Sumber image: wallike.com
#
Cinta itu tak pernah jauh dari air mata, tawa dan tak berdaya. #
Ya, Tuhan, aku jatuh
cinta. Sungguh jatuh cinta itu bisa membuat dunia menjadi lebih indah.
Masalahnya, aku jatuh cinta entah untuk yang ke berapa kalinya pada makhluk
yang sama. Pada angkuhnya, pada bening matanya, pada bibir bekunya, pada tatap
menyesatkannya, pada semua yang tersemat di dirinya.
Ia bukan makhluk yang sempurna,
jauh dari sifat menyenangkan, tapi entahlah, akupun tak pernah bisa menghentikan
rasa ini. Setiap kali kubunuh cinta ini, pada sekejap waktu yang bergulir, cinta
itu pasti kembali. Tak perlu kata-kata merdu merayu, tak perlu sapa lembut
mendayu, tak perlu apapun untuk membuatku bertekuk lutut dihadapannya. Aku tak
pernah mengerti. Cinta ini sungguh sulit kupahami
***
Apa sih yang membuatmu
menyukainya? Lupakan dia. Begitu sahabat baikku bertanya setiap kali ia
melihatku tersiksa karena cinta ini. Dan selalu aku tak kan pernah bisa
menjawabnya. Aku tak mencintai wajahnya. Tidak juga briliannya. Aku bahkan tak
tahu karena apa aku mencintanya. Cinta ini tak pernah bernama, tapi tak pernah
lenyap sekejap pun. Setiap pagi, seperti embun cinta membasuhku lembut. Setiap
siang, cinta menggelayut manja di langkahku. Di senja kala, cinta memerah
menggelitik lara dan pada malam yang kelam, cinta menatapku dengan binar
gemerlap menyesatkan. Tapi aku tetap tak tahu, dan cinta ini tetap tak bernama.
***
Sejarah indah kita telah
lama berlalu. Tatap mata menghanyutkan. Tertawa bahagia dalam benang lembut
kebersamaan menyesatkan bernama persahabatan. Kita begitu saja terseret arus
membingungkan. Tatkala tawa kita menjadi tak biasa, kala debar tiba-tiba
mewarnai hari-hari, saat kita tiba-tiba tersipu atau menunduk malu manakala
mata kita bertemu. Kala mimpi tiba-tiba menjadi lebih berwarna dan semuanya
sungguh terasa memabukkan. Seiring, sekata, sejiwa. Hingga kita sadar kita tak
berpijak pada dunia yang sama. Dinding mematikan itu memaksa kita bungkam dan
mati rasa. Tak ada yang bisa kita lakukan untuk membuat kita berada di dunia
yang sama. Tak ada sama sekali. Kita memang selamanya hanya bisa bertemu dalam
mimpi dan itu membuat kita saling menjauh, mencoba menjaga hati agar tak remuk
tanpa bentuk. Saling menyakiti dengan keacuhan dan beku yang kita ciptakan.
Nyatanya kita tetap saja remuk dalam hati dan menikmati kesakitan itu seperti halnya
nasi yang tersaji di meja makan.
Jika sesekali waktu
berbaik hati mempertemukan kita, maka benang merah kita seketika bertaut lagi,
kalap, melibas habis rintangan disekitarnya. Melupakan sejenak dinding
mematikan itu dan kembali pada kebahagiaan yang telah lama kita rampas dan
paksa bersembunyi dalam cupu di kedalaman samudera batin kita. Itu seperti
hujan pada kemarau yang melanda berpuluh tahun lamanya. Sayang sekali, kita
akan segera membayar mahal kebahagiaan teramat singkat itu dengan luka
menyeramkan dan sakit yang tak terperikan. Meski kini aku telah lebih pandai
membingkai kesakitan itu dan membujuk hatiku untuk baik-baik saja jika itu
terjadi, tetap saja aku terperangkap berhari-hari menyelami sepi, menyembuhkan
sendiri nanah-nanah yang berkerak, menyirami bara yang berubah nyala. Hingga
aku lelah menggapai permukaan tenang yang menggenang dalam serpihan kerontang.
Kita memang tak seharusnya bertemu
kembali meski itu berarti kita menyerahkan hati kita pada lahat tak bernama.
***
Tahun demi tahun berlalu dalam
kesunyian tanpa harapan sedikitpun akan berubah ceria. Aku menjadi benci duduk
di sayap kanan dekat jendela pesawat, karena itu mengingatkanku saat kita
terbang bersama untuk pertama dan terakhir. Aku pun benci datang ke kota itu,
karena itu memaksaku menatap kenangan tak terhapuskan, kala kita masih bisa
tertawa bahagia, tanpa beban. Aku bahkan benci mendengar dering teleponku,
karena itu tak pernah lagi darimu. Engkau telah menghilang bersama biru,
menguap bersama malam, melenyap dalam bayangan.
Aku hanya bisa menitipkan rinduku
pada senja. Rindu yang nyaris tak terbendung. Aku berharap ia akan membawa
rinduku padanya yang kini entah di mana, agar aku bisa melanjutkan hidupku
tanpa beban yang berat membelenggu. Ah, aku benar-benar rindu pada mata
teduhnya, lembut suaranya, dan manis senyumnya yang terbingkai angkuh. Senja
yang baik, hadirkanlah ia sekali saja. Aku ingin bercerita padanya tentang
rindu, tentang sakit di hatiku meski aku yakin iapun tahu. Biarkan kami
bersama, berdua. Hanya berdua. Melepas sesak yang tersampir di hampir setiap
celah udara. Setelah itu aku akan merelakannya kau bawa ia kembali pada
dunianya, selamanya. Bawalah dia untukku, senja. Sebelum sayap waktu merenggut
nafasku. Aku hanya ingin berkata padanya aku cinta dia dan aku ingin mendengar
bibirnya bergumam aku cinta padamu, selalu. Ah, itu sih seperti kisah
kanak-kanak bersama monyet cinta. Tapi aku tak peduli dunia akan terbahak atau
melaknat. Aku tak peduli. Aku tak ingin berlebih. Aku hanya ingin itu, hanya
itu. Dan aku akan mengembalikan seluruh cinta dihatiku padanya. Setelah itu,
aku akan melebur dalam kawah penetralan. Membuang semua atribut cinta dan rindu
yang kupunya, melemparkan segala sakit dan luka. Meluruhkan dosa atas nama
cinta. Dan aku takkan lagi berada pada dua dunia.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar