagihmu," katanya.
Aku menatapnya tak mengerti.
"Jawaban atas 3 teka tekimu."
Aku tertawa. Thanks God! Akhirnya aku bisa membuang gugupku dengan tertawa. Meski tawa itu sekaligus menertawakan diriku yang tak lucu. Aku tak segera menjawab pertanyaannya.
"Kok malah bengong? Apa jawaban pertanyaan nomor 1?" tanyanya sambil menyentuh lembut punggung tanganku.
Aku terkesiap. Mati rasa. Adrenalinku menyebar dari ujung rambut sampai kaki. Tidaaaak...! Teriakku dalam hati. Aku terjebak. Kutarik tanganku perlahan.
"Tiara?"
Aku memalingkan mukaku yang memanas.
Hingga beberapa saat aku tak bisa bicara. Kami sama-sama terdiam.
Kedatangan pramusaji menyelamatkan ketegangan itu. Kuminum strawberry smoothiesku setelah kuaduk sebentar. Dinginnya membasahi kerongkonganku yang tercekat. Membalikkan air mata yang merayap diujung mata.
Aku harus membayar kecerobohanku yang telah memberinya peluang menyerang ku balik.
"Jawaban pertama. Mas Prana tuh aneh. Kita sering ketemu, bahkan baru saja diskusi bersama kok jadi tanya kabar. Kenapa nggak sekalian kita kenalan lagi aja."
Dia menatapku.
"Itu karena aku senantiasa kehilangan kata berada dekatmu."
Bodoh! Jawaban yang salah, Tiara!
Aku menunduk sekilas menentramkan yang tengah berdentuman di dada. 
"Aku nggak lihat mas Prana kehilangan kata saat dekat denganku..."
"...Saat berdiskusi...," sergahnya memotong perkataanku. Kembali aku tertunduk. 
"Jawaban kedua?"
"Yaah, aku..aku... Khawatir aja kalau aku numpang mobil mas Prana  trus mas Prana gugup begitu kan bisa nabrak...."
Dia tersenyum.
"Jawaban ketiga?"
"Warna?" tanyaku.
Ia mengangguk.
"Warna kesukaan mas Prana, sama denganku. Hanya terbalik posisinya."
"Lalu kenapa kau terkejut mendengarnya?"
Oh, Tuhan. Ia mulai melancarkan serangan balik. Aku benar-benar kehilangan akal.
Ia meraih tanganku, meletakkannya di dadanya. Mataku terpejam menahan perih.
"Coba kau rasakan yang bergetar di sana, Tiara."
Air mataku menetes. Tak kuasa menarik kedua tanganku.
Ia menghapus air mataku.
"Aku mencintaimu, Tiara..."
Duar....!
Meledak sudah semuanya.
***
10 th kemudian, di cafe yang sama


Aku duduk di bangku yang sama. Bangku yang aku duduki bersamanya, untuk pertama dan terakhir. Entah kenapa hari ini kakiku membawaku ke sini. Barangkali kerinduan selama bertahun-tahun yang tak lagi terbendung. 
Cafe ini masih sama seperti yang dulu.
Lampu antik di semua tiang yang ada, meja dan sofa. Lukisan-lukisan kecil di dinding, foto-foto karakter film-film klasik. Tak ada yang berubah. Hanya warna dindingnya yang dulu berwana hijau muda, sekarang berwarna coklat muda.
Aku memesan menu yang sama, strawberry smoothies, thai tea, di tambah sushi salmon. Entah apa aku akan bisa menghabiskannya nanti. Pramusajinya telah berganti.
Sambil menunggu pesananku datang. Aku mengenang kembali peristiwa itu. Dadaku mulai sesak. Aku bahkan bisa merasakan sentuhan tangannya dipunggung tanganku dan usapannya dipipiku. Aku menahan napasku. Sebuah kerinduan yang mungkin sia-sia. Pastinya mas Prana sudah bahagia dengan pendampingnya dan tak lagi mengingatmu. Tapi aku tak bisa melupakannya. Dialah satu-satunya lelaki yang aku cintai dengan seluruh jiwaku.
Hampir setengah jam aku mengenang peristiwa itu. Tiba-tiba aku dikejutkan suara langkah mendekat. Reflek aku menengadah. Dan aku membeku. 
Lelaki itu menatapku tak percaya.
"Tiara...?"
"Mas Prana...?"
"A..apa yang kau lakukan di sini?"
"Mas Prana sendiri mengapa di sini?"
"Kamu tak pernah berubah Tiara. Selalu nggak menjawab kalau ditanya malah balik bertanya."
Aku tersenyum nyengir.
"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. Ia memperhatikan pesanan yang terhidang di atas meja. Belum kusentuh sedikitpun kecuali strawberry smoothies yang kuminum sedikit. Rasanya tak tertelan. 

"Diminum Thai tea nya mas. Itu untuk mas Prana," kataku. 
Kami lalu terdiam beberapa waktu mencoba memahami pertemuan yang sungguh tak terduga. 
Ia menatapku. Aku bisa melihat kerinduan berbinar di matanya. Pasti sama seperti di mataku. Tapi aku sangat takut berharap lebih jauh.
"Apa kabarmu, Tiara?"
Aku tersenyum pahit. Mengingat pertanyaan yang sama sepuluh tahun yang lalu.
"Baik, mas. Mas Prana?"
"Seperti yang kau lihat. Angin apa yang membawamu kesini?"
"Entahlah," jawabku ragu.
"Apakah kenangan sepuluh tahun lalu?"
Aku menunduk pilu.
"Setiap tahun pada tanggal yang sama, dan jam yang sama, aku pasti ke sini. Aku ingin merasakan auramu di sini." Lirih suaranya, namun mampu merobek hatiku.
Mataku mulai memanas. Ia meraih tanganku.
"Aku mencintaimu, sama seperti dulu, bahkan mungkin lebih."
Aku tergugu.
***
2 bulan kemudian, di cafe yang sama.
Kali ini tak ada gugup dan tangis. Senyumku dan senyumnya tak pernah lepas penuh bahagia. Ia menggenggam erat tanganku. 
"Aku takkan pernah membiarkanmu menderita, Tiara."
Aku tersenyum.
Seminggu yang lalu, kerinduan dan penderitaan batin kami lunas terbayar. Ia mempersuntingku setelah ia tahu aku telah terbebas dari ikatan mantan suamiku yang ringan tangan. Meskipun demi dia aku telah rela melepaskan cinta yang begitu dalam pada mas Prana dengan resign dari tempatku bekerja dan menghilang dari radarnya demi menjaga setiaku pada suami. Tapi itu tak pernah cukup untuknya agar menghargaiku sebagai istrinya. Puncaknya ketika aku memergokinya telah menikah lagi diam-diam dengan perempuan lain. Bukannya meminta maaf, ia justru menamparku berkali-kali hingga lebam kedua pipiku. Akupun menggugat cerai. Setahun lebih aku memulihkan luka batinku. Ketika aku mulai pulih, aku leluasa kembali menikmati kenanganku bersama mas Prana, kekasih yang tak pernah kumiliki, yang kutinggalkan tanpa pesan. Dan tepat 10 tahun sejak kebersamaan kami di cafe ini, akupun kembali. Tuhan begitu baik padauntukkdengan mempertemukan kami kembali di cafe ini untuk merajut kembali benang cinta yang terampas.
Kami saling bertatap penuh cinta. Binar cinta di matanya cukup untuk meyakinkanku meraih bahagia yang tertunda. 

***

Soundtrack song:

Pelangi di Matamu-Jamrud

30 menit, kita di sini, tanpa suara
Dan aku resah harus menunggu lama
Kata darimu
Mungkin butuh kursus merangkai kata, untuk bicara
Dan aku benci harus jujur padamu tentang semua ini

Jam dinding pun tertawa karna ku hanya diam dan membisu
Ingin kumaki diriku sendiri 
Yang tak berkutik didepanmu

Ada yang lain di senyummu
Yang membuat lidahku
Gugup tak bergerak
Ada pelangi di bola matamu

Yang memaksa diri tuk bilang aku sayang padamu
***

#odopfor99days
#day59







Rabu, 23 Maret 2016

Haruskah?



Sekejap
Tak lebih
Bumipun bergeser beberapa derajat
Yang terkubur, menyembul
Tubuh menggigil
Tulang gemeretak
Napas memburu
Hati melepuh
Otakku berteriak, jangaaaaan....
Hanya tawa yang terngiang
Haruskah mengalah?
***

#odopfor99days
#day56