Kamis, 28 April 2016

[Cermin] Malaikat Sunyi

Lelaki itu gelisah mendengar kasak kusuk orang-orang di kantor. Uang kas kantor raib Rp1,5 juta. Uang itu masih di dalam amplop di laci meja bendahara dan baru ditinggal sebentar ke toilet. Tak mungkin orang luar karena tak ada  yang rusak. Argh...! Gelisah itu menjadi ketakutan ketika pimpinan kantor marah dan mengancam akan memecat si pelaku jika benar orang dalam. Kursinya mendadak panas menunggu waktu pulang. Hari itu ia tak banyak kata.
Jam kantor usai. Lelaki itu bergegas menuju parkiran motor. Motor tuanya dikebut menuju sebuah wilayah kumuh. Motor ia titipkan di warung di ujung gang. Langkahnya berhenti di depan pintu sebuah rumah sangat sederhana kalau tak bisa dibilang gubuk. Salamnya berbalas lirih suara perempuan tua dari dalam rumah.
" Masuk saja, tak dikunci!"
Di dalamnya, seorang perempuan tua tergolek lemah di atas dipan. Begitu mengenali wajahnya, perempuan itu berusaha bangun namun dilarangnya. "Terima kasih atas segala bantuannya, Nak! Semoga Allah yang membalas kebaikanmu." Ia tersenyum getir. Didengarkannya perempuan itu bercerita tentang keluarganya.
Sampai di rumahnya sendiri, sepulang dari rumah wanita tua itu, gelisahnya tak juga sirna. Dipecat? Sungguh tak sebanding dengan uang 1,5 juta itu. Apa yang harus dilakukannya? Matanya nyaris tak memejam semalaman.
Esoknya ia berangkat lebih pagi, ia mampir ke rumah babah Hong pemilik toko emas kenalannya. Diserahkannya bungkusan kecil yang dibawanya dari rumah yang segera berpindah tangan dan bertukar dengan amplop putih cukup tebal. Dihitungnya sebentar. Diapun bergegas menuju kantornya tak lupa berterima kasih pada babah Hong. Kantor masih sangat sepi saat dia sampai. Tak ada seorangpun di dalam ruangan. Amplop dari Babah Hong ditaruhnya di laci bendahara. Ia bersembunyi di toilet beberapa saat menunggu orang lain datang. Kebat kebit hatinya saat bendahara yg terkenal jujur itu melihat kelebatnya dan memangilnya. "Apa kau lihat seseorang masuk ruanganku?" ia menggeleng pelan. "Memang kenapa?"
"Ada yang mengembalikan uang yg hilang. Dia menulis pesannya di amplop itu. Katanya cuma dipinjam sebentar karena terpaksa. Ya sudahlah, yang penting uangnya sudah kembali."
"Bagaimana dengan kemarahan bos?"
"Ah, gampang. Aku bisa bilang amplopnya ketlisut." Lelaki itu memendam lega dlm hati, menghindari kecurigaan di hati sang bendahara.
Usai membereskan administrasi di mejanya, ia bergegas menemui sesorang lelaki muda yang tengah menunggu penumpang di pangkalan ojek. Ia kaget saat dipanggil. "Masuklah kerja, Ban. Semua sudah beres." Lelaki muda bernama Bani itu ternganga.
"Bapak tahu?" lirih ucapnya. Lelaki itu mengangguk.
"Maafkan saya, pak," Bani tertunduk.
"Seharusnya kamu bilang saja padaku. Aku ini juga bapakmu, Ban."
Bani kian tertunduk.
Sore, lelaki itu pulang dengan lega meskipun masih menyisakan sedikit ganjalan, permintaan maaf kepada istrinya karena terpaksa menjual perhiasan peninggalan demi membantu Bani, anak sahabatnya yang telah meninggal dunia karena kecelakaan dan meninggalkan keluarganya hidup dalam kemiskinan.
***

#odopfor99days
#day84

Senin, 04 April 2016

Islam Bukan Agama Pengemis



Setiap hari saat berangkat kerja, aku melewati sebuah masjid yang di depannya terdapat panitia pembangunan masjid yang meminta sumbangan. Setahun yang lalu saat pertama kalinya permintaan sumbangan itu, masjid memang sedang dalam tahap renovasi dan perluasan ke lantai 2. Para pengguna jalan terlihat antusias memberikan sumbangan. Selain memang diniatkan sedekah, barangkali melihat arsitektur masjid yang memang bagus. Aku sendiri sangat suka melihat arsitekturnya sehingga selalu menjadi perhatian setiap melintas dan tahu sudah sampai mana tahap pembangunannya berlangsung. Tak perlu waktu lama, renovasi masjid itupun selesai. Masjid berdiri dengan megah.
Namun, meskipun renovasi masjid telah usia, panitia masjid masih juga meminta sumbangan. Kali ini aku tak tahu untuk apa mereka meminta sumbangan. Apakah untuk operasional masjid? Jika benar demikian, haruskah? Sedemikian besarnyakah operasional masjid sehingga harus meminta sumbangan di tengah jalan?
Setali tiga uang dengan masjid itu, di depan pintu gerbang stasiun kereta tempatku aku naik KRL menuju ke kantor, ada dua orang bapak tua yang juga meminta sumbangan untuk masjid yang berbeda, entah masjidnya di mana. Yang mengusik pikiranku, permintaan sumbangan itu telah berlangsung bertahun-tahun. Tepikir dalam benakku, alangkah megahnya masjid yang dibangun hingga perlu waktu bertahun-tahun belum selesai juga. Aku tidak mempertanyakan benar atau tidaknya peruntukan sumbangan itu. Benar atau tidak, itu urusan mereka dengan Allah.
Di lain hari, saat melintas di jalan yang lain, ada pula permintaan sumbangan dalam rangka peringatan hari besar Islam. Alangkah sedihnya. Rasulullah tak pernah menyuruh ummatnya untuk memperingati hari-hari besar Islam, apalagi dengan memaksakan diri sampai-sampai harus meminta sumbangan di sepanjang jalan. Jika memang tak ada biaya, lakukan saja dengan sederhana, yang penting makna peringatan tersebut dapat dijadikan tonggak peningkatan keimanan.
Mengapa Islam jadi seperti agama yang suka meminta? Padahal Rasulullah jelas mengatakan bahwa tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.
Tolonglah wahai pengelola masjid ataupun panitia peringatan hari besar Islam, jangan mudah menadahkan tangan yang pada akhirnya akan mencoreng agama Islam! Masjid boleh saja megah, tapi apakah sebanding dengan ummat Islam yang sholat berjamaah di dalamnya. Di masjid yang aku lewati itu, jamah sholatnya hanya 3 shaff. Dan ini sudah termasuk hebat di banyak masjid lain sering kali hanya 1 shaff. Mengapa berlomba-lomba membangun masjid yang megah jika pada akhirnya masjid itu tinggal berdebu karena yang sholat di sana hanya segelintir orang saja. Kalau sekedar untuk operasional masjid saja kiranya bisa dicari cara lain. Selain kotak amal yang diletakkan di masjid, bisa juga dengan membuka usaha yang dikelola pengurus masjid seperti yang telah dilakukan oleh beberapa masjid.
Semoga ke depan semakin banyak ummat yang tidak gampang menadahkan tangan meskipun untuk kepentingan agama. Aamiin.
***
#odopfor99days
#day66


Minggu, 03 April 2016

Mozaik Cinta #4

Mozaik Cinta #3
 
Kerinduan Itu

Ara menatap diam-diam pemuda tampan di kursi roda yang sedang menikmati senja di tepi danau. Kerinduan seperti tak terbendung hendak menuntunnya melangkah mendekat lalu memeluknya. Tapi ia sadar belum saatnya. Ia tak mau merusak semua rencananya.
“Bu Muti!” Ara tergeragap saat Intan tiba-tiba saja menyapanya.
“Eh oh, Intan kau membuat bu Muti kaget.” Intan tertawa kecil.
“Bu Muti bengong sih. Bu Muti mau kemana?”
“mau ke musholla, tadi pengen jalan muter dulu melihat-lihat. Ayo barengan. Intan mau ke sana juga kan?”
Intan mengangguk.
“Eh itu ada om Faiz. Yuk Intan kenalkan sebentar bu.”
Ara belingsatan.
“Eh jangan, lain kali saja, Intan. Nanti kita terlambat.”
“Ah cuma sebentar, lagian ini masih ada waktu.” Lalu Intan hampir berteriak memanggil Faiz jika tak cepat Ara menutup mulut mungilnya.
“Intan sayang. Jangan sekarang ya. Coba kau lihat. Om Faiz sepertinya sedang ingin sendiri, tak ingin di ganggu. Tak sopan kan kalau kita mengganggu kesenangan orang lain?”
“Eh, iya. Om Faiz emang sering begitu bu, sendirian merenung. Makanya nanti kalau kenal bu Muti siapa tahu bisa menjadi temen ngobrol. Kasihan. Om Faiz itu baik sekali sama semua orang di sini.”
Ara tersenyum.
“Iya nanti kapan-kapan kita main ke sana ya.”
“Bener? Bu Muti janji?”
==
Senja takkan kemana tanpa kau pelototi setiap hari.
Ia yang merindu juga takkan pernah muncul dari tengah danau dihadapanmu.
Ia menunggumu di bentang mimpinya.
***
Faiz celingak-celinguk mencari. Matanya menyusuri danau dan taman di depan rumahnya. Sepi. Tak ada siapapun. Lalu siapa yang telah meletakkan kertas bertuliskan puisi singkat ini di sini. Di pinggir danau tempat ia biasa menghabiskan senja. Sepertinya si penulis tahu benar rutinitas sorenya. Siapa dia dan apa maksudnya meletakkannya di sini?
Sekali lagi Faiz membacanya. Aku seperti mengenal tulisan tangan ini dengan baik. Seperti tulisan Ara. Tapi tak mungkin ia ada di sini.
---
Dunia itu tak seharusnya berhenti di sini.
Apalagi mati bersama sepi.
Dunia itu menunggu kembali.

Puisi lagi. Ini yang ketiga dalam minggu ini. Dua hari sebelumnya berupa potongan syair Roxette.
And there are voices that want to be heard. So much to mention but you can't find the words. The scent of magic, the beauty that's been
When love was wilder than the wind.

Siapa dia? Apa maunya dengan mengirimkan semua ini? Yang jelas ini pasti bukan ulah anak-anak. Ini tulisan orang dewasa yang pernah mengenal dunia luar bukan hanya desa terpencil ini. Lalu siapa?
Diam-diam Faiz menyuruh pak Somad mengamati tempat puisi-puisi itu biasa diletakkan. Namun seperti tahu kalau sedang diawasi. Seminggu sudah tak ada kiriman puisi. Akhirnya pak Somad ia pensiunkan dari tugas mata-mata.
Sesungguhnya Faiz tak suka dengan segala misteri ini. Tapi ia benar-benar tak bisa berhenti penasaran. Sedang asyik memikirkan si penulis misterius itu, tiba-tiba Intan menghampirinya.
“Om!”
“Eh Intan, tumben sore begini nongol ke sini. Nggak ke musholla?”
“Belumlah, om. Masih lama. Om ikut Intan ke kebun yuk. Teman-teman sudah nunggu di sana.”
“Memang ada apa?”
“Mereka mau belajar tentang bunga-bunga di kebun.”
“Kan bisa sama bang Ucup.”
“Tapi kan beda kalau yang nerangin om Faiz. Ayolah om, sebentar saja.”
“Emm... baiklah.” Intan lalu membantu Faiz mendorong kursi rodanya ke kebun. Faiz tak tahu bahwa anak-anak sedang menyiapkan kejutan yang takkan pernah dilupakannya. Sepulang sekolah, Intan dan teman-temannya berkumpul menyiapkan rencana kejutan itu.
“Kita harus mempertemukan om Faiz dan Bu Muti biar mereka kenalan. Habisnya setiap mau kukenalin, om Faiz maupun bu Muti menolak mulu. Kapan-kapan mulu.”
“Betul-betul. Aku juga suka cerita tentang bu Muti, om Faiz cuek aja. Siapa tahu mereka bisa pacaran,” kata Benu.
“Kau itu, pikirannya pacar melulu. Pasti kebanyakan nonton sinetron di rumah pak haji ya.”
Benu hanya cengar-cengir.
“Gimana caranya?”
“Gampang. Kita ajak om Faiz ke kebun. Juga bu Muti biar mereka ketemu di sana. Soal om Faiz biar aku yang urus. Kalian tahan bu Muti di kebun ya.”
“Oke,” sahut anak-anak itu kompak.
“Kita ketemu habis sholat Ashar ya?”
“Sip!”
 --
Faiz tak kesulitan menuju kebun yang terletak tak jauh di sebelah rumahnya. Jalanan menuju kesana sengaja telah dibuat rata untuk mempermudah ia pergi sendiri melihat kebun bunganya.
Di ujung kebun, ia melihat ramai anak-anak sedang mengerubungi sesuatu, atau seseorang? Dan sangat terlambat bagi Faiz untuk berbalik arah ketika ia melihat yang dikerubungi anak-anak itu ternyata seorang perempuan berjilbab. Ini pasti bu Muti mereka. Kejutan itu tak berhenti sampai di situ. Jika ada gelegar petir yang paling keraspun takkan mampu membuatnya seterkejut itu. Gadis berjilbab itu... bukankah itu Ara? Meskipun kini gadis itu berbalut busana muslimah rapi, tapi Faiz takkan salah, itu pasti Ara. Tapi apa yang dilakukannya di sini? Arapun tak kalah terkejutnya. Sudah terlambat untuk menghindar.
“Ara?” Ara berusaha cepat menata hatinya.
“Assalamu’alaikum, Faiz. Apa kabar?”
“Waalaikumussalam, seperti yang kau lihat.” Sekilas ia melirik jemari Ara.
‘Ya, Tuhan. Cincin itu masih tersemat rapi di sana? Apakah…..apakah Ara masih selalu menungguku?’ batin Faiz masygul.
Sekarang giliran anak-anak yang terkejut melihat mereka berdua ternyata sudah saling kenal.
“Jadi om Faiz sudah kenal sama bu Muti?” kata Intan. “Kok selama ini gak bilang-bilang?”
“Om Faiz nggak tahu kalau bu Muti kalian ini ternyata Ara, Mutiara. Teman om Faiz di kota.”
Intan yang memang cerdas langsung menemukan jawab atas pertanyaan mengapa saat melihat bu Muti pertama kali, ia seperti sudah pernah melihat.
‘Ooo jadi bu Muti ini gadis dalam lukisan om yang dipasang di rumah,” celotehnya lugu.
Wajah Faiz memerah malu, ketahuan rahasianya di hadapan Ara.
“Kau melukis, Iz?”
“Tak banyak. Hanya bila sedang ingin.” Hanya bila aku tak tahan lagi menahan rinduku padamu, Ara. Batin Faiz.
“Eh, om. Kami nggak jadi belajar bunganya, ah. Besok-besok aja. Kami mau siap-siap ke mushola.” Ara dan Faiz akhirnya menyadari telah dijebak oleh anak-anak.
“Anak-anak, kita antar dulu om Faiz pulang, ya?”
“Aku bisa pulang sendiri, Ara. Sudah biasa.”
Ara tak mempedulikan perkataan Faiz.
“Biar bu Muti yang mendorongnya. Ayo anak-anak.”
“Bu, kami ke mushola dulu ya. Bu Muti aja yang antar om Faiz.” Berkata begitu, Intan dan kawan-kawannya langsung kabur meninggalkan mereka berdua sambil tertawa. Faiz dan Ara hanya geleng-geleng kepala. Ara lalu mendorong pelan kursi roda Faiz.
“Jadi sudah berbulan-bulan kau di sini dan tak menemuiku? Lalu bagaimana kau bisa menemukanku di sini? Atau mama yang menghubungimu?”
“Panjang ceritanya, Faiz. Kurasa, senja tak kan mau menunggu ceritaku hingga selesai. Yang jelas bukan mama yang memberitahuku.”
“Dan puisi-puisi itu?” Faiz langsung tahu siapa pengirim puisi-puisi itu setelah melihat Ara.
Ara tersenyum mengangguk.
“Aku suka memperhatikanmu dari jauh, sedang memandangi danau saat senja.”
“Jadi kau sudah mulai jail ya....” kata Faiz.
Ara tertawa kecil, teringat segala kejailan Faiz saat mereka masih sama-sama bekerja.
“Sudah sampai, Faiz. Kalau tak keberatan, besok pagi aku akan ke sini. Rasanya banyak yang akan kuceritakan.”
“Tentu saja. Besok kutunggu ya.”
“Aku pulang dulu. Anak-anak pasti sudah menungguku di musholla.”
Ara beranjak hendak pergi saat Faiz menahannya.
“Ara….”
“Ya, Iz…..?”
“Cincin itu..? kata Faiz sambil melihat cincin berlian pemberiannya dulu. “Kau…belum….?” Faiz tak sanggup meneruskan pertanyaannya. Sangat takut dengan jawaban yang akan ia dengar. Ara tersenyum.
“Kau pasti tahu jawabnya.” Faiz bernapas lega sekaligus haru. Jadi selama tiga tahun lebih, Ara tetap setia dengan cintanya?”
“Aku pergi dulu, ya.”
Faiz hanya mengangguk, tak sanggup berkata menahan keharuan. Ia memandangi Ara sampai menghilang di belokan. Sungguh rasanya seperti mimpi bisa melihat Ara lagi. Tapi tiba-tiba ada yang perih di dadanya. Rasa tak layak berada di dekat gadis pujaannya itu.
***

Sabtu, 02 April 2016

Gosip di Era Digital

Gosip. Kata satu ini pasti sangat erat kaitannya dengan kaum perempuan. Sejak jaman sebelum Masehi hingga jaman digital ini, gosip tetap eksis.
Apa sih gosip tuh? Gosip adalah kabar yang belum tentu kebenarannya. Kalau dalam kamus KBBI, gosip adalah perbincangan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang seseorang; pergunjingan.
Dalam Agama Islam ada istilah ghibah dan fitnah. Dikatakan ghibah jika kita membicarakan tentang orang lain yang meskipun cerita itu benar, tapi bila didengar oleh orang yang bersangkutan, orang tersebut tidak suka. Jika cerita yang disampaikan salah, maka sudah termasuk fitnah.
Gosip, ghibah, atau fitnah pada jaman dahulu banyak digambarkan dengan ibu-ibu yang suka main ke tetangga trus ngobrol kesana kemari hingga akhirnya membicarakan orang lain, kebanyakan sih sisi negatifnya. Kalau sisi positifnya kayaknya kurang seru.
Bagaimana dengan era digital sekarang? Gosip dkk semakin berkembang meluas dan mudah dengan adanya medsos. Sebut saja Facebook, BBM, wa, path, dll. Sekali pencet, gosip bisa langsung menyebar ke banyak tujuan. Satu orang penerima meneruskan ke kelompok yang lain dst, bisa dibayangkan berapa banyak orang yang menerima gosip tsb. Jika sudah terlanjur tersebar dan ternyata tak benar, susah untuk membersihkannya kembali.
Apa yang seharusnya dilakukan bila kita menerima sebuah berita digrup kita misalnya?
1. Jangan buru-buru disebarkan;
2. Pastikan sumbernya.
Jaman sekarang, banyak sekali kawan berkirim berita, nasihat, dan cerita. Jika nadanya negatif, mungkin lebih mudah bagi kita untuk kirim warning ke otak kita. Cek dulu. Tapi banyak pula yang bernada nasihat, atau tips dan berita lain yang kelihatannya 'bermanfaat' ternyata sumbernya pun tidak jelas dan sudah pasti kebenarannya juga dipertanyakan. Jika sudah begini, lebih baik biarkan saja. Jangan takut atau percaya dengan 'ancaman' di akhir berita, "sebarkan, siapa yang tidak menyebarkan termasuk orang-orang yang lalai" atau "sebarkan = sedekah."
Sejak jaman saya masih kecil, ancaman seperti itupun sudah ada. Kalau saya malah langsung ogah menyebarkan begitu ada ancaman di belakangnya.
3. Jika menerima berita berupa tulisan atau gambar yang 'aneh-aneh' langsung hapus saja agar tak dibaca atau dilihat oleh orang lain. Yang jelas biar nggak bikin penuh memori hp :)
Demikian sedikit tips menghadapi gempuran gosip di era digital. Semoga bermanfaat.
***
#odopfor99days
#day63

Mozaik Cinta #3

Guru Baru Intan
“Bagaimana mungkin kamu akan meninggalkan pekerjaanmu untuk tinggal di kampung terpencil Ara?” protes ayahnya saat Ara memberitahukan niatnya untuk menjadi guru di desa terpencil.
“Ayah, Bunda, sebenarnya ini bukan masalah pekerjaan. Tapi ini masalah kebahagiaan Ara. Ara ingin mengejar kebahagiaan Ara. Ara sudah sholat istikharah, dan jawaban yang Ara dapat, Ara harus pergi.”
“Kebahagiaan macam apa yang akan kau cari di sana?”
“Ara belum bisa menjelaskannya sekarang, terlalu rumit. Mohon ayah dan bunda memberikan kesempatan pada Ara, sekali ini saja.”
“Lalu kapan kau akan memikirkan untuk berumah tangga. Umurmu sudah lebih dari cukup bahkan sudah hampir 30 tahun.”
“Jika apa yang Ara kejar ini sesuai dengan harapan, Ara akan segera memikirkan untuk menikah.”
Ayah dan bunda hanya bisa menghela napas.
“Baiklah. Tapi berjanjilah jangan terlalu lama. Ingat, kau anak perempuan kami satu-satunya. Usiamu sudah tak bisa menunggu terlalu lama. Segeralah menikah. Apalagi disana nanti tak ada siapa-siapa. Kami khawatir kalau terjadi sesuatu denganmu, siapa yang akan membantumu.”
“Jangan khawatir, Bun. Ara bisa menjaga diri. Lagi pula selama ini Ara juga sendiri jauh dari Ayah dan bunda. Ara tahu apa yang akan dilakukan. In shaa Allah semua akan baik-baik saja.”
Maka berangkatlah Ara ke kampung tempat tinggal Faiz setelah mengundurkan diri dari LSM tempat ia bergabung. Tujuan pertamanya adalah sekolah. Ada dua alasan mengapa ia memilih sekolah. Ia akan mendekati anak-anak untuk mencari informasi yang jujur disamping ia memang suka anak-anak, dan ia ingin mengajar selama disana. Sesuai dengan informasi kepala sekolah di kampung itu tempat ia pernah menginap yang juga merangkap satu-satunya guru di sekolah itu.
Ara yang memiliki senyum seramah mentari mudah diterima anak-anak dan penduduk kampung. Ia cepat menjadi pujaan bagi mereka. Berita tentang Ara bahkan sampai ke telinga Faiz, namun Faiz tak tahu karena mereka mengenalnya sebagai Bu Muti. Ara sering mengamati kegiatan Faiz dari jauh. Kerinduan yang menggelegak terkadang membuatnya sangat ingin berlari mendekatinya yang kini hanya bisa berada di atas kursi roda. Tapi tidak, belum saatnya.
Intan sering bercerita kepada Faiz tentang bu Mutinya. Faiz jadi penasaran juga seperti apa guru yang diceritakan Intan dan orang-orang dikampung. Sudah hampir satu bulan bu Muti itu datang, tapi Faiz belum sekalipun bertemu dengannya.
“Orangnya cantik deh om, baik lagi. Dia juga pintar bercerita.”
“Wah, om punya saingan dong,” kata Faiz sambil tertawa.
“Iya, ia suka mengajak kami jalan-jalan dan menunjukkan bagaimana kita harus menghargai alam. Katanya kita harus menjaga keseimbangan alam supaya alamnya juga menjaga kita dan tidak terjadi bencana.”
Faiz semakin penasaran.
“Kapan-kapan Intan ajak ke sini ya, om. Biar kenal.”
“Jangan, nanti....”
“Om takut ya ketemu. Om Faiz pasti jatuh cinta kalau lihat bu Muti.”
“Kau ini ada-ada saja.”
“Eh om, kayaknya waktu lihat bu Muti pertama kali. Kayak udah pernah lihat gitu. Dimana ya?”
“Pasti di tivi.”
“Eh bener loh Om. Dimana ya?”
“Kita mau belajar melukis lagi atau mau cerita tentang bu Muti terus nih?”
“Eh iya.”
“Yang lain mana?”
“Sebentar lagi mereka menyusul om. Tuh suara mereka dah kedengaran.”
Sebentar kemudian Faiz sudah dirubung 6 orang anak yang sedang asyik melukis di lantai sambil mendengarkan penjelasan Faiz. Sesekali Faiz tersenyum mendengar celotehan polos dan lucunya anak-anak. Ia tak menyadari, sepasang mata memperhatikannya dari jauh. Dua titik air matanya sempat menitik haru.
***
Suatu kali ketika mamanya datang berkunjung. Ia terkejut saat berhenti didepan lukisan perempuan di rumah Faiz dan memandanginya beberapa saat.
“Sepertinya mama pernah melihat gadis ini belum lama ini deh, Faiz?”
Jantung Faiz rasanya berhenti berdenyut.
“Mama salah lihat kali. Ini kan cuma imajinasi Faiz, ma?”
“Siapa namanya, Faiz?”
“Mama gimana sih. Sudah Faiz bilang berkali-kali, ini imajinasi Faiz.”
“Ya, tapi imajinasi kan juga punya nama. Siapa kau beri nama imajinasimu ini?”
Faiz terdiam sejenak
“Ara,  Mutiara.”
“Hmm.”
“Kenapa Ma?”
“Ah, enggak. Barangkali mama memang salah lihat.”
‘Jadi ini memang gadis itu? Ada apa antara dia dan Faiz? Apakah mereka saling mencintai selama ini? Berarti aku telah memaksakan kehendakku? Lalu bagaimana aku akan menghubunginya? Sedangkan nomor telepon yang ia tinggalkan telah hancur. Lalu ada urusan apa yang belum terselesaikan antara dia dan Faiz.’ Batin Mama.
--
Sore itu, saat Faiz menikmati senja di teras bersama mama.
“Faiz. Apa rencanamu buat masa depan, nak?”
“Masa depan? Bagi Faiz, semua yang ada di sini adalah masa depan, Ma.”
“Apa kau tak ada keinginan menikah lagi?”
Faiz tersenyum getir.
“Apakah ada perempuan yang mau dengan Faiz, Ma?”
“Kamu tidak boleh begitu. Kau tampan, punya penghasilan mapan. Baik hati.”
“Tapi cacat.”
“Faiz, apa yang kau alami ini tidak seberapa. Banyak yang lebih parah dan mereka tetap berkeluarga, tetap optimis dengan kehidupan sosialnya. Kau harus membuka hatimu nak. Kau masih muda.”
“Entahlah, Ma. Mungkin bukan sekedar kecacatan ini. Faiz tak menginginkan perempuan manapun. Faiz tak percaya.”
“Termasuk.. emm… Mutiara?” ujar Mama ragu-ragu.
Faiz bagai tersambar petir.
“Perempuan yang ada dilukisan itu? Berapa kali Faiz bilang itu perempuan dalam khayalan Faiz, Ma” Dan itu memang benar. Saat ini, Mutiara seperti khayalan baginya. Tak mungkin diraihnya.
“Maksud mama, Mutiara yang beberapa bulan lalu datang ke rumah dan menanyakan keberadaanmu.”
Sekali lagi petir menyambar hatinya, meninggalkan getar yang lama tak dirasakannya demi mendengar nama Mutiara.
“Mama rasa, gadis itu sangat mirip dengan lukisanmu itu meskipun yang datang ke rumah itu mengenakan jilbab.”
‘Jilbab? Jadi sekarang Ara berjilbab?’ batin Faiz.
“Dia bilang hendak menyelesaikan sesuatu denganmu. Tapi karena kamu telah berpesan untuk tak memberitahukan keberadaanmu, dengan sangat menyesal mama tak bisa memberitahukan dimana kamu tinggal sekarang. Meskipun dari matanya, mama bisa melihat betapa ia sangat ingin bertemu denganmu. Ia sangat kecewa ketika mama tak memberitahunya. Tapi ia juga tak mau bilang apa urusan yang harus diselesaikannya denganmu. Katanya ia tak bisa bilang sebelum bertemu denganmu.”
‘Apakah itu benar kau Ara. Ya itu pasti kau. Dan apakah engkau masih merindukanku seperti aku senantiasa merindukanmu? Tapi aku tak bisa lagi menemuimu.’
“Apakah gadis itu benar Mutiara di lukisanmu itu? Dan urusan apa di antara kalian yang belum selesai?” tanya mama.
Faiz hanya diam menerawang.
“Faiz, mama senang kalau kau mau bercerita sama mama. Terus terang mama sangat sedih melihat kondisimu yang seperti ini. Menyendiri. Menjauhi kehidupan sosial.”
Faiz mengangguk pelan. “Iya ma, itu Mutiara. Faiz tidak pernah mengenal Mutiara lain selain dia.”
“Apakah kalian saling mencintai?”
Faiz mengangguk sekali lagi.
“Ya Tuhan. Sejak kapan?”
“Entahlah sejak kapan. Yang jelas sebelum Faiz bertunangan dengan Sarah.”
Mama kembali terkejut dan menutup mulutnya hendak mengendalikan perasaannya yang secepat angin seperti tahu kisah tersembunyi yang ditutupi anak laki-laki satu-satunya itu. Ia tahu benar watak anaknya itu. Pasti ia menikah dengan Sarah bukan 100% dari keinginannya karena sebenarnya ia mencintai gadis lain.
“Mama minta maaf, Iz.”
“Maksud Mama?”
“Sebenarnya, waktu ia datang, mama sempat meneleponmu tapi tak kau angkat. Lalu ia meninggalkan nomor teleponnya. Sayang sekali, belum sempat mama menyimpannya, keponakanmu datang dan membuatnya sebagai mainan, hancur tak berbekas. Maafkan, mama sayang. Mengapa kau tak mau menghubunginya, Nak?
 “Mama, tak apa-apa. Lagi pula Faiz nggak mau dia melihat Faiz seperti ini.”
Faiz menarik napas berat.
“Faiz tak pantas lagi untuknya.”
“Faiz, kalau dia benar-benar mencintaimu. Dia akan menerimamu apa adanya.”
“Tapi itu tak adil baginya, Ma. Faiz sungguh tak layak baginya. Faiz telah menyia-nyiakannya. Dan sekarang setelah Faiz begini ingin kembali padanya? Tidak, Ma. Faiz sungguh tak layak untuknya. Ia seorang gadis yang cantik dan cerdas, energik, hatinya lembut tapi berpendirian keras. Tidak. Ia berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dari Faiz.”
Kali ini Mama yang menarik napas panjang. Kalau sudah begitu, ia tahu tak kan pernah bisa memaksa Faiz. Seperti ketika Faiz menyerahkan kembali perusahaan yang dipercayakan padanya pada papanya setelah peristiwa kecelakaan naas itu yang berbuntut dengan perceraian.
Ah, ia sungguh kecewa dengan Sarah yang ternyata bukan perempuan seperti yang diharapkannya. Sarah tak tahan dengan kondisi Faiz dan meminta cerai hanya dua bulan setelah vonis kecacatan itu. Orang tuanya yang juga karib suaminya meski dengan berat hati terpaksa menyetujui keinginan putri tunggalnya itu. Sebenarnya mereka merasa malu dengan sikap anaknya.
Faiz lalu menarik diri dari semua masa lalunya. Dengan uang tabungannya ia membeli tanah yang luas dikampung ini. Membangun rumah, membuat kebun bunga dan peternakan lele.
“Ma,” kata Faiz sambil meraih tangan mama. “Mama jangan terlalu memikirkan Faiz. Faiz sudah bahagia dengan kehidupan Faiz di sini. Bersama anak-anak dan penduduk kampung di sini. Rasanya tak ada lagi yang Faiz inginkan selain kedamaian yang bisa Faiz temukan setiap hari di sini.”
Seandainya mereka tahu. Gadis yang sedang mereka bicarakan, saat itu berada tak lebih dari satu kilo meter dari tempat mereka duduk. Sedang mengajar mengaji anak-anak kampung di musholla.
***