Asha
gelisah melihat hujan yg tak kunjung reda. Sudah lepas Isya. Malam kian pekat
dan kantor semakin sepi.
“Nunggu
siapa, Sha?”
Asha
tergeragap melihat lelaki jangkung yg menyapanya.
“Nunggu
hujan. Aku lupa bawa payung.”
“Nggak
dijemput?”
Asha
menggeleng lemah.
“Asha
mau naik apa?”
“Mungkin
taksi aja, Mas. Kalau kendaraan umum takut udah ga dapat duduk, tambah capek.”
“Ya
udah bareng aku aja sampe nemu taksi.”
Asha
ragu-ragu.
“Yuk…!”
Melihat
hujan yg tak ada tanda-tanda untuk berhenti, Asha akhirnya terpaksa menerima
tawaran Dafa, lelaki yang sesungguhnya sangat ingin dihindarinya.
Semobil
berdua bersama Dafa, membuat Asha jadi kehilangan kata. Ditambah guyuran hujan yang
menderas disertai angin. Malam semakin pekat. Hujan yang turun sejak siang menyebabkan
lalu lintas kota yang biasanya sudah macet, semakin macet. Mobil Dafa terjebak
ditengah kemacetan Jalan Balikpapan.
“Mengapa
nggak jalan sama sekali?” Gerutu Dafa
“Mungkin
ada kecelakaan,” lirih Asha.
Dafa
memutar radio mencari info. Lalu mendengus kesal mendengar berita di radio.
“Ada
papan reklame jatuh ke jalan,” katanya.
“Jadi
kita gimana, Mas?” Asha terlihat bingung. Hari sudah terlalu malam baginya
untuk berada di luar rumah. Ayah dan Mamanya sudah berkali-kali telpon
menanyakan posisi Asha.
“Entahlah.
Kau lapar, Sha?”
Asha
mengangguk pelan, dari tadi perutnya memang berbunyi minta diisi. Ia belum
sempat makan malam di kantor tadi.
Dafa
melihat Asha tampak menggigil. Ia mengambil jaketnya di jok belakang dan
menyodorkannya pada Asha.
“Pakailah…!”
Asha
gemetar, sangat ingin menolaknya tapi tak mampu.
“Buruan
dipake, gih! Nanti sakit kamu.”
Asha
memakai juga jaket yang diulurkan Dafa. Matanya terpejam, menangis dalam hati. Yang ada dalam pikirannya
saat itu bagaikan Dafa yang tengah memeluknya hangat. Asha semakin gemetar.
Dafa terlihat khawatir.
“Aku
beli bakpao sebentar ya, tuh di pinggir jalan. Aku juga lapar.”
Asha
mengangguk. Ia memilih membiarkan hatinya menikmati kelebatan Dafa. Ia telah terlalu
lelah senantiasa menghindari segala bayangan tentang Dafa.
Namun
angannya tak dibiarkan berlarut. Dafa sudah kembali dengan bakpau hangat dan dua
cup susu coklat hangat.
Sebentar
kemudian bakpau dan susu coklat sudah berpindah ke perut mereka berdua.
Setengah jam berlalu. Mobil masih stuck dalam kemacetan. Hujan tinggal gerimis.
“Sha…”
Asha
menengok ke arah Dafa. Yang di tengok hanya menatapnya tajam. Asha tertunduk.
“Bicaralah…!”
“Apa,
Mas?”
“Apa
sajalah…”
“Aku...
Nggak tahu...” Hati Asha mulai terasa ngilu.
“Bicaralah…!”
Dafa
semakin lekat menatap Asha. Ia semakin salah tingkah ketika tiba-tiba Dafa
meraih jemarinya. Asha reflek menarik tangannya. Namun bukannya terlepas,
justru Dafa menariknya dalam pelukannya.
Tubuh
Asha mendadak lemas, tak bisa menolah rengkuhan hangat Dafa. Hanya air matanya
yangg mengalir tanda hatinya sakit sangat.
“Menangislah.
Biar lega sesakmu…!”
Dafa
mengelus rambutnya.
“Mas...”
“Ssstt…!
Jangan katakan apa-apa. Aku tahu apa yang ingin kau katakan.” Asha
menengadahkan wajahnya. Mencari kejujuran di mata Dafa. Mata hitam pekat Dafa
menatap tajam ke bola mata Asha, penuh gemintang.
“Biarlah
hati kita yang bicara.”
Asha
kembali terguguk dalam pelukan Dafa.
“Tidurlah!
Kau pasti lelah. Aku akan menjagamu.”
Asha
hanya bisa menurut. Memejamkan matanya dan bermimpi, berlari bersama Dafa.
Entah
berapa lama ia terlelap. Asha tergeragap saat sebuah tangan mengelus lembut pipinya.
“Bangun,
Sayang…!”
Asha
semakin terperanjat. Kenapa bukan suara
Dafa? Apa macetnya sudah terurai? Kok sepi sekali?
Asha
membuka matanya perlahan. Wajah cemas mama yang ditemukanya. Ayah tampak
khawatir di ujung tempat tidurnya. Seluruh ruangan serba putih. Asha ingin
bangun tapi nyeri yang dirasakan disekujur tubuhnya. Tiba-tiba ia teringat
Dafa. Bukankan terakhir kali ia tengah
tertidur dalam pelukan Dafa dalam mobil yang terjebak macet? Asha panik.
“Mas
Dafa…?” rintih Asha.
“Tenanglah,
Asha. Kamu belum boleh banyak bergerak.”
“Mas
Dafa... Dimana...?”
“Asha,
sabar ya, Sayang…”
“Mas
Dafa… mana, Ma...? mata Asha menyiratkan penjelasan. Mama menengok ke arah Ayah
meminta persetujuan. Ayah mengangguk.
“Pak
Dafa... sdh tenang...” Kata Mama ragu. Jelas tergambar kekhawatiran akan reaksi
Asha tentang kondisi Dafa yang sebenarnya.
“Maksud…
Mama? Asha terbata.
Mamanya
terdiam. Asha mengerti.
Tubuhnya
mendadak mengejang, tatapan matanya nanar, memanas, lalu gelap.
Dafa
telah pergi darinya, bukan karena pelukan istrinya, tapi direnggut dahan
angsana yang ambruk menimpa mobilnya malam itu.
***
Jakarta, 28 Januari 2015
Mengenang kemacetan total tahun
2001.
Wooo... Udah punya istri ternyata... :(
BalasHapusSpeechless... :(
BalasHapus