Jumat, 29 Januari 2016

Pesan Untuk Anakku

Anakku, jadi apapun engkau kelak, jadilah yang terbaik.
Jika menjadi dokter jadilah dokter yang baik, yang peduli pada kaum tak mampu, yang tak segan membebaskan biaya pengobatan pada miskin papa, yang penuh senyum bersahabat sehingga pasien serasa telah sembuh 25% sebelum minum obat,
Jika menjadi kontraktor atau insinyur sipil, jadilah kontraktor /insinyur yang banyak membangun rumah Allah, membangun sarana umum dan sekolah dengan kualitas sesuai tender yang kau menangkan, membangun rumah-rumah rakyat sederhana yang layak huni.
Jika menjadi Petani, jadilah petani yang cerdas. yang pandai mengolah hasil pertanianmu dengan teknologi modern dan memiliki hasil dengan daya jual tinggi, yang mampu memenuhi kebutuhan rakyat di negara kita dengan baik, yang mampu menembus pasar ekspor keseluruh dunia.
Jika jadi pedagang, jadilah pedagang yang jujur, yang tidak semata mencari keuntungan, yang mengutamakan persahabatan sehingga pembeli datang bukan hanya karena kebutuhan tapi sekaligus berteman,
Jika engkau menjadi pemimpin, jadilah pemimpin yang tegas dan disiplin tanpa menghilangkan sisi kemanusiaanmu. Peduli pada bawahan dan mampu mendorong mereka untuk menjadi lebih baik, memberikan kesempatan seluas-luasnya mengembangkan karir bawahan tanpa takut untuk tersaingi.
Jika engkau menjadi presiden atau kepala daerah, utamakan kepentingan rakyatmu sebagaimana Umar, ra. Sahabat Rasulullah yang takkan membiarkan seorangpun rakyatnya kelaparan, yang rela mengorbankan harta dan pikirannya demi rakyatnya bukan memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri dan keluarganya.
Jika engkau menjadi politikus, jadilah politikus yang bersih dan jujur, jangan berusaha memenangkan kepentingan politikmu dengan segala macam cara dan suap, jangan menargetkan anggotamu yang lolos menjadi anggota lembaga tinggi Negara atau pimpinan di Negara ini untuk wajib setor kepada partai. Biarkan mereka melakukan tugasnya sesuai dengan amanah yang diembannya.
Jika engkau menjadi guru, jadilah guru yang bisa digugu dan ditiru, yang bukan sekedar mengajar, tapi juga mendidik, membentuk karakter generasi penerus yang berakhlakul karimah, bukan sekedar cerdas tapi juga bermental baja dan disiplin, tahan banting menghadapi segala persoalan hidup.
Jika engkau tak punya kesempatan menjadi “orang-orang terhormat” tetap jadilah yang terbaik. Karena sesungguhnya tak ada pekerjaan yang remeh didunia ini bila ditekuni sebaik2nya dan dilaksanakan dengan keikhlasan serta niat ibadah. Bukankah semua saling membutuhkan? Tukang sampah, tukang becak atau tukang bangunan sama pentingnya dengan Presiden atau Menteri. Coba tak ada tukang sampah didunia ini bagaimana jadinya bumi ini? Tukang becak pun bisa menjadi menjadi bukan sekedar tukang becak/tukang becak intelek, karena ia bekerja via internet, memanfaatkan interaksinya dengan penumpang untuk menjadi bahan tulisannya yang akan dibukukan.
Dari semua pekerjaan yang akan kau geluti nanti, jadilah kau orang yang kaya agar dapat berbuat lebih banyak untuk membantu orang lain, tetap jujur dan bersahaja meski harta berlimpah, rumahmu cukup untuk kau tempati dengan keluargamu supaya orang lain mendapat kesempatan tinggal lebih layak dan engkau tak harus mengerahkan banyak pembantu sekedar mengurusi rumah yang mungkin jarang disambangi. Senantiasa menyisihkan sebagian penghasilanmu dan menyalurkannya kepada yang berhak karena rezeki yang kau dapatkan tak semuanya menjadi hakmu, ada hak orang lain di sana.
***
#odopfor99days
#day20

Kamis, 28 Januari 2016

[Cerpen] Rembulan di Kolong Langit

Gadis muda itu menatap dinding penyangga rel kereta antara stasiun Juanda dan stasiun Mangga Besar. Dinding yang bergambarkan anak-anak yang sedang belajar. Sederet kalimat tertulis diatasnya. ‘dengan membaca menjadi cerdas’. Disisi lain dinding berhiaskan gambar dan tulisan yang berbeda. ‘sekolah, gerbang kehidupan yang lebih baik’.  Senyum terukir di bibirnya yang indah, matanya sedikit berkabut. Angannya memaksanya menapaki jejak-jejak kehidupan yang tak mudah terlupakan. Kehidupan di kolong rel kereta.
***
“Aira, bangun sayang,” ujar bapaknya lembut. “cepet mandi ya, trus sholat.” Setiap pukul setengah lima pagi, dengan setia bapaknya akan membangunkannya. Ibu sudah terlebih dulu sibuk membuat kue-kue yang sebagian akan dititipkan pada warung dekat rumah dan sebagian dijajakanya sendiri saat Aira tengah berada di sekolah.
Aira menggeliat malas, lalu bangkit dan merapikan tempat tidurnya yang hanya berupa selembar tikar pandan dan kasur bekas yang sangat tipis sekedar punggungnya tak menempel langsung dengan lantai. Ia lalu keluar ruangan yang merupakan rumahnya.’Rumah’ baginya adalah sebuah ruang persegi berukuran 3x3m yang terbuat dari triplek, menempel pada dinding pagar lahan milik PT KAI dekat stasiun Juanda. Atapnya terbuat dari terpal yang sudah ditambal di beberapa bagian. Tak ada sekat di dalamnya. Hanya ada sebuah lemari alakadarnya tanpa pintu (jika itu masih pantas disebut lemari) untuk tempat menyimpan baju-baju. Lalu sebuah tikar dan kasur tipis kumal tempatnya tidur, sebuah tikar lagi tempat bapak ayah dan ibunya tidur. Di sudut ruangan itu terlihat beberapa buku-buku dan perlatan sekolah Aira. Bertiga mereka menempati ruangan itu.
Ibunya biasa memasak di samping rumah mereka. Kamar mandi mereka adalah kamar mandi darurat yang dipakai bersama-sama dengan beberapa penghuni rumah-rumah liar disana. Jangan harap ada bak mandi yang bersih dengan pancuran yang sejuk atau bahkan bisa disetel untuk air panas. Kamar mandi itu hanya terbuat dari kain rombeng dirangkap plastik bening yang ditata sedemikian rupa sehingga menutupi orang yang sedang mandi di dalamnya. Tak ada bak mandi,hanya sebuah kran dan gayung untuk meratakan air. Lantainya terbuat dari batu kerikil yang ditaburkan agar tak menimbulkan becek jika terkena guyuran air mandi. Airnya mengalir ke selokan yang memanjang sepanjang tiang penopang  rel kereta. Peralatan mandi dibawa masing-masing oleh orang yang akan mandi disitu. Setiap hari, sekitar 15 orang yang memanfaatkan ‘kamar mandi’ itu.
Aira segera mengambil peralatan mandinya dan melupakan dinginnya pagi itu agar segera mendapat giliran mandi sebelum para penghuni lain mulai mengantri. Ia juga harus segera bersiap untuk pergi sekolah yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Bapaknya akan mengantarnya ke sekolah berjalan kaki sambil mencari barang-barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan. Ya, bapaknya memang seorang pemulung.
Keluarga Aira mulai menghuni tempat itu sejak Aira berusia 1,5 tahun. Sebelumnya mereka tinggal di                                 sebuah kampung di Jawa Timur. Bapak Aira termasuk salah satu orang kampung yang terpedaya magnet kota Jakarta. Berbekal tekad dan sedikit uang, bapak dan ibunya membawa Aira yang baru bisa berjalan, mengadu nasib di belantara Ibukota. Sayang nasib tak berpihak pada mereka, setelah lontang-lantung dan bekerja serabutan selama beberapa waktu, keluarga Aira akhirnya tak bisa lagi mengontrak sebuah rumah yang paling kecil sekalipun. Mereka hanya bisa membuat rumah alakadarnya dari triplek dan kayu bekas. Bapaknya menjadi pemulung dan ibunya menjajakan kue-kue buatan sendiri. Tapi keadaan mereka tak menyurutkan semangat bapak Aira untuk menyekolahkannya.  Ibunya pernah mengeluhkan pada bapak tentang beratnya menyisihkan uang untuk membeli buku-buku Aira. Tapi bapaknya tak mau Aira sampai keluar dari sekolah. Aira yang beranjak menjadi gadis kecil yang cantik dan cerdas.
“Apa kau ingin, Aira menjadi seperti kita, bu, atau seperti si Luluk yang kelayapan dimalam hari mencari om-om senang?” kata bapknya setiap ibunya mulai mengeluh. “ Tidak. Aira adalah putri kecilku yang cantik dan cerdas. Aku tak mau ia menanggung derita akibat kesalahan orang tuanya. Seberat apapun aku akan menjadikannya keluar dari lingkaran kumuh ini. Dan aku yakin, sekolah adalah cara yang terbaik untuk itu.”
Sejak itu ibunya tak lagi mempertanyakan kenapa harus memaksakan Aira untuk sekolah. Ia hanya bisa bekerja lebih keras membuat kue-kue untuk dijajakan. Kawan-kawan bapaknya suka meledeknya, kenapa bersemangat sekali sekolah, sementara teman-teman sebayanya sibuk mengamen, mengemis atau bahkan menjajakan diri. Aira hanya tersenyum, atau sesekali menjawab singkat, “Aku ingin meraih rembulan.” Biasanya mereka kan menertawakannya, tapi ia tak peduli.
Pada malam-malam purnama, bapak selalu mengajaknya ke sebuah tempat yang keramat bagi mereka berdua. Berdiri di depan dinding tiang penyangga rel kereta yang bergambarkan anak sekolah dan bertuliskan ‘Sekolah, gerbang kehidupan yang lebih baik.’ Lalu memandang purnama yang terang dilangit malam dan berkata, ”Aira anakku, kamu memang hanya anak seorang pemulung. Tapi, rembulan itu tak pernah pilih kasih memberikan sinarnya, menunggu manusia-manusia untuk meraihnya. Jangan sekali-kali kau takut untuk meraihnya. Rembulan tak setinggi langit, Aira. Kau pasti bisa. Bapak dan ibu akan membantumu sekuat tenaga.”
“Bapak yakin aku akan bisa?”
“Dengan doa dan usaha yang keras, bapak sangat yakin kau bisa.”
Begitulah, setiap purnama, bapak memompakan semangat untuk terus maju.
“Kalau sekolah memang bisa membawa kita pada kemajuan, lalu mengapa mereka tak mau sekolah, pak?”
“Karena mereka tak bisa melihat rembulan.”
Aira tak mengerti maksud perkataan bapak, tapi ia sangat yakin apa yang dikatakan bapak benar. Ia sangat bangga memiliki bapak sepertinya. Karena itu Aira belajar lebih keras meski dengan sarana seadanya. SPP memang sudah tak perlu bayar lagi, tapi kebutuhan sekolah lainnya tetap pelu diperjuangkan. Buku-buku pelajaran tak semua bisa dibeli dengan dana BOS, buku tulis, seragam, sepatu, dan tas sekolah tetap memerlukan biaya yang tak sedikit bagi keluarga Aira. Beruntung Aira anak yang mau menerima keadaan. Seragam kumal, sepatu yang harus ditambal berulang kali, atau buku yang terpaksa harus pinjam temannya dan buku tulis yang harus ia hemat sedemikian rupa tak menyurutkan ia belajar dan bersaing dengan teman-teman lainnya.
Sesekali Aira sangat senang ketika di antara gurunya memberikan tas, seragam, atau peralatan sekolah sekedarnya. Aira memang menjadi kesayangan gurunya. Kondisinya yang kekuranyan tak membuat ia menjadi tertinggal. Kecerdasan otaknya mungkin bukan yang terbaik disekolahnya, tapi Aira anak yang pintar bergaul dan tekun. Paling tidak ranking sepuluh besar selalu ia genggam. Iapun ringan tangan membantu teman-temannya dalam segala hal.
Beberapa temannya ada pula yang tak suka dengannya karena iri. Tapi Aira tetap menghormati mereka meski sering kali diganggu mereka.
***
Suatu hari, sepulang sekolah, bapak mengajak Aira ke sebuah tempat. Universitas. Mereka berdiri di depan universitas tersebut cukup lama. Bapak memandangi bangunan dan mahasiswa yang lalu lalang keluar masuk. Aira tak mengerti mengapa bapak mengajaknya kesana.
“Pak, mengapa bapak mengajakku kesini?”
“Kau lihat bangunan itu Aira?” Aira mengangguk.
“Itu adalah gedung yang akan mencetak orang-orang pintar.”
“Bagaimana Bapak tahu?”
“Itu namanya universitas. Dan kau lihat mereka yang keluar masuk gedung itu? Mereka itu calon-calon orang pintar. Kau mau seperti mereka?”
“Pasti aku sangat ingin. Tapi biayanya pasti mahal, pak.”
Binar mata Bapak tak sedikitpun meredup oleh pertanyaan Aira.
“Kita pasti bisa. Kau pasti bisa.”
“Bagaimana caranya, Pak?”
“Aku tak tahu bagaimana, tapi bapak yakin impian bapak itu akan menjadi nyata. Bapak selalu berdoa untukmu.”
Tiba-tiba percakapan mereka terganggu oleh kedatangan seorang satpam unversitas itu. Mungkin ia curiga melihat seorang pemulung dan anak kecil berseragam sekolah dasar sejak tadi memandangi bangunan universitas.
“Sedang mencari apa pak?”
“Oh tidak ada, pak. Saya sedang membangun mimpi buat anak saya. Suatu saat anak saya akan bisa bersekolah di sini.”
Satpam itu terheran-heran dan tersenyum geli.
Ini orang, mimpinya nggak kira-kira ya.
“Ya, sudah jangan menghalangi mahasiswa yang mau lewat ya.”
“Terima kasih pak, kami sudah selesai. Mari!”
“Ya, mari.”
Mereka lalu beristirahat sejenak di bawah pohon di pinggir jalan sambil minum air bekal dari rumah.
“Aira, kau mau berjanji pada bapak?”
“Ya, Pak.”
“Berjanjilah kau akan bisa seperti mereka.”
“Tapi, Pak…”
“Yakinlah, ini bukan sekedar mimpi. Kau pasti bisa. Selama Bapak masih hidup bapak akan berjuang sekuatnya agar kau bisa meraihnya.”
“Ya, pak.”
“Pun bila Bapak tak lagi bisa mendampingimu, berjanjilah kau akan terus berjuang meraihnya.”
“Pak….”
“Berjanjilah..!”
“Aira janji, Pak.” Kedua anak beranak itu tersenyum. Langit bergetar mendengar harapan tulus mereka, berjanji menyampaikannya pada Penguasa Semesta.
Mereka lalu pulang bergandengan tangan. Bapak adalah tokoh idola Aira. Disaat bapak-bapak yang lain membiarkan anak-anaknya mengamen, mengemis, atau bahkan mencopet dan menjajakan diri, Bapaknya malah menyuruhnya sekolah. Sebentar lagi Aira lulus SD dan ia tak tahu apa bisa melanjutkan sekolah ke SMP.
Malam itu Aira membenamkan di kepalanya sebuah tujuan, sekolah setinggi mungkin untuk meraih rembulan. Apapun, bagaimanapun caranya.
***
Hari itu, Aira terlambat pulang sekolah. Gurunya memintanya membantu mempersiapkan acara yang akan diadakan oleh sekolahnya esok hari. Aira yang sudah kelas 3 SMA telah menjelma menjadi seorang gadis yang cantik, bersih, dengan mata beningnya yang kelihatan penuh optimisme. Hari sudah menjelang malam. Aira berjalan sendiri melewati sepanjang rel kereta. Bapak sudah tidak menjemputnya seperti ketika masih SD dan SMP. Adzan Magrib baru selesai berkumandang. Namun pemandangan sepanjang jalan ke rumahnya membuat berdiri bulu kuduknya. Selama ini Aira tidak pernah diijinkanbapak untuk keluar malam. Selama ini Aira sudah sering mendengar selenthingan tentang aktifitas malam hari perempua-perempuan tetangganya, tapi baru kali ini Aira melihat sendiri.
Aira makin mempercepat langkahnya ketika merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang. Mulutnya tak berhenti komat-kamit meminta pertolongan pada Tuhan. Langkah-langkah yang mengikutinya kian mendekat.
“Jangan cepat-cepat, Neng! Mari kita bersenang-senang dulu bersama akang,” kata salah seorang yang mengikutinya. Aira hampir berlari ketika di sebuah belokan yang gelap, sebuah tangan yang kokoh menariknya. Aira nyaris menjerit ketika kemudian ia mengenali orang tersebut.
“Bapak!”
“Kau diam di sini. Biar bapak beri pelajaran dia.”
“Jangan, Pak. Aira takut.”
“Kalau terjadi apa-apa dengan  bapak, jangan pedulikan bapak. Larilah dan berteriak sekencang-kencangnya mencari pertolongan. Satu lagi, berjanjilah kau akan terus sekolah apapun yang terjadi.”
“Pak…” Aira tercekat. Ia sangat khawatir dengan bapaknya.
Bapak lalu menghadapi dua orang pemuda yang sedang mabuk itu.
“Berani sekali kau mengganggu anakku.”
“Ha ha ha. Memangnya kau siapa? Anakmu itu gadis yang cantik. Akan berguna bagimu jika kau jual pada kami… hua ha ha ha…”
Aira bergidik mendengar tawa itu.
“Sudah, jangan banyak omong. Mana perempuan itu?” kata lelaki yang satunya mencoba mencari Aira yang bersembunyi dalam gelap. Bapak mencoba menghalangi, namun sebuah tendangna tiba-tiba menghantam kakinya. Baku hantam pun terjadi beberapa saat. Merasa terdesak, bapak berteriak menyuruh Aira lari minta pertolongan. Aira sangat ketakutan tapi ia juga tak tega meninggalkan bapak dikeroyok preman-preman itu. Sampai sebuah benda mengkilat berkelebat menusuk perut bapak. Darah langsung mengucur dengan deras. Aira yang sejak tadi mengintip dalam gelap, menjerit.
“Lari, Aira!” pelan suara Bapak berusaha memperingatkan Aira. Antara khawatir keselamatan bapak, Aira berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak kesetanan.
===
Aira memeluk ibunya erat. Menatap pusara bapak yang mulai sepi ditinggalkan para pelayatnya. Segalanya tak lagi sama. Bapak tak tertolong setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Aira dan ibunya terpaksa pindah rumah demi keselamatan mereka. Meskipun dua orang penyerang bapak telah ditangkap, mereka khawatir suatu saat akan balas dendam. Beruntung, ada seorang polisi yang baik hati, mau memberi mereka bantuan agar bisa mengontrak rumah sederhana. Aira dan ibu memulai hidup baru berdua. Ibunya tetap berjualan kue, sementara ia mencoba memberikan les kepada anak-anak disekitarnya. Dengan segala kesederhanaan, ia bisa melanjutkan kuliah. Dibenaknya hanya ada belajar dan belajar. Prestasinya sangat cemerlang dan berhasil menjadi asisten dosen. Sekarang ia benar-benar menjadi dosen di sebuah universitas ternama. Kehidupannya semakin membaik. Ibunya sudah berhenti berjualan.
Setelah segala yang diraihnya, Aira sangat merindukan bapak dan tiba-tiba ia ingin mengenang bapak dengan mengunjungi tempat tinggal mereka dulu. Semua telah berubah, rumah-rumah kardus dan kayu bekas telah sirna. Lukisan itu masih ada meski telah mulai samar. Beberapa bahkan telah diganti lukisan dan tulisan baru.
Aira menghentikan mobilnya dekat tempat dimana dulu ia biasa mandi. Sekarang tempat itu telah bersih. Semenjak kejadian pembunuhan bapak, tempat itu di bersihkan oleh aparat dari segala aktifitas pemukiman liar. Rumah-rumah kardus habis diobrak-abrik dan dibakar.
Kini Aira berdiri di tempat keramatnya bersama bapaknya dulu. Rembulan telah diraihnya, meski tanpa bapak. Tapi tanpa pengorbanan bapak, semuanya tak mungkin bisa.
***
Semoga makin banyak anak-anak jalanan seberuntung Aira.
#odopfor99days
#day19

Rabu, 27 Januari 2016

Menyoal [kembali] Cuti Bersama

Cuti adalah keadaan tidak masuk kerja yang diijinkan dalam jangka waktu tertentu. Cuti diberikan dalam rangka usaha menjamin kesegaran jasmani dan rohani dan merupakan hak Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dalam 1 tahun diberikan 12 hari cuti dan biasanya dimanfaatkan untuk keperluan yang penting dan mendesak bagi pegawai tersebut.
Tahun 2016 ini, jumlah Cuti Bersama ditetapkan sebanyak 4 hari kerja sesuai dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2015, Nomor 2SKB/MEN/VI/2015, dan Nomor 01 Tahun 2015 Tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2016. Alhasil sisa cuti tahunan untuk tahun 2016 tinggal 8 hari.
Menurut penulis, cuti bersama telah mengurangi hak cuti secara paksa dimana PNS dipaksa untuk mengambil cuti pada waktu yang tidak diinginkan sesuai dengan keinginan Pemerintah. Di sisi lain, kalau ada hari libur nasional yang bertepatan dengan hari Sabtu dan Minggu, tidak ada penggantinya di hari lain.
Pada awalnya cuti bersama hanya diberlakukan pada saat lebaran, kemudian bertambah saat natal, bahkan sempat diberlakukan setiap kali ada hari ‘kejepit’ yang bertepatan dengan libur nasional apapun. Alhasil, cuti bersama tersebut semakin menguras jumlah cuti yang sedianya dapat di-manage sendiri oleh masing-masing pegawai.
Issue awal yang melatarbelakangi pemberlakuan cuti bersama adalah untuk mengurangi PNS yang mangkir di hari ‘kejepit’. Namun demikian issue tersebut tidak semestinya diselesaikan dengan cara pemaksaan cuti bersama tetapi harusnya dengan tindakan lain yang hanya ditujukan kepada PNS yang memang mangkir dan bukan disamaratakan kepada semua PNS termasuk PNS yang tetap disiplin pada hari itu. Hal seperti ini jelas merupakan kesia-siaan dan ketidakadilan.
Cuti bersama seharusnya juga mempertimbangkan tujuan pemberian cuti tahunan yaitu dalam rangka usaha menjamin kesegaran jasmani dan rohani para PNS. Terlepas dari propaganda media tentang PNS yang malas, banyak menganggur dan sebagainya, sesungguhnya jauh lebih banyak PNS yang benar-benar bekerja dengan beban dan tekanan kerja yang tinggi bahkan hingga melewati jam kerja. Dengan kondisi seperti itu, cuti tahunan akan sangat dibutuhkan untuk refreshing dan kebutuhan penting lainnya misalnya menjaga anggota keluarga yang sakit, mengurusi pendidikan anak,  dan keperluan keluarga lainnya. Dengan memanfaatkan cuti tahunan sebaik-baiknya, diharapkan bisa mengurangi tingkat stress yang ujung-ujungnya dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Pemberlakuan cuti bersama rata-rata selama 4 hari dalam satu tahun dengan menyisakan hak cuti sebanyak 8 hari juga merupakan sebuah pemaksaan terhadap PNS non-muslim ikut libur saat Lebaran dan PNS non-Kristiani pada saat libur Natal. Bahkan tidak semua umat agama bersangkutan juga ingin cuti sebanyak ketentuan cuti bersama pada hari rayanya. Misalnya ketika Lebaran tidak mudik, tentu tidak perlu harus berlibur selama seminggu penuh.
Dalam hemat penulis, jika memang pada saat Lebaran dan Natal sudah bisa dipastikan wajib cuti bersama, mengapa tidak sekalian saja liburnya diperpanjang tanpa harus mengurangi hak cuti pegawai. Sebagai perbandingan, Pakistan menerapkan libur lebaran selama 5 hari kerja atau seminggu penuh, UEA memberikan libur seminggu untuk pegawai sektor publik,  Arab Saudi 12 hari, Kuwait 10 hari, dan Malaysia satu minggu. Atau jika tidak mau menetapkan libur lebih panjang tanpa mengurangi cuti, sebaiknya libur nasional dikembalikan sebagaimana semula tanpa adanya cuti bersama agar cuti dapat diambil oleh pemilik cuti bersangkutan sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Dengan demikian juga tidak terjadi pemaksaan terhadap pemeluk agama lain, bahkan kepada pemeluk agama bersangkutan yang memang tidak ingin cuti pada waktu itu melainkan ingin mengalokasikan cutinya untuk kesempatan lain.
Barangkali, perlu dilakukan sebuah kajian terkait penerapan cuti bersama ini yang melibatkan semua unsur masyarakat dan agama, apakah penerapan cuti bersama sudah sesuai dengan tujuan penerapan cuti bersama atau bahkan telah menjadi salah satu penyebab menurunnya kinerja pegawai. Semoga para pengambil keputusan dapat mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.
***
#odopfor99days
#day18
#cutibersama

Selasa, 26 Januari 2016

[Cerpen] Gerimis Malam

Gerimis masih mengguyur malam. Dipandanginya sebuah foto pengantin di handphone-nya. Gerimispun turun dihatinya. Akhirnya ia menemukan pujaan hatinya, cinta pertamanya  yang telah menghilang sejak 15 tahun silam.  Lelaki yang selalu memenuhi relung hatinya itu kini telah memiliki pendamping dan seorang bidadari kecil dalam rumah cintanya. Adakah ia mengingatnya meski sedikit saja? Azra mendesah dalam hati.
Lalu ia teringat pada seseorang yang sungguh mencintainya namun dengan kejam telah disakitinya. Apakah ia juga telah berbahagia bersama perempuan lain yang lebih mengerti dirinya?
Gerimis di hatinya makin deras manakala ia teringat ibundanya yang kerapkali menanyakan kapan ia akan menikah. Usianya telah melewati kepala tiga dan tak ada tanda-tanda kedekatannya dengan lelaki manapun. Inikah balasan dosanya pada bunda dan Faisal, lelaki yang pernah hendak meminangnya namun di tolaknya demi cinta yang masih memenuhi batinnya pada Rangga.
Ketukan pintu rumahnya membuatnya tersentak kembali ke masa kini. Fadia, sahabat lamanya yang baru bertemu setelah sekian tahun, telah berdiri di muka pintu dengan senyum terkembang dan bias rindu di wajahnya.
“Fadia!” Azra menjerit girang, melupakan sejenak galau di hatinya.
“Azra!” merekapun berpelukan penuh haru dan rindu.
“Aku kangen sekali, Zra.”
“Aku juga, Fad. Masuklah, ” katanya sambil menggandeng tangan Fadia memasuki ruang tamunya yang mungil namun hangat.
“Sedang apa kamu, Zra?”
Azra sedikit tersentak, kembali teringat kenangannya.
Fadiapun terkejut melihat kesedihan yang melintas tiba-tiba di wajah sahabatnya itu.
“Kamu tinggal sama siapa Zra?”
Azra menggeleng.
“Tidak dengan siapa-siapa. Aku belum menikah.”
“Rangga?” Azra menggeleng lemah. “Kalau aku menikah dengan Rangga, pasti kamu akan tahu dan tak mungkin aku terdampar di ujung pulau Jawa ini.”
“Faisal?” sekali lagi Azra menggeleng. Kini giliran Fadia yang menarik nafas keheranan. Ia tak pernah mengerti dengan pilihan yang diambil sahabatnya itu.
Segalanya bermula pada reuni teman sekelas di SMP Harapan, 15 tahun lalu. Saat itu, mereka masih duduk di bangku kuliah. Reuni yang diadakan di rumah salah seorang teman sekelasnya itu mempertemukan Azra dengan Rangga yang telah membuatnya mengenal arti cinta sejak ia menginjak bangku SMP. Cinta yang dipendamnya diam-diam. Hanya Fadia seorang yang akhirnya tahu betapa ia mencintai Rangga. Ia sudah cukup bahagia bisa melihat senyum Rangga atau berdekatan dengannya dalam kegiatan sekolah. Azra merasa, Rangga juga memiliki perasaan yang sama. Namun entah mengapa Rangga tak pernah berkata apa-apa tentang cinta pada Azra.
Waktupun berlalu begitu cepat, menerbangkan Rangga dari sisinya. Kesibukan menuntut ilmu di kota yang terpisah, membuatnya sedikit melupakan Rangga. Bahkan, ia sempat memiliki kedekatan dengan Faisal, kakak kelasnya di bangku kuliah yang begitu baik dan berniat hendak melamarnya begitu ia lulus kuliah. Kedua orang tua mereka telah mengetahui hubungan itu dan merestuinya.
Namun rencana lamaran itu hancur berantakan dengan hadirnya kembali sosok Rangga pada malam reuni itu. Entahlah, ia tak bisa melupakan Rangga. Ia masih tetap seperti dulu. Penuh perhatian terhadapnya namun tanpa kata yang begitu ditunggunya untuk ia ucapkan.
“Gila, kau, Zra!” Fadia memekik mengetahui keinginannya untuk mengakhiri hubungannya dengan Faisal. “Bagaimana mungkin kamu bisa memilih bayangan semu dibandingkan kenyataan indah yang terbentang dihadapanmu?”
Azra cuma tertunduk kala itu. Nasehat bundanya pun tak mampu meluluhkan tekadnya untuk melepaskan Faisal.
“Menikahlah engkau dengan lelaki yang benar-benar mencintaimu,” bundanya menasehati dengan lemah-lembut sambil mengelus rambut ikalnya yang tergerai dipangkuan Bunda. Air mata Azra mengalir tak terbendung.
“Tapi, Bunda, salahkah aku bila aku ingin menikah dengan lelaki yang mencintaiku dan aku cintai,” Azra mencoba berargumen.
“Kamu bisa belajar mencintai lelaki yang mencintaimu. Sebagaimana orang-orang dulu yang menikah tanpa cinta. Agama kitapun tak mengenal pacaran kan? Cinta akan datang dengan sendirinya sejalan dengan kasih sayang yang kalian bina dalam rumah tangga.”
Azra bergeming. Air mata yang terus mengalir sebagai jawabnya. Ia lebih memilih Rangga bersama ketakpastiannya.
Faisal sangat berang ketika Azra berkata hendak melepasnya.
“Apa maksudmu, Azra? Aku tak bisa mengerti jalan pikiranmu! Kalau putus ya mesti ada alasan yang jelas.”
“Maafkan aku, mas…” lirih Azra tak berani menatap Faisal.
“Tidak, aku tak akan melepasmu. Aku begitu mencintaimu dan berniat menjadikanmu bidadari rumahku.” Azra tertunduk.
“Aku tak peduli jika kau tak mencintaiku. Asal kau mau, aku berjanji akan membuatmu jatuh cinta padaku selamanya. Aku mencintaimu Azra, dengan segala kelebihan dan kekuranganmu.”
“Tapi aku tak bisa, mas. Engkau terlalu baik untuk kusakiti.”
“Engkau justru menyakitiku dengan melepaskanku. Kalau kau perlu waktu untuk menyelesaikan masalahmu, aku akan setia menunggu. Dan aku akan lebih senang bila engkau melibatkanku untuk menyelesaikannya.” Mata Azra berkaca-kaca. ‘Kenapa laki-laki sebaik ini tak bisa membuatnya jatuh cinta dan melupakan Rangga?’ batin Azra.
“Aku tak bisa.”
Faisal menarik nafas dalam-dalam, meraih kedua tangan Azra dan menatap matanya lekat.
“Baiklah, aku tak akan memaksamu. Aku  pulang dulu, renungkanlah semuanya. Besok aku datang lagi, dan kuharap kamu telah merubah keputusanmu.”
Azra makin ngilu, dipandanginya punggung lelaki tampan yang hendak pergi itu.
“Mas…!”
Faisal menoleh. Menunggu ucapan Azra selanjutnya.
“Aku tak bisa melupakannya…”
“Apa..!!? Siapa? Lelaki pertamamu itu?” Azra memang sempat bercerita sedikit tentang Rangga sebelum mereka memutuskan untuk menjalin cerita bersama.
Azra mengangguk pelan.
“Omong kosong. Apa ia juga mencintaimu seperti aku mencintaimu?”
Azra menggeleng pelan. “Aku tak tahu, ia tak pernah berkata apa-apa.”
“Bila begitu, berarti dia tak mencintaimu.” Azra hanya diam.
“Azra, aku akan membantumu melupakannya,” Azra menggeleng.
“Aku sudah mencobanya berkali-kali dan tak pernah berhasil.”
Faisal menarik nafas berat.
“Apakah hanya dia yang bisa membuatmu bahagia?”
“Aku tak tahu.”
“Jika hanya dia yang bisa membuatmu bahagia, aku rela melepasmu, tapi hanya bila dia benar-benar menginginkanmu. Dan aku akan memastikan itu.” Azra terkejut.
“Apa maksudmu?”
“Aku akan memastikan apakah dia mencintaimu atau tidak.”
“Tidak, mas. Jika itu kau lakukan, sama saja dengan mempermalukanku. Lagi pula aku tak mau dia mencintaiku karena keterpaksaan. Aku mau semuanya berjalan apa adanya.”
“Jika begitu, aku tak akan melepasmu dan aku akan tetap melamarmu.Bila perlu, secepatnya.”
Dan berbulan-bulan kemudian, Faisal tetap setia datang ke rumah Azra, mencoba meluluhkan kekerasan hatinya. Namun tak pernah berhasil hingga akhirnya dengan berat hati, ia melepaskan Azra. Lalu ia menghilang membawa sakit hatinya.
Waktupun  terus berlalu. Azra tetap setia bercumbu dengan bayangan Rangga yang tak pernah nyata. Faisal telah pergi dengan berat hati. Dan Bundanya mencoba mengerti perasaan anak perempuan semata wayangnya sebagaimana Ayah yang lebih memilih diam.
Selepas kuliah, Azra diterima bekerja di ujung Barat pulau Jawa, jauh dari kota kelahiran yang membesarkannya dan sarat dengan kenangan. Karirnya melesat dengan cepat. Kesibukannya membuatnya bagai hilang tertelan bumi. Rangga menghilang, Fadia lenyap, Faisal entah kemana. Begitupun dengan sobat-sobat lainnya. Ia jarang pulang. Paling Bundanya yang rajin menengoknya bersama Ayah. Sampai kemajuan teknologi dunia maya mempertemukannya dengan sahabat lamanya, Fadia. Lalu iapun kembali terseret putaran arus masa lalu. Kemana gerangan Rangga. Ia malu hendak menanyakan pada Fadia. Maka dicarinya lelaki itu di dunia maya. Batinnya masih penuh harap sampai foto pengantin Rangga ada di tanggannya
***
“Azra…” Fadia menyentuh lembut tangan Azra. Ia tersadar dari lamunannya. “Kamu masih mengingat Rangga?” Azra tak menjawab.
“Aku tak pernah kontak lagi dengannya. Terakhir ketemu ya ketika reuni waktu itu.” Azra meraih handphone yang ia letakkan di meja saat membukakan pintu buat Fadia, lalu menunjukkan foto yang membuat hatinya gerimis. “Baru saja kutemukan,” ucapnya lirih. Fadia terkejut.
“Azra,” Fadia memeluk sahabatnya, mencoba memberikan kekuatan.
“Faisal bagaimana?”
“Entahlah. Aku tak pernah mendengar kabarnya lagi setelah aku melepasnya. Mungkin ia sangat marah dan sakit hati padaku. Dan aku yakin dia telah memiliki pendamping pula. Ini semua akibat perbuatanku sendiri. Aku telah berdosa pada bunda dan Faisal.” Gerimis itu kini meleleh di pipinya namun buru-buru dihapusnya.
“Ah sudahlah. Ini saat yang sudah lama aku nantikan. Jangan dikotori dengan kesedihan,” ujarnya sambil melepaskan pelukan sahabatnya. “O iya kamu gimana? Anakmu sudah besar ya? Dua-duanya jagoan yang ganteng.” Lalu mereka berbincang akrab, mencoba merangkai kejadian yang terlewatkan selama perpisahan mereka.
***
Malam ini, Azra berdandan cantik sekali. Baju biru warna kesukaannya membalut tubuh langsingnya dengan anggun. Kerudung bermotif bunga-bunga kecil di pinggirannya menyempurnakan penampilannya. Wajahnya cerah.
“Azra, Fadia sudah datang nih.” Suara Bundanya mengagetkan Azra yang sedikit terbawa suasana. Ia memang sedang berada di kampung halamannya. Dan malam ini ia akan datang ke reuni teman-teman sekelasnya di SMP dulu. Fadia sudah berjanji akan datang menjemputnya bersama suaminya.
“Iya, Bunda. Sebentar!”
Entah kenapa hatinya merasa lebih lega. Beban berat di hatinya selama ini seakan lenyap begitu saja. Jadi sebenarnya apa yang dicarinya dulu? Sebuah cinta ataukah hanya sebuah kepastian yang telah mengorbankan begitu banyak kesempatan?
Azra turun dengan anggun. Senyumannya terkembang di bibirnya yang merah. Ayah, Bunda, Fadia, dan suami Fadia, Dimas, menatap takjub ke arah Azra. Pesona kecantikan Azra seakan keluar semua malam itu. Azra jadi merasa risih sampai memerah kedua pipi ranumnya.
“Yuk kita langsung berangkat, sudah hampir terlambat kita,” ajak Azra.
“Ya udah, yuk,” sahut Fadia.
“Ayah, Bunda, kami berangkat dulu ya.” Azra berpamitan pada kedua orang tuanya lalu mencium tangan mereka.
“Kami berangkat, Pak, Bu,” Dimas dan Fadiapun berpamitan.
“Hati-hati ya, Nak!” kata Bunda.
“Assalamualaikum,” salam mereka bersamaan.
“Wa’alaikum salam,” jawab Ayah dan Bunda.
Mereka bertiga segera memasuki mobil Fadia yang terparkir di halaman rumah orang tua Azra yang cukup luas.
“Eh, anakmu gak ikut, Fadia?” tanya Azra.
“Pada nggak mau. Mereka lebih suka di rumah sama neneknya,” jawab Fadia. “Ya gitu deh, kalau dah menjelang ABG. Dah males kalau di ajak pergi ma ortunya. Apalagi kalau acara buat orang-orang tua.”
Lima belas menit kemudian, mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah makan yang cukup ternama di kota Azra. Suasananya sudah cukup ramai. Tiba-tiba saja dada Azra berdegub lebih cepat. ‘Seperti apa dia sekarang? Bagaimana istri dan anaknya? Bagaimana sikapnya jika melihatku? Aku harus bersikap apa?’ Pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan dalam benak Azra.
“Hai, Tio! Pa kabar? Mana istrimu?” kecamuk di benak Azra berserakan mendengar Fadia menyapa salah seorang teman mereka yang sudah hadir lebih dulu. Sejenak kemudian mereka telah larut dalam suasana akrab penuh rindu pada suatu masa di kelas II SMP dulu. Hangat dan meriah.
Mata Azra mencari-cari sosok yang begitu ingin dilihatnya setelah sekian tahun. Yang begitu dirinduinya.
“Sst….!” Fadia menepuk pundaknya lembut. Azra terkejut. “Mencari Rangga ya? ” godanya. Azra tersenyum malu. “Belum datang tuh kayaknya.”
Baru saja Fadia berhenti berbicara, ia kembali mencolek Azra.
“Lihat tuh, dia datang.”
Seorang lelaki berkulit gelap, berambut cepak, dengan perawakan  tinggi besar memasuki ruangan tempat reuni bersama seorang perempuan yang berperawakan agak gemuk dengan wajah setengah tersenyum. Degup di dada Azra makin kencang. Fadia melambaikan tangannya ke mereka agar mendekat. Dan pertemuan yang begitu diimpikan Azra pun terjadi.
“Hai, Fadia.”
“Hai Rangga. Kenalkan ini suamiku, Dimas. Ini istrimu?” tanya Fadia sambil melihat perempuan di samping Rangga.
“Iya. Kenalkan ini Tia, istriku.” Mereka saling bersalaman. Kemudian mata Rangga tertumbuk pada sosok cantik yang begitu berkilau malam itu. Azra. Dan entah kenapa, Azra merasa sebuah beban berat selama ini berjatuhan satu persatu. Dengan senyum manis dan nada yang ringan tanpa beban, ia menyapa pasangan itu.
“Hai Rangga, pa kabar?” Lalu ia menyalami istri Rangga. “Mbak Tia kenalkan aku Azra.” Sekilas Rangga menatap Azra takjub dan ada kilatan dimatanya yang menyiratkan sebuah makna. Dulu Azra sangat menyukai kilatan itu, tapi entah kenapa sekarang tak membuat Azra bereaksi yang sama. Keberadaan Tia, membuat mereka tak bisa lepas berbicara.
“Azra, lama sekali nggak denger kabarmu? Sekarang tinggal dimana?” lalu dia melihat kiri kanan seperti mencari seseorang. “Mana suamimu?”
Azra tersenyum.
“Kamu belum menikah?” Rupanya dengan cepat Rangga bisa menyimpulkan senyum Azra.
“Pangerannya keburu dibawa kabur putri lain,” sahut Fadia mencoba menyindir Rangga tanpa menimbulkan tanda tanya di hati Tia.
“Ah enggak, cuma belum ketemu jodoh yang pas aja.”
“Pangerannya itu emang bodoh sekali. Masak gadis secantik dan semenarik Azra ini disia-siakan begitu aja.” Ada nada kesal dalam ucapan Fadia.
Sekali lagi Azra tersenyum tanpa menghiraukan sindiran Fadia. “Aku sekarang tinggal di Bandung. Sama Fadia juga belum lama ketemunya.” Kalimat-kalimat itu mengalir begitu ringan. Dan selanjutnya mereka terlibat perbincangan akrab sebelum akhirnya bergabung dengan teman-teman mereka yang lain.
Setelah reuni itu berakhir, dan sesaat setelah duduk dalam mobil Fadia yang akan mengantarnya pulang, Azra mempertanyakan perasaannya kini. Mengapa sekarang aku tak merasa seperti dulu ketika bertemu Rangga? Dia jadi sama seperti teman yang lain di mataku? Jadi apa yang dirasakannya selama ini? Sekedar penasaran? Alangkah naifnya dia, demi sebuah kata itu telah mengorbankan orang-orang yang begitu mencintainya. Dan tiba-tiba ia merasa begitu kesepian. Ia lalu teringat Faisal. Tak seharusnya aku bersikap seperti itu padanya. Alangkah jahatnya aku. Ah, sudahlah. Semua telah usai.
“Aku nunggu di mobil aja, Ma!”kata Dimas pada Fadia ketika mobil itu berhenti dihalaman rumah orang tua Azra. Azra dan Fadia turun dari mobil. Sebelum melangkah ke rumah, Fadia menggamit tangan Azra memintanya untuk berhenti sejenak.
“Gimana, Zra? Masih mengharapkan Rangga?”
Azra tersenyum dan menggeleng pelan.
“Entah kenapa, perasaanku menjadi lebih netral setelah pertemuan tadi. Tapi tiba-tiba saja aku merasa kesepian, bukan karena dia. Entahlah.”
Giliran Fadia yang tersenyum penuh makna.
“Kalau gitu kita masuk yuk, dah malam. Orang tuamu pasti dah menunggu.”
Saat mereka hendak melangkah, Azra melihat sebuah mobil terparkir tepat di depan teras rumah. Mobil siapa? Dan kelihatannya ada orang yang masih berbincang di ruang tamu. Siapa pada jam 11 malam begini masih bertamu? Batin Azra.
“Siapa, Zra?”
Azra hanya menggedikkan bahunya. Sambil melangkah penasaran.
“Assalamu’alaikum!” Azra mengucapkan salam. Mengedarkan pandangannya ke segenap penjuru ruang tamu yang lega dan tertata apik. Ada ayah dan Bundanya di sana. Wajah mereka terlihat sumringah. Dan seorang asing yang duduk dekat ayahnya. Lelaki itu seperti pernah dikenalnya. Azra tercekat. Faisal?! Benarkah?
“Wa’alaikumussalam. Apa kabar Zra?” kata lelaki itu. Azra salah tingkah. Beruntung Bunda segera menggamit tangannya agar duduk di sebelah Bunda.
“Duduk dulu, Nak Fadia,” ucap Bunda pada Fadia. Fadiapun menurut.
Ada apa ini? Batin Azra.
“Azra, Nak Faisal sengaja datang ke sini hendak mengabarkan sesuatu padamu. Ayah rasa, kalian bicara saja dulu biar lebih leluasa. Ayah dan Bunda masuk dulu.”
“Kalau gitu saya juga langsung pamit saja Pak, Bu, mas Faisal. Kasihan mas Dimas terlalu lama menunggu di mobil.”
“Lho kok nggak ikut masuk, Nak?” tanya Bunda.
“Iya, Bu. Sudah malam, kasihan anak-anak di rumah cuma sama neneknya.”
Setelah ayah dan bundanya masuk dan Fadia pulang, tinggal Faisal dan Azra dalam diam sejenak.
“Lama nggak ketemu ya mas? Kok sendirian saja. Istri?” tiba-tiba ada rasa nyeri ketika ia menyebut kata itu.
“Istriku belum mau kuajak. Baru mau kutanya, mau nggak ikut denganku.” Ujar Faisal sambil tersenyum penuh makna. Azra mengernyit tak mengerti.
“Maksud, Mas Faisal?”
“Azra, sebelumnya aku minta maaf bila kehadiranku ini membuatmu terkejut. Ceritanya sangat panjang. Intinya malam ini, aku akan mengajukan lamaranku yang kedua kepadamu. Tadi aku juga sudah berbicara dengan ayah dan bunda. Mereka ikut kau saja. Fadia juga.”
Apa? Melamar? Apa-apaan ini? Memangnya aku bakal mau jadi istri kedua? Lalu mengapa ayah dan bunda merestuinya? Apa karena anak gadis satu-satunya ini dianggap sudah tak laku lagi? Dan Fadia? Apa hubungannya dibalik semua ini? Batinnya merasa tersinggung.
“Maaf, mas. Aku memang belum menikah di usiaku yang sudah bisa dibilang perawan tua ini. Tapi aku tak akan mau menjadi istri kedua buat siapapun,” ucapnya agak ketus. Faisal tertawa kecil.
“Emang kenapa kalau istri kedua? Kan agama nggak melarangnya?” Wajah Azra pias karena marah. Faisal jadi tak tega menggodanya lagi.
“Lagipula, siapa yang akan menjadikanmu istri kedua?” Azra tercekat.
“Maksud, mas?”
“Aku belum pernah menikah. Aku masih selalu menunggumu.” Suara Faisal cukup lembut, tapi terasa bagai petir di siang bolong di telinga Azra. Kemudian seperti bendungan yang tak lagi mampu menahan debit air di musim hujan, air mata Azra menyeruak membasahi pipinya.
“Percayalah Azra. Aku sangat serius. Aku ingin membuktikan padamu bahwa cintaku padamu benar-benar tulus. Kalau engkau tak bisa melupakan lelaki pertamamu itu dan tetap setia dengan penantianmu dalam diam, akupun bisa begitu. Selama ini aku terus memantau diam-diam perkembangan rumah ini. Aku lega tak pernah ada janur melengkung di rumahmu. Tapi aku tak berani mengusikmu sampai ketika  Fadia datang menemuiku.”
“Fadia?”
“Ya. Ia benar-benar sahabat yang baik. Setelah pertemuan denganmu dan tahu kalau Rangga telah menikah, Fadia berusaha mencariku. Entah bagaimana caranya dia bisa menemukanku. Dia menanyakan padaku apa aku sudah menikah. Ketika kubilang belum, iapun bertanya apa aku masih mencintaimu, akupun menjawab selalu. Dan akhirnya akupun bisa berdiri disini, di depanmu, melamarmu kembali.”
Kali ini bendungan itu benar-benar ambrol. Azra terguguk pilu. Subhanallah, betapa baiknya Allah padaku. Aku yang telah menyia-nyiakan kesempatan yang pernah diberikan oleh-Nya, ternyata masih diberi kesempatan untuk memperbaikinya.
Setelah tangis Azra mereda. Faisal kembali berkata.
“Jadi apakah kira-kira tuan putri yang cantik ini masih mau menerima pangerannya?” kata Faisal sambil tersenyum menggoda.
“Tapi aku sudah tidak muda lagi, mas.”
“Siapa bilang? Menurutku Azra masih pantas berusia 25 tahun.” Azra tersipu. “Jadi gimana?”
Azra terdiam sejenak. Dalam hatinya memantapkan hati dan membaca basmalah untuk memutuskan sebuah hal terpenting dalam hidupnya. Sambil mengusap sisa-sisa air matanya dan tersenyum, Azra mengangguk malu.
“Alhamdulillah!”
“Azra, sungguh aku sangat ingin memelukmu, tapi aku sangat menghormatimu. Dan aku akan melakukannya nanti setelah pak penghulu mengesahkan kita menjadi suami istri,” ujar Faisal sambil mengerling nakal.
Sekali lagi Azra mengangguk. Banyak hal tak terduga selama hari ini membuat Azra tak bisa berkata. Kebahagiaan menyelimuti hatinya.
“Kalau begitu aku harus pulang dulu, supaya besok sore bisa segera melamarmu bersama kedua orang tuaku.”
“Apa? Apa tidak terlalu terburu-buru?”
“Tidak sama sekali. Aku telah menunggu saat ini hampir sepuluh tahun dan aku tak mau menundanya barang seharipun. Tolong pamitkan ayah dan bunda ya.” Berkata begitu, Faisal berdiri dan melangkah tergesa hingga terantuk tangga teras. Azra tersenyum geli melihatnya.
“Hati-hati,mas. Aku nggak mau ntar pengantin prianya benjol.” Faisal tersenyum malu.
“Aku pulang dulu sayang. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Azra memandangi Faisal yang berjalan tergesa menuju mobilnya dengan perasaan yang tak terkatakan. Tiba-tiba ada perasaan tak sabar menunggu esok untuk melihatnya lagi. Azra tak mau buru-buru memutuskan apakah itu cinta. Ia hanya bersyukur dalam hati, Allah telah mempertemukan kembali dengan lelaki yang benar-benar mencintainya dan pasti akan bisa dicintainya sepenuh hati. Sebelum masuk ke dalam mobil, Faisal sempat menengok ke arah Azra.
Wait for me!”Azra tersenyum mengangguk. Lalu ia memandangi mobil Faisal hingga menghilang di belokan. Malam ini tak ada gerimis. Bintang-bintang bertebaran memenuhi langit. Mencoba membangunkan bulan yang malu-malu menampakkan diri. Hati Azra pun tak lagi gerimis. Cahaya malam membuat bunga-bunga di hati Azra bermekaran. Belum lama ia mengikhlaskan cintanya yang selama ini membayangi hidupnya, kini ia menemukan cinta sejatinya. Hatinya penuh syukur, terutama karena memiliki sahabat sebaik Fadia yang meski sempat terpisah sekian lama, ternyata tak mengubah persahabatan mereka. Sekali lagi Azra tersenyum bahagia dan berharap ruang hampa di hatinya akan segera sirna bersama dengan hadirnya Faisal dalam hidupnya.
Tamat
Dedicated to Dik Yatik Kusumaningrum and someone from the past.

#odopfor99days
#day17