Kamis, 27 Februari 2014

Kisah Tak Terungkap




 
Sumber image: wallike.com
#  Cinta itu tak pernah jauh dari air mata, tawa dan tak berdaya.  #

Ya, Tuhan, aku jatuh cinta. Sungguh jatuh cinta itu bisa membuat dunia menjadi lebih indah. Masalahnya, aku jatuh cinta entah untuk yang ke berapa kalinya pada makhluk yang sama. Pada angkuhnya, pada bening matanya, pada bibir bekunya, pada tatap menyesatkannya, pada semua yang tersemat di dirinya.
Ia bukan makhluk yang sempurna, jauh dari sifat menyenangkan, tapi entahlah, akupun tak pernah bisa menghentikan rasa ini. Setiap kali kubunuh cinta ini, pada sekejap waktu yang bergulir, cinta itu pasti kembali. Tak perlu kata-kata merdu merayu, tak perlu sapa lembut mendayu, tak perlu apapun untuk membuatku bertekuk lutut dihadapannya. Aku tak pernah mengerti. Cinta ini sungguh sulit kupahami
***

Apa sih yang membuatmu menyukainya? Lupakan dia. Begitu sahabat baikku bertanya setiap kali ia melihatku tersiksa karena cinta ini. Dan selalu aku tak kan pernah bisa menjawabnya. Aku tak mencintai wajahnya. Tidak juga briliannya. Aku bahkan tak tahu karena apa aku mencintanya. Cinta ini tak pernah bernama, tapi tak pernah lenyap sekejap pun. Setiap pagi, seperti embun cinta membasuhku lembut. Setiap siang, cinta menggelayut manja di langkahku. Di senja kala, cinta memerah menggelitik lara dan pada malam yang kelam, cinta menatapku dengan binar gemerlap menyesatkan. Tapi aku tetap tak tahu, dan cinta ini tetap tak bernama.
***

Sejarah indah kita telah lama berlalu. Tatap mata menghanyutkan. Tertawa bahagia dalam benang lembut kebersamaan menyesatkan bernama persahabatan. Kita begitu saja terseret arus membingungkan. Tatkala tawa kita menjadi tak biasa, kala debar tiba-tiba mewarnai hari-hari, saat kita tiba-tiba tersipu atau menunduk malu manakala mata kita bertemu. Kala mimpi tiba-tiba menjadi lebih berwarna dan semuanya sungguh terasa memabukkan. Seiring, sekata, sejiwa. Hingga kita sadar kita tak berpijak pada dunia yang sama. Dinding mematikan itu memaksa kita bungkam dan mati rasa. Tak ada yang bisa kita lakukan untuk membuat kita berada di dunia yang sama. Tak ada sama sekali. Kita memang selamanya hanya bisa bertemu dalam mimpi dan itu membuat kita saling menjauh, mencoba menjaga hati agar tak remuk tanpa bentuk. Saling menyakiti dengan keacuhan dan beku yang kita ciptakan. Nyatanya kita tetap saja remuk dalam hati dan menikmati kesakitan itu seperti halnya nasi yang tersaji di meja makan.
Jika sesekali waktu berbaik hati mempertemukan kita, maka benang merah kita seketika bertaut lagi, kalap, melibas habis rintangan disekitarnya. Melupakan sejenak dinding mematikan itu dan kembali pada kebahagiaan yang telah lama kita rampas dan paksa bersembunyi dalam cupu di kedalaman samudera batin kita. Itu seperti hujan pada kemarau yang melanda berpuluh tahun lamanya. Sayang sekali, kita akan segera membayar mahal kebahagiaan teramat singkat itu dengan luka menyeramkan dan sakit yang tak terperikan. Meski kini aku telah lebih pandai membingkai kesakitan itu dan membujuk hatiku untuk baik-baik saja jika itu terjadi, tetap saja aku terperangkap berhari-hari menyelami sepi, menyembuhkan sendiri nanah-nanah yang berkerak, menyirami bara yang berubah nyala. Hingga aku lelah menggapai permukaan tenang yang menggenang dalam serpihan kerontang.
Kita memang tak seharusnya bertemu kembali meski itu berarti kita menyerahkan hati kita pada lahat tak bernama.
***

Tahun demi tahun berlalu dalam kesunyian tanpa harapan sedikitpun akan berubah ceria. Aku menjadi benci duduk di sayap kanan dekat jendela pesawat, karena itu mengingatkanku saat kita terbang bersama untuk pertama dan terakhir. Aku pun benci datang ke kota itu, karena itu memaksaku menatap kenangan tak terhapuskan, kala kita masih bisa tertawa bahagia, tanpa beban. Aku bahkan benci mendengar dering teleponku, karena itu tak pernah lagi darimu. Engkau telah menghilang bersama biru, menguap bersama malam, melenyap dalam bayangan.
Aku hanya bisa menitipkan rinduku pada senja. Rindu yang nyaris tak terbendung. Aku berharap ia akan membawa rinduku padanya yang kini entah di mana, agar aku bisa melanjutkan hidupku tanpa beban yang berat membelenggu. Ah, aku benar-benar rindu pada mata teduhnya, lembut suaranya, dan manis senyumnya yang terbingkai angkuh. Senja yang baik, hadirkanlah ia sekali saja. Aku ingin bercerita padanya tentang rindu, tentang sakit di hatiku meski aku yakin iapun tahu. Biarkan kami bersama, berdua. Hanya berdua. Melepas sesak yang tersampir di hampir setiap celah udara. Setelah itu aku akan merelakannya kau bawa ia kembali pada dunianya, selamanya. Bawalah dia untukku, senja. Sebelum sayap waktu merenggut nafasku. Aku hanya ingin berkata padanya aku cinta dia dan aku ingin mendengar bibirnya bergumam aku cinta padamu, selalu. Ah, itu sih seperti kisah kanak-kanak bersama monyet cinta. Tapi aku tak peduli dunia akan terbahak atau melaknat. Aku tak peduli. Aku tak ingin berlebih. Aku hanya ingin itu, hanya itu. Dan aku akan mengembalikan seluruh cinta dihatiku padanya. Setelah itu, aku akan melebur dalam kawah penetralan. Membuang semua atribut cinta dan rindu yang kupunya, melemparkan segala sakit dan luka. Meluruhkan dosa atas nama cinta. Dan aku takkan lagi berada pada dua dunia.

***