Senin, 21 Oktober 2013

Janji Bapak



Dokar kecil itu mengayun-ayun melewati jalan setapak di tepian sawah.
“Kita mau kemana, Bu? Jauh banget,” tanya Lala pada ibunya yang sejak tadi diam saja. Lelah tak tampak di wajah bocah perempuan kecil itu meskipun berjam-jam perjalanan telah ditempuh dengan bus sebelum akhirnya mereka naik dokar.
“Kita mau ke rumah bapak dan nenek.”
“Asyik… Kenapa Bapak nggak tinggal sama kita saja sih, Bu?” Ibunya menelan ludah, pahit.
“Nanti kau juga akan tahu saat kau besar nanti.” Hanya itu yang bisa ia katakan pada anak semata wayangnya yang baru berumur 5 tahun.
***
Lala tak pernah melihat bapaknya sejak berumur 8 bulan. Namun dengan riangnya ia kini duduk di pangkuan lelaki itu sementara kedua orang tuanya membicarakan sesuatu yang tak ia mengerti. Ia asyik bermain dengan kertas yang disobek-sobek menjadi serpihan kecil. Perutnya kenyang setelah makan siang masakan neneknya yang lezat dan khusus dipersiapkan untuknya.
“Buat apa kertas itu ,La?” tanya bapaknya penasaran.
“Ini uang-uangan, Pak. Nanti aku mau beli buku gambar sama pensil warna.” Ibunya diam saja mendengar jawaban anaknya. Lala memang suka sekali menggambar. Bakatnya menurun dari bapaknya yang memang mempunyai jiwa seniman.
“Kalau gitu nanti Bapak kirim buku gambar dan pensil warna yang bagus ya buat Lala.” Lala sontak terbelalak riang.
“Benar, Pak?” Bapaknya mengangguk.
“Lala tunggu ya, Pak.” Dalam hatinya yang polos, Lala langsung membayangkan betapa asyiknya ia nanti menggambar dengan buku gambar dan pensil warna yang bagus kiriman dari bapaknya.
“Ayo Lala, kita pulang,” kata ibunya.
“Apa tak lebih baik kalian menginap saja, Sri. Barang sehari dua hari. Kasihan Lala. Tentu ia capek menempuh perjalanan jauh.”
“Syukurlah kau masih kasihan padanya. Tapi sebaiknya kami pulang saja. Ia bisa tidur di jalan nanti,” ucap Sri yang tak mau menjadi duri dalam daging di rumah itu. Rumah mertuanya yang sebenarnya sangat sayang pada Lala. Cucu ke 6 dari anak lelaki satu-satunya. Mertuanya sangat bersuka cita saat kelahiran Lala di tengah malam badai bersenandungkan gema takbir di malam Idhul Adha. Kata mereka, wajah bayi mungil itu memancarkan cahaya. Sudah cukup siksaan batinnya selama 1,5 tahun tinggal di rumah yang bagai neraka untuknya.
Ah, Sri mendesah pelan mengingat kisahnya. Diraihnya Lala dalam pangkuan lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya.
“Ayo, Lala. Kita pulang, nanti kemalaman.” Dengan enggan Lala menuruti kata ibunya.
“Benar ya, Pak. Lala tunggu.” Bapaknya mengangguk sendu.
***
Senja baru saja temaram. Lala tak tahu harus berkata apa saat kakak tirinya mengabarkan bapaknya telah meninggal dunia. Ia masih ingat janji bapaknya di siang itu untuk membelikannya buku gambar dan pensil warna. Janji yang tak pernah terpenuhi hingga kini. Ia juga masih bisa merasakan betapa ia terus menunggu kiriman itu hingga bosan mempertanyakan pada ibunya yang hanya bisa melenguh sedih.
“Apa karena gambarku jelek ya, Bu?” tanyanya suatu ketika.
“Gambarmu bagus, La. Mungkin Bapak sedang sibuk atau lupa.”
Tapi Lala terlanjur berpikir gambarnya tak layak untuk mendapat hadiah buku gambar dan pensil warna dari bapak. Ia terus menggambar dan menggambar sepanjang hari supaya gambarnya cukup bagus untuk mendapat hadiah.
Lala menyusut air matanya yang tiba-tiba mengalir. Suaminya memeluknya.
“Sudahlah, Bun. Ikhlaskan kepergian bapak.”
“Aku tak tahu, untuk apa air mata ini. Aku tak pernah mengenalnya kecuali dari sedikit cerita ibu dan 3 kali pertemuan singkat dengannya saat aku masih kecil, lalu waktu aku kuliah dan ingin mencarinya sebagai permintaan ibu karena bagaimanapun ia bapakku. Dan terakhir saat pernikahan kita karena ia harus menjadi waliku. Ia memang bapakku, tapi tidak pernah di dunia nyata.”
“Seperti ibu bilang, bagaimanapun ia bapak Bunda, mertuaku. Ikhlaskan kesalahan beliau di masa lalu agar beliau tenang di alam sana.”
Dadanya terhimpit perih teringat bayangan ibunya yang menderita kala kakek memaksanya menerima lamaran bapak meski telah berstatus pria beristri. Kehidupan yang teramat berat barangkali yang layak dipersalahkan.
Ibu bahkan sempat meninggalkannya saat berumur 8 bulan di rumah bapak karena tak tahan terhadap tekanan dari madunya. Rasa keibuan juga yang pada akhirnya menuntun ibu mengambil Lala dua minggu kemudian setelah ia mendengar kabar kondisi Lala yang tak doyan menyusu. Sejak itu ia hampir tak mengenal bapak. Ia hanya punya ibu.
Lala kembali menyusut air matanya. Ibu saja telah memaafkan bapak, kenapa ia tidak? Sesak di dadanya masih bersisa. Tapi ia telah memutuskan untuk memaafkan bapak.
“Bisakah kita dapat tiket pesawat ke sana hari ini. Temanilah aku.”
Suaminya tersenyum.
“Tentu saja, Bun. Anak-anak tentu mengerti. Mereka biar bersama eyang malam ini. Toh besok pagi sekali kita sudah bisa kembali.”
“Terima kasih, Sayang.”
Dan sesak itu sirna bersama keikhlasannya atas janji bapak yang tak pernah tertunaikan.
***
21 Oktober 2013

Minggu, 20 Oktober 2013

Kucing Kesayangan Rara







Sudah seminggu mama uring-uringan gara-gara kucing-kucing Rara buang kotoran sembarangan.
“Rumah kita kan kecil Rara. Halamannya hampir tak ada. Bau kotoran kucing jadi memenuhi ruangan. Kita buang saja kucing-kucingnya,” kata mama.
“Ih, Mama tega deh. Kan kasihan mereka, Ma.Nanti mereka makannya bagaimana?”
“Kalau tak boleh, dikasih orang deh. Tetangga bibik ada yang mau kok, buat ngusir tikus.”  Rara cemberut. Memang sih, rumah jadi bau kucing gara-gara si Rangga habis beranak 3, Putri, Boy, dan Kika. Waktu kucing Rara cuma 2 ekor, Rangga dan Billy, mama nggak sesewot ini.
Rara sayang semua kucingnya. Rangga, kucing pertamanya sangat pintar menangkap tikus. Rumah jadi sepi dari tikus sejak ada Rangga. Kucing itu pemberian teman mama sejak rangga masih berumur 2 minggu. Rara rajin memberinya susu sampai ia bisa makan sendiri. Biarpun cewek Rangga kucing yang keren dan gagah kayak cowok, makanya ia salah memberi nama cowok buatnya.
Baru sebulan merawat Rangga, Rara menemukan Billy kecil yang kelaparan di jalanan dekat got. Ia membawanya pulang dan merawatnya dengan baik. Kucing abu-abu putih itu sangat cantik sampai dikira kucing cewek. Ia sempat dikasih nama Putri sampai akhirnya ketahuan ia cowok dan diganti namanya menjadi Billy. Bulunya bersih. Billy sangat sayang pada Rangga. Meskipun mereka bukan saudara, dua ekor kucing itu tak pernah bertengkar.
Dan ketiga anak Rangga yang lucu-lucu itu? Hmm, aku nggak mau berpisah dengan semuanya. Tapi bagaimana dengan bau rumah?
“Emm, anak-anaknya saja kita kasih tetangga bibik ya, Ma,” akhirnya Rara mencoba memilih meskipun ia juga sayang mereka.
“Tapi nanti Rangga melahirkan lagi dan lagi.”
“Tapi, Ma.”
“Sudahlah, Rangga dan anak-anaknya saja dikasih orang. Biar Billy saja yang tetap di sini.” Ujar mama memutuskan.
Dengan berat hati Rara terpaksa menuruti kata-kata mama. Dielus-elusnya kucing-kucing yang sebentar lagi akan berganti rumah.
“Kamu kan tetap bisa nengokin mereka kalau lagi main ke rumah bibik,” hibur mama.
***
Sejak Rangga dan anak-anaknya diberikan ke tetangga bibik, Rara makin sayang sama Billy. Ia merawatnya dengan telaten, dimandikan seminggu sekali, rajin memberinya makan. Billy kucing kampung yang lucu. Ia seperti manusia, doyan sekali makan nasi sama ikan goreng. Kalau diberi makan ikan saja, ia masih merasa lapar dan terus mengeong sampai ia di beri nasi. Suatu kali, Rara meminta mama membelikan Billy makanan kering buat Billy sebagai hadiah. Eh, si Billy malah ogah-ogahan memakannya. Benar-benar kucing kampung, pikir Rara.
Setiap makan ikan atau ayam goreng, Rara pasti teringat Billy. Bahkan bila makan di rumah makan pun, ia pasti minta dibungkuskan sisa makanannya buat si Billy.
Billy seolah membalas kasih sayang Rara. Setiap ia melihat motor ayah yang membonceng Rara lewat di depan gerbang, Billy langsung berlari pulang mendahului mereka. Ya, Billy memang suka bermain jauh hingga ke depan perumahan. Ia akan segera naik ke atas tangga rumah Rara dan diam di sana menunggu Rara naik dan menggendongnya. Billy juga suka menunggui Rara yang sedang sholat di sampingnya. Dimana ada Rara disitu ada Billy.
Hari ini Rara sedih sekali, sudah dua hari Billy tak pulang. Dibantu ayah, ia sudah mencarinya ke mana-mana tapi tak ketemu juga. Sampai dua bulan kemudian, Billy tetap tak ketemu juga. Rara sering menangis sedih teringat kelucuan Billy yang suka menggigit sayang kakinya bila ia lapar dan tak segera di beri makan. Ia juga suka mengalah sama kucing-kucing kecil liar yang suka kesasar ke rumahnya dan ikut makan bersama Billy.
Mama merasa sedih melihatnya dan merasa bersalah. Coba Rangga tak diberikan orang. Pasti Rara tak sesedih ini.
“Rara mau kucing lagi? Nanti mama cariin ya buat Rara.”
“Tapi Rara nggak pernah lihat kucing sebagus Billy, Ma. Bulunya bersih dan ia sangat penyayang dengan kucing-kucing lain.”
***
“Rara, Mama punya kabar gembira. Coba tebak!”
“Billy ketemu, Ma?” mata Rara membelalak riang penuh harap.
“Bukan sayang,”
“Yaah,” Rara kecewa.
“Om Wahyu menawarkan kucing anggoranya. Sekarang tante Elok tak sempat mengurusi si Chiko karena sudah mulai sibuk mengajar di tempat yang baru. Jadi si Chiko boleh buat kamu. Dan yang penting, Chiko nggak bakalan bau karena dia sudah terlatih untuk pup pada tempatnya.”
Rara sebenarnya suka sama Chiko, kucing anggora besar berwarna krem punya om Wahyu. Tapi ia masih lebih suka si Billy.
Keesokan hari, Chiko diantarkan oleh om Wahyu dan resmi menjadi keluarga baru Rara. Chiko memang sangat besar dibandingkan kucing biasa. Bulunya yang panjang-panjang terlihat mengkilap dan megar apalagi setelah dimandikan dan disisir.  Chiko juga nggak bau. Banyak yang suka dengan Chiko bahkan dia dikira anjing saking besarnya. Makannya nggak perlu repot karena cukup menuangkan makanan kering di wadah makannya. Berbeda dengan Billy, Chiko tidurnya di dalam rumah. Tapi sekarang Rara harus lebih berhati-hati, pintu gerbang tak boleh dibiarkan terbuka jika tak ingin Chiko kabur untuk main. Bisa-bisa kucing mahal itu diambil orang.
Coba kalau Billy, pasti aku tak perlu repot. Pikir Rara masih belum bisa mengikhlaskan kehilangan Billy. Chiko kucing manja dan nggak lincah seperti Billy yang pandai melompat pagar.
Billy seperti mengerti Rara belum bisa menyayanginya sepenuh hati. Ia mencoba mengambil hati tuan barunya itu. Seperti Billy, ia suka menunggui Rara saat sholat sambil meraih-raih mukena Rara. Rara menepiskan Chiko kesal. Setelah sholat ia memarahi Chiko.
“Kamu nggak boleh ganggu orang sholat,” katanya.
Seperti mengerti, setelah itu Chiko hanya diam menunggu di samping Rara jika Rara sedang sholat. Rara jadi merasa bersalah telah memarahi Chiko.
Chiko tahu jam-jam Rara pulang sekolah, dan dia dengan setia duduk di dekat tangga menunggu Rara sambil berjemur.
“Chiko seperti Billy aja suka nungguin aku,” pikir Rara. Dielusnya kucing itu.
Ternyata Chiko memang kucing yang pintar. Dia bisa mengerti jika diajak bicara atau jika Rara marah. Kali ini Chiko sudah pandai melompat jendela untuk berjemur di dekat teras.
“Rara, awas pintu gerbangnya nanti Chiko kabur.”teriak mama.
“Iya, Ma.”
Rara memang paling sering lupa menutup pintu gerbang. Chiko yang senantiasa bersiap dekat pintu, langsung melesat keluar rumah. Mungkin dia kesepian karena harus dikurung terus di rumah dan nggak punya teman.
Sore itu, Rara ribut mencari Chiko. Ia lupa lagi menutup pintu.
“Nggak ada, Ma.”
“Coba cari di belakang rumah Sarah. Biasanya dia suka bermain rumput di situ.”
“Nggak ada juga.”
Rara sudah mulai panik. “Ya Allah, jangan hilang lagi kucing Rara ya. Rara janji akan menjaga Chiko lebih baik.”
Ayah, mama dan bibik ikut ribut mencari Chiko.
“Sepertinya tadi dia ke ujung gang,” kata tetangganya. Benar saja, Chiko sembunyi di bawah kolong mobil tetangganya yang berada di ujung gang.
Rara langsung memeluknya dibawa pulang.
“Chiko jangan ngumpet lagi ya. Nanti dibawa orang. Rara janji lebih sayang sama kamu.”
Sejak itu Rara semakin sayang sama Chiko. Apalagi seminggu kemudian mama membawa dua ekor anak anggora yang lucu sebagai teman Chiko.
“Biar Chiko nggak sering kabur-kaburan,” kata mama.
“Nanti rumahnya bau, ma?”
“Mereka kan pup nya nggak sembarangan. Asal kita rajin membuang kotorannya, pasti nggak bau,” kata mama.
“Asyiik, makasih Mama. Rara sayang sama Mama.”
Mama tersenyum memeluk Rara.
“Kamu beri nama siapa mereka?”
Rara berpikir sejenak.
“Emm, yang cewek namanya Chika, yang cowok Cipung. Biar kompak sama Chiko.”
Dan hanya butuh satu hari buat ketiga kucing Rara untuk kompak. Rara masih tetap ingat Billy, tapi tak sesedih dulu lagi karena telah ada tiga ekor kucing lucu yang menemaninya setiap hari. Rara berjanji dalam hati akan merawat mereka sebaik ia merawat Billy.
***
 
 T A M A T

Kamis, 10 Oktober 2013

Lembar-lembar Semu




Kuhitung lembar-lembar di dompetku
Tingggal beberapa lembar  si kuning, hijau, dan ungu
Disertai dua lembar si warna biru
Padahal ini akhir minggu
Cukupkah esok menjamu anak-anakku?

Pikirku cepat tak boleh ragu
Mencari resep jitu mengakali  pagu
Makan di rumah saja ya, Nak, masakan ibu
Nanti kita tak perlu ke Pasar Baru
Cukup melemaskan kaki di seputaran Setu*

Lembaran-lembaran semu tak boleh mengganggu
Karna mereka sekedar belenggu nafsu
Tak boleh memuram hati yang teduh
Tak berhak memasung makna cinta yang agung
Keceriaan itu sungguh teramat lentur, tak berbilang tak terukur
(11 Oktober 2013)