Rabu, 24 Agustus 2011

Kisah Inspiratif: Yang Terbaik Tak Selamanya Indah

Jika jalan hidupku bisa kuatur sendiri, barangkali saat ini aku telah menjadi seorang arsitek terkenal atau seorang ahli pertanian dengan segudang ide kreatif untuk memajukan dunia pertanian di Indonesia. Tetapi, hidup manusia telah diatur oleh Sang Pemilik kehidupan sedemikian rupa. Maka di sinilah sekarang aku berdiri, menjadi seorang karyawan di sebuah kementerian di belantara ibukota yang panas dan bising. Semua yang kumiliki sekarang sungguh tak sesuai dengan semua yang kurencanakan. Tetapi Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.
***
Sejak kecil aku terbiasa mudah meraih prestasi. Mungkin karena aku tinggal di sebuah kampung sehingga persaingan tak terlalu berat. Mungkin juga karena otakku yang agak encer dan didukung oleh kedua orang tuaku yang menjadi pendidik sehingga menjadi modal yang lumayan saat sekolah.
Di sekolah dasar, rangking 1 selalu dalam genggamanku. Beasiswa bukan hal yang aneh bagiku. Perlombaan yang mengutamakan kemampuan otak juga tak asing meskipun tak selalu menjadi juara.
Saat SMP, aku mulai masuk dalam persaingan yang jauh lebih berat, namun aku masih bisa menempatkanku pada rangking 10 besar dari 7 kelas yang ada. Kemudahan itu sepertinya membuatku ‘manja’ kalau tidak bisa dibilang lengah.
Kemudahan mulai memudar ketika masuk SMA, meskipun masuk di jurusan yang sesuai dengan minatku (Biologi), prestasiku mulai biasa-biasa saja. Entah karena aku masuk di sekolah terbaik di kabupaten sehingga persaingan memang menjadi super ketat, atau entah karena aku sedang mengalami masa puber.
Rupanya, jalan yang harus kutempuh semakin tak lurus-lurus saja ketika aku masuk dijurusan Sastra Inggris atas saran salah seorang pamanku, padahal sebenarnya aku ingin masuk di jurusan arsitek atau pertanian. Alasannya saat itu, bahasa Inggris sedang banyak dibutuhkan dan untuk dunia kerja bisa masuk di mana saja. Sementara arsitek akan berat untukku yang punya riwayat sering pingsan dan pertanian tidak lagi menjanjikan karena lahannya makin sempit. Seperti orang buta, aku menurut saja dan diterima pula di sebuah universitas negeri. Dua semester rasanya seperti neraka. Belajar hal yang sangat aneh bagiku dan tak kusukai ternyata tak mudah. Jadilah dua semester itu nilaiku ala kadarnya. Beruntung aku segera sadar. Rasa kasihan pada kedua orangtuaku yang jungkir balik mencari biaya buat kuliahku, membuatku bangkit. Lalu kutetapkan niat dan semester berikutnya 24 sks selalu kugenggam tiap semester sampai lulus. IPK mulai terdongkrak naik meskipun jujur, tetap saja aku belum bisa menyukai materi kuliahku. Jadi masih sekedar belajar untuk bisa lulus dan selesai tepat waktu. Sayangnya semua menjadi tak berarti ketika aku gagal ujian skripsi dengan alasan sederhana, dosen pembimbingku ingin nilaiku lebih bagus daripada sekedar nilai standar. Aku seperti terhempas. Itu sebuah pukulan berat buatku. Terberat pertama yang pernah kualami. Aku menangis dan langsung pulang ke kampung menenangkan diri sampai aku sanggup kembali lagi.
Lulus kuliah aku bekerja sebagai guru honorer di sebuah SMP swasta di kampungku dengan gaji Rp 40.000 pada tahun 1997. Untuk menambah keuangan, aku membuat taplak dari sedotan dan bunga dari rafia yang kujual ke tetangga atau kenalan.
Selama dua tahun aku menjadi guru honorer, aku juga banyak mengajukan lamaran kemana-mana baik pemerintah maupun swasta. Bahkan, karena belum tahu trik mencari lowongan yang tepat, aku pernah ‘tertipu’ dengan sebuah lowongan. Saat itu bulan puasa, aku mendatangi tempat lowongan pekerjaan yang aku tuju. Ternyata sampai di sana, pekerjaan yang dimaksud adalah menjadi sales gunting. Merasa terlanjur, aku ikuti saja prosesnya termasuk langsung mengikuti training hari itu juga. Aku dan satu orang temanku harus belajar langsung menjadi sales yang baik dari trainer yang bersama kami. Kami hanya mengikutinya sambil memperhatikan caranya menawarkan barang. Keluar masuk pertokoan dan perkantoran dihari yang terik membuatku sangat kelelahan dan kehausan, apalagi sedang menjalankan puasa Ramadhan. Merasa tak tahan lagi karena belum terbiasa, kami diijinkan untuk beristirahat. Saat itu kami sedang berada di pasar. Aku langsung duduk memelas, menyandar pada dinding. Setelah berpikir ulang, aku putuskan untuk berhenti saat itu juga dan pulang. Tapi dari situ, aku jadi bisa lebih menghargai sales-sales yang datang ke rumah atau kantor dan yang sering kutemui di jalan-jalan. Betapa beratnya tugas mereka, sementara belum tentu orang mau membeli barang dagangannya.
Pencarian kerja selama 2 tahun berakhir saat aku di terima di sebuah instansi pemerintah yang cukup bergengsi. Inipun dengan jalan yang berliku dan penuh keajaiban. Dua kali aku mengikuti tes di instansi tersebut. Tahun pertama, aku bersaing dengan lebih dari 3000 pelamar dan langsung gagal di tes tahap 1. Tahun berikutnya, jumlah peserta membludak menjadi lebih dari 8000 lebih pelamar akibat banyaknya PHK. Aku sampai pingsan karena tertalu lama berdiri mengantri. Alhamdulillah lolos mengikuti ke 5 tahap seleksi. Semua pengumuman hasil tes di umumkan di surat kabar ibukota yang hanya ada di kota kabupaten, jadi aku selalu tahu lulus atau tidaknya diberitahu teman yang tinggal di sana karena aku tinggal 10 km dari kota. Pada pengumuman yang terakhir, bapak sengaja meminta tolong temannya untuk membelikan koran ke kota kabupaten sebagai kejutan hari pernikahanku. Dan berita kelulusan itu menjadi hadiah perkawinan kami.
Setelah lolos seleksi, aku wajib melapor ke kantor pusat di Jakarta yang disampaikan lewat surat. Sayang, surat pemberitahuan itu datang terlambat karena batas waktu terakhir melapor adalah hari saat aku menerima surat itu. Bagaimanalah mungkin bisa sampai. Perjalanan yang harus kutempuh dari kotaku perlu waktu lebih dari 12 jam dengan kereta atau bus malam yang saat itu pasti sudah tak terkejar karena sudah hampir sore. Dengan pesawat akan makin rumit lagi. Selain bandara jauh, biaya juga menjadi halangan. Aku menelepon ke nomor yang ada dan menyampaikan kesulitanku. Syukurlah dia bisa mengerti dan memberiku waktu beberapa hari. Aku berangkat bersama suami yang kebetulan juga di terima bekerja di instansi lain di Jakarta meskipun belum ada panggilan masuk. Kami berangkat ke rumah kakak sepupu yang tinggal di Curug tanpa membawa apa-apa kecuali baju 2 setel karena terpikir masih bisa pulang lagi setelah lapor. Ternyata aku salah. Langsung kerja. Yang unik, masalah penempatan aku ditawari minta dimana padahal teman-temanku yang lain langsung ditunjuk dan kebanyakan di luar daerah. Ternyata hal itu karena aku berstatus menikah. Saat itu, Dirjen pada unit dimana aku diterima memang sangat memperhatikan hak dan kebutuhan para ibu-ibu bekerja. Salah satunya seorang istri harus selalu dekat dengan suami. Maka tinggallah aku di Jakarta, kota nomor 1 yang paling tak ingin aku tinggali sejak dulu.
Kami tinggal di kontrakan berbekal seadanya pemberian kakak sepupuku. Tidur beralaskan tikar dengan bantal kecil dari rumah, Peralatan makan dan minum hasil pemberian kakak. Tak ada lemari. Dengan gaji seorang CPNS pada masa itu yang jauh dari layak, kami bisa bertahan hidup dalam kerasnya kota dengan melakukan banyak penghematan termasuk makan sepiring berdua, bukan hanya karena mesra tapi juga terpaksa.
Kehidupan mulai membaik beberapa tahun kemudian. Dengan dorongan atasanku yang bijaksana, aku melanjutkan pendidikan S2 dengan beasiswa. Satu masalah lagi, jurusan yang ditawarkan semuanya berhubungan dengan ekonomi, salah satu ilmu yang susah untuk kumengerti. Berdasarkan saran teman-teman yang kuanggap lebih tahu, aku mengambil jurusan yang paling umum, meskipun tetap dalam naungan fakultas ekonomi. Beasiswaku itu merupakan program percepatan selama 13 bulan. Begitu mulai masuk bangku kuliah, ternyata aku hamil anak ke 3 sehingga membuatku jungkir balik dengan jadwal kuliah setiap hari, dari pagi sampai sore, Senin sampai Jumat. Tak ada liburan selain Sabtu dan Minggu membuat kami nyaris stress. Tempat kuliah yang jauh dari perpustakaan, menjadi masalah tersendiri, khususnya saat persiapan penulisan thesis karena praktis hanya bisa diakses setiap hari Sabtu selama setengah hari. Belum lagi harus berhimpitan di kereta dam kondisi perut buncit. Maka targetku untuk mendapat IPK minimal 3,5 agar bisa mendapat beasiswa S3 yang sama, terpaksa kurevisi. Doaku disetiap sujudku adalah lulus tepat waktu tanpa ada ujian pengulangan setiap ujian semester yang berarti penambahan biaya. Sejak awal aku hampir pesimis. Beruntung salah seorang dosenku memberikan dorongan dengan bercerita tentang salah seorang mahasiswanya dulu yang berlatar belakang sastra tapi akhirnya bisa lulus dengan IPK 3,8. Jadi kuyakinkan diri bahwa akupun pasti bisa, minimal untuk meraih target revisiku.
Saat penulisan proposal thesis, aku tengah persiapan melahirkan. Setelah meminta tanda tangan proposal kepada dosen pembimbing, aku sekalian pamit untuk melahirkan dan ternyata malam itu juga aku melahirkan anak lelaki semata wayangku. Belum genap dua minggu, aku sudah harus masuk untuk ikut ujian semester akhir. Kepalaku masih terasa berputar saat sampai di stasiun. Tetap kupaksakan diri daripada mengikuti ujian susulan.
Dengan belajar seadanya karena repot mengurusi bayi, akhirnya aku lulus juga. Bahkan pernah aku mengetik sambil menyusui karena waktu yang tersedia hampir usai. Daripada harus membayar SPP dengan biaya sendiri, lebih baik aku bersusah payah, pikirku. Hampir stress rasanya. Sekali lagi, alhamdulillah, aku lulus di hari terakhir batas semester tanpa satupun ujian ulangan di setiap mata kuliah dimana banyak teman-temanku bahkan yang punya latar belakang ekonomi harus mengulang satu atau dua kali untuk lulus dari satu mata kuliah.
Saat ini, dengan bekal sastra Inggris, pengalaman bekerja di bagian pinjaman luar negeri selama 8 tahun, serta master di bidang kebijakan publik, aku ditempatkan di bagian yang mengelola pembiayaan syariah, bagian yang setidaknya paling aku inginkan di instansi tempatku bekerja. Meskipun rintangan tetap setia menemani silih berganti, tapi aku menjadi lebih mengerti.
Semua ini bisa kujalani tak lepas dari doa dan dukungan orang tua, keluarga, dan sahabat-sahabat tercinta. Menjalani hidup dengan sabar dan ikhlas. Kalau masih rejeki, tak akan lari gunung dikejar. Itulah dua nasehat utama yang ampuh di segala suasana untuk menghindari tekanan dan cobaan kehidupan.
***
Sukses adalah relatif. Memiliki suami yang baik, anak-anak yang baik dan cerdas, pekerjaan yang baik, adalah sukses untukku. Barangkali tanpa pelajaran kegagalan-kegagalan itu, aku akan terpuruk saat kekejaman dunia kerja melibasku, saat keruwetan rumah tangga dengan 4 orang anak kecil super kreatif melilitku, saat persinggungan sosial menyapaku. Sungguh aku percaya, Allah senantiasa menuntun hamba-Nya pada kebaikan meski seringkali kita tak mampu membaca petunjuk itu.
Tak semua orang bisa bekerja pada bidang yang memang disukai. Maka bersyukurlah bila telah bekerja pada bidang yang sesuai. Bila terpaksa bekerja pada bukan bidangnya, tetap harus disyukuri dengan cara bekerja lebih keras lagi untuk bisa menjadi lebih baik. Tak perlu malu dengan kegagalan. Karena kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda. Kegagalan adalah sebuah proses pendewasaan.
-Tamat-
 Note: Kisah ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba penulisan kisah inspiratif di Jendela Dunia pada bulan Juli 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar