Rabu, 28 Januari 2015

ASHA




Asha gelisah melihat hujan yg tak kunjung reda. Sudah lepas Isya. Malam kian pekat dan kantor semakin sepi.
“Nunggu siapa, Sha?”
Asha tergeragap melihat lelaki jangkung yg menyapanya.
“Nunggu hujan. Aku lupa bawa payung.”
“Nggak dijemput?”
Asha menggeleng lemah.
“Asha mau naik apa?”
“Mungkin taksi aja, Mas. Kalau kendaraan umum takut udah ga dapat duduk, tambah capek.”
“Ya udah bareng aku aja sampe nemu taksi.”
Asha ragu-ragu.
“Yuk…!”
Melihat hujan yg tak ada tanda-tanda untuk berhenti, Asha akhirnya terpaksa menerima tawaran Dafa, lelaki yang sesungguhnya sangat ingin dihindarinya.
Semobil berdua bersama Dafa, membuat Asha jadi kehilangan kata. Ditambah guyuran hujan yang menderas disertai angin. Malam semakin pekat. Hujan yang turun sejak siang menyebabkan lalu lintas kota yang biasanya sudah macet, semakin macet. Mobil Dafa terjebak ditengah kemacetan Jalan Balikpapan.
“Mengapa nggak jalan sama sekali?” Gerutu Dafa
“Mungkin ada kecelakaan,” lirih Asha.
Dafa memutar radio mencari info. Lalu mendengus kesal mendengar berita di radio.
“Ada papan reklame jatuh ke jalan,” katanya.
“Jadi kita gimana, Mas?” Asha terlihat bingung. Hari sudah terlalu malam baginya untuk berada di luar rumah. Ayah dan Mamanya sudah berkali-kali telpon menanyakan posisi Asha.
“Entahlah. Kau lapar, Sha?”
Asha mengangguk pelan, dari tadi perutnya memang berbunyi minta diisi. Ia belum sempat makan malam di kantor tadi.
Dafa melihat Asha tampak menggigil. Ia mengambil jaketnya di jok belakang dan menyodorkannya pada Asha.
“Pakailah…!”
Asha gemetar, sangat ingin menolaknya tapi tak mampu.
“Buruan dipake, gih! Nanti sakit kamu.”
Asha memakai juga jaket yang diulurkan Dafa. Matanya terpejam,  menangis dalam hati. Yang ada dalam pikirannya saat itu bagaikan Dafa yang tengah memeluknya hangat. Asha semakin gemetar. Dafa terlihat khawatir.
“Aku beli bakpao sebentar ya, tuh di pinggir jalan. Aku juga lapar.”
Asha mengangguk. Ia memilih membiarkan hatinya menikmati kelebatan Dafa. Ia telah terlalu lelah senantiasa menghindari segala bayangan tentang Dafa.
Namun angannya tak dibiarkan berlarut. Dafa sudah kembali dengan bakpau hangat dan dua cup susu coklat hangat.
Sebentar kemudian bakpau dan susu coklat sudah berpindah ke perut mereka berdua. Setengah jam berlalu. Mobil masih stuck dalam kemacetan. Hujan tinggal gerimis.
“Sha…”
Asha menengok ke arah Dafa. Yang di tengok hanya menatapnya tajam. Asha tertunduk.
“Bicaralah…!”
“Apa, Mas?”
“Apa sajalah…”
“Aku... Nggak tahu...” Hati Asha mulai terasa ngilu.
“Bicaralah…!”
Dafa semakin lekat menatap Asha. Ia semakin salah tingkah ketika tiba-tiba Dafa meraih jemarinya. Asha reflek menarik tangannya. Namun bukannya terlepas, justru Dafa menariknya dalam pelukannya.
Tubuh Asha mendadak lemas, tak bisa menolah rengkuhan hangat Dafa. Hanya air matanya yangg mengalir tanda hatinya sakit sangat.
“Menangislah. Biar lega sesakmu…!”
Dafa mengelus rambutnya.
“Mas...”
“Ssstt…! Jangan katakan apa-apa. Aku tahu apa yang ingin kau katakan.” Asha menengadahkan wajahnya. Mencari kejujuran di mata Dafa. Mata hitam pekat Dafa menatap tajam ke bola mata Asha, penuh gemintang.
“Biarlah hati  kita yang bicara.”
Asha kembali terguguk dalam pelukan Dafa.
“Tidurlah! Kau pasti lelah. Aku akan menjagamu.”
Asha hanya bisa menurut. Memejamkan matanya dan bermimpi, berlari bersama Dafa.
Entah berapa lama ia terlelap. Asha tergeragap saat sebuah tangan mengelus lembut pipinya.
“Bangun, Sayang…!”
Asha semakin terperanjat. Kenapa bukan suara Dafa? Apa macetnya sudah terurai? Kok sepi sekali?
Asha membuka matanya perlahan. Wajah cemas mama yang ditemukanya. Ayah tampak khawatir di ujung tempat tidurnya. Seluruh ruangan serba putih. Asha ingin bangun tapi nyeri yang dirasakan disekujur tubuhnya. Tiba-tiba ia teringat Dafa. Bukankan terakhir kali ia tengah tertidur dalam pelukan Dafa dalam mobil yang terjebak macet? Asha panik.
“Mas Dafa…?” rintih Asha.
“Tenanglah, Asha. Kamu belum boleh banyak bergerak.”
“Mas Dafa... Dimana...?”
“Asha, sabar ya, Sayang…”
“Mas Dafa… mana, Ma...? mata Asha menyiratkan penjelasan. Mama menengok ke arah Ayah meminta persetujuan. Ayah mengangguk.
“Pak Dafa... sdh tenang...” Kata Mama ragu. Jelas tergambar kekhawatiran akan reaksi Asha tentang kondisi Dafa yang sebenarnya.
“Maksud… Mama? Asha terbata.
Mamanya terdiam. Asha mengerti.
Tubuhnya mendadak mengejang, tatapan matanya nanar, memanas, lalu gelap.
Dafa telah pergi darinya, bukan karena pelukan istrinya, tapi direnggut dahan angsana yang ambruk menimpa mobilnya malam itu.

***
Jakarta, 28 Januari 2015
Mengenang kemacetan total tahun 2001.

Selasa, 27 Januari 2015

Akibat Negatif Liburan Sempurna Bagi Anak


Terkadang, niat baik orang tua tak selalu berakibat baik pada anak-anak. Misalnya niat menyenangkan anak-anak dengan menciptakan liburan yang spesial, ternyata bisa juga berakibat negatif bagi anak-anak khususnya yang masih berusia TK/SD. Kejadian yang menimpa anak bungsuku yang masih duduk di kelas 1 SD, menjadi salah satu buktinya.
Alkisah, liburan akhir tahun 2014 lalu, berjalan dengan nyaris sempurna bagi keluarga kami. Meski aku sendiri sudah tak memiliki cuti dan anggaran yang tersedia cukup terbatas, aku ingin menebus beberapa liburan sekolah terakhir yang berakhir di rumah saja karena aku lebih banyak disibukkan dengan sakit yang aku alami atau mengurus salah satu anakku yang sedang sakit.
Sementara aku belum bisa mengambil cuti, aku mengajak suami dan anak ketiga dan keempat (si bungsu) untuk ikut ke kantor. Kebetulan suasana di kantor cukup kondusif untuk mengajak keluarga. Itu juga menjadi salah satu keinginan anak-anak sejak sebelum liburan mereka tiba. Seharian berjalan dengan menyenangkan.

Agenda selanjutnya, Bapak dan Ibu sengaja aku minta untuk datang karena anak-anak sudah sangat kangen dengan mereka, sementara kalau kami sekeluarga yang pergi ke sana akan memakan budget yang sangat besar dan waktu yang tak memadai. Dua anakku yang di pesantren juga berlibur. Keluarga kami sangat lengkap ditambah dengan keluarga adik lelakiku satu-satunya. Suami sengaja cuti selam 5 hari kerja, sedangkan aku sengaja mengambil cuti sehari di hari kejepit setelah tahun berganti sehingga stok cuti tahunanku telah terisi kembali.

Kami menginap di sebuah hotel atau villa seperti yang sudah lama diinginkan anak-anak. Villa tersebut milik salah satu teman Paklik kami yang juga dekat dengan keluarga besar kami. Letaknya  di lereng Gunung Salak, Bogor. Kami bukan saja dipinjami villa untuk menginap, malah segala fasilitas telah disiapkan oleh mereka. Tak ada aktifitas yang luar biasa di sana, tapi cukup membuat kami merasa fresh. Meski gerimis sempat menyapa siang hari ketika kami tiba, tak menyurutkan kami untuk jalan-jalan di sekitar villa sambil menyaksikan pemandangan yang luar biasa indah. Pemilik villa yang sempat mengantarkan kami ke lokasi, mengajak kami untuk memanen buah naga merah di depan villa sekaligus makan rame-rame. Camilannya kacang rebus dan pisang dari kebun di villa, kedelai rebus, dan durian yang sempat dibeli di kebun durian Warso dalam perjalanan menuju villa.

Meskipun anak kedua sempat masuk angin dan muntah-muntah setelah pulang dari villa, liburan terus berlanjut dengan nonton bareng dan berbelanja kebutuhan sekolah anak-anak. Selebihnya kami melanjutkan liburan di rumah dengan aktifitas bersama dan pergi ke rumah adik di Bekasi. Terkesan dengan villa tempat kami menginap, kami menciptakan villa kami sendiri. Rumah kedua kami yang terletak di depan rumah yang kami tempati, kami kondisikan sebagai villa. 2 hari kami menginap di sana. Ternyata anak-anak sangat menyukainya.
Liburanpun berakhir. Liburan yang cukup sempurna setelah lama kami tak berlibur bersama. Kedua orang tua sudah kembali ke kampung. Anaka pertama dan kedua sudah kembali ke pesantren. Anak ketiga dan si bungsu sudah harus masuk sekolah lagi. Aku dan suami juga kembali beraktifitas normal.

Tak disangka, setelah 3 hari masuk sekolah, si bungsu ngambeg nggak mau sekolah sampai 3 hari. Hari keempat aku sengaja ijin dari kantor mendampingi anakku sekaligus mencoba mencari penyebab mengapa si bungsu ngambeg sekolah. Dugaan bermunculan, dari dimarahi guru, bertengkar dengan teman, atau kejadian yang membuat trauma anak di sekolah. Aku berkomunikasi dengan guru, kepala sekolah dan teman-temannya. Usut punya usut, anakku ternyata masih terkenang-kenang dengan liburannya yang sangat menyenangkan baginya sehingga membuatnya enggan untuk pergi ke sekolah.

Setelah diberi pengertian dan support dari guru dan teman-temannya, sekarang dia sudah mulai berkatifitas kembali seperti biasanya.

Meskipun liburan kali ini telah membuat anakku sempat ngambeg sekolah, aku tetap tak kan kapok untuk menyiapkan liburan sempurna bagi mereka pada liburan -liburan mendatang. Semoga saat itu, si kecil sudah lebih dewasa dalam bersikap sehingga saat liburan usai, ia akan kembali semangat untuk masuk sekolah.

***