Selasa, 16 Agustus 2011

Purna Bakti

Purna bakti bagi sebagian besar karyawan atau pegawai negeri sipil mungkin menjadi sebuah momok yang menimbulkan sindroma. Bagaimana tidak, yang tadinya menjabat dan punya kuasa, bisa perintah sana sini, menjadi bukan siapa-siapa. yang tadinya gaji besar dengan gaya hidup yang menyesuaikan penghasilan, tinggal menerima sekian persen gaji pokok, tanpa tunjangan jabatan dan tunjangan lain-lain. Tanpa penghasilan macam-macam yang bahkankadang lebih besar dari gaji pokok.
Tanpa persiapan mental dan materi, tentu saja purna bakti menjadi sesuatu yang mengerikan. Tak jarang maut segera menjemput karena sakit-sakitan tak lama setelah purna bakti tiba.
Dalam hidupku ini, aku melihat dengan mata kepala sendiri purna bakti yang justru menjadi sebuah kebebasan yang diimpikan. 16 tahun yang lalu, ayahanda tercinta, menjemput paksa purna bakti sebelum waktunya dengan alasan menghindari tekanan batin akibat tekanan yang tak bisa ditanggungnya lagi untuk membuat laporan - laporan rekayasa atas keuntungan yang dinikmati oleh penguasa serakah. Purnabakti bagi beliau tak membuatnya lantas menganggur dan merenungi nasib, malah kadang lebih sibuk dibandingkan yang masih aktif. Meski tanpa persiapan materi yang cukup, masa purna bakti ayahku penuh dengan pengabdian kepada warga desa dengan turut mendirikan koperasi yang membantu warga untuk memperoleh modal usaha disamping mengurus toko di depan rumah. Beliau juga memiliki banyak waktu untuk menuntut ilmu agama dan menyampaikannya kembali saat pertemuan dengan sesama pensiunan setiap sebulan sekali.

Aku juga melihat ibuku yang belum lama menyusul purna bakti. Tak mau kalah dengan ayahku dalam mengisi masa purna baktinya. Mulai mendirikan TK di kampung, aktif dalam kegiatan darma wanita kampung, sibuk mengurusi toko bersama ayah, mengurus musholla di depan rumah, mengajar ngaji anak-anak disekitar rumah, mendidikkader-kader penerusnya, dan masih banyak lagi kegiatan yang lain. Hingga kami anak dan cucunyapun harus antri jika ingin menikmati kebersamaan bersama beliau.

Lalu hari ini aku kembali menyaksikan, betapa purna bakti telah ditunggu-tunggu oleh rekan kerjaku dengan hati yang riang dan bahagia sehingga membuatnya tampak lebih muda. Pendapatan yang akan sangat jauh dari biasanya tak mengurangi kebahgiaan yang terpancar diwajahnya.

Maka bagiku purna baktipun tergantung bagaimana kita menyikapi dan mempersiapkannya. baik secara materi maupun mental. Kekuasaan dan jabatan yang dimiliki saat ini bukanlah suatu yang abadi melainkan hanya titipan dan harus siap setiap saat untuk dikembalikan. Jadi tak perlu ragu menyongsong masa purna bakti yang indah dengan rasa bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar