Dokar kecil itu
mengayun-ayun melewati jalan setapak di tepian sawah.
“Kita mau kemana, Bu? Jauh
banget,” tanya Lala pada ibunya yang sejak tadi diam saja. Lelah tak tampak di
wajah bocah perempuan kecil itu meskipun berjam-jam perjalanan telah ditempuh dengan
bus sebelum akhirnya mereka naik dokar.
“Kita mau ke rumah bapak
dan nenek.”
“Asyik… Kenapa Bapak
nggak tinggal sama kita saja sih, Bu?” Ibunya menelan ludah, pahit.
“Nanti kau juga akan tahu
saat kau besar nanti.” Hanya itu yang bisa ia katakan pada anak semata wayangnya
yang baru berumur 5 tahun.
***
Lala tak pernah melihat
bapaknya sejak berumur 8 bulan. Namun dengan riangnya ia kini duduk di pangkuan
lelaki itu sementara kedua orang tuanya membicarakan sesuatu yang tak ia
mengerti. Ia asyik bermain dengan kertas yang disobek-sobek menjadi serpihan
kecil. Perutnya kenyang setelah makan siang masakan neneknya yang lezat dan
khusus dipersiapkan untuknya.
“Buat apa kertas itu ,La?”
tanya bapaknya penasaran.
“Ini uang-uangan, Pak.
Nanti aku mau beli buku gambar sama pensil warna.” Ibunya diam saja mendengar
jawaban anaknya. Lala memang suka sekali menggambar. Bakatnya menurun dari
bapaknya yang memang mempunyai jiwa seniman.
“Kalau gitu nanti Bapak
kirim buku gambar dan pensil warna yang bagus ya buat Lala.” Lala sontak
terbelalak riang.
“Benar, Pak?” Bapaknya
mengangguk.
“Lala tunggu ya, Pak.”
Dalam hatinya yang polos, Lala langsung membayangkan betapa asyiknya ia nanti
menggambar dengan buku gambar dan pensil warna yang bagus kiriman dari
bapaknya.
“Ayo Lala, kita pulang,”
kata ibunya.
“Apa tak lebih baik
kalian menginap saja, Sri. Barang sehari dua hari. Kasihan Lala. Tentu ia capek
menempuh perjalanan jauh.”
“Syukurlah kau masih
kasihan padanya. Tapi sebaiknya kami pulang saja. Ia bisa tidur di jalan nanti,”
ucap Sri yang tak mau menjadi duri dalam daging di rumah itu. Rumah mertuanya
yang sebenarnya sangat sayang pada Lala. Cucu ke 6 dari anak lelaki
satu-satunya. Mertuanya sangat bersuka cita saat kelahiran Lala di tengah malam
badai bersenandungkan gema takbir di malam Idhul Adha. Kata mereka, wajah bayi
mungil itu memancarkan cahaya. Sudah cukup siksaan batinnya selama 1,5 tahun tinggal
di rumah yang bagai neraka untuknya.
Ah, Sri mendesah pelan
mengingat kisahnya. Diraihnya Lala dalam pangkuan lelaki yang sebentar lagi
akan menjadi mantan suaminya.
“Ayo, Lala. Kita pulang,
nanti kemalaman.” Dengan enggan Lala menuruti kata ibunya.
“Benar ya, Pak. Lala
tunggu.” Bapaknya mengangguk sendu.
***
Senja baru saja temaram.
Lala tak tahu harus berkata apa saat kakak tirinya mengabarkan bapaknya telah
meninggal dunia. Ia masih ingat janji bapaknya di siang itu untuk membelikannya
buku gambar dan pensil warna. Janji yang tak pernah terpenuhi hingga kini. Ia
juga masih bisa merasakan betapa ia terus menunggu kiriman itu hingga bosan
mempertanyakan pada ibunya yang hanya bisa melenguh sedih.
“Apa karena gambarku
jelek ya, Bu?” tanyanya suatu ketika.
“Gambarmu bagus, La.
Mungkin Bapak sedang sibuk atau lupa.”
Tapi Lala terlanjur
berpikir gambarnya tak layak untuk mendapat hadiah buku gambar dan pensil warna
dari bapak. Ia terus menggambar dan menggambar sepanjang hari supaya gambarnya
cukup bagus untuk mendapat hadiah.
Lala menyusut air matanya
yang tiba-tiba mengalir. Suaminya memeluknya.
“Sudahlah, Bun. Ikhlaskan
kepergian bapak.”
“Aku tak tahu, untuk apa
air mata ini. Aku tak pernah mengenalnya kecuali dari sedikit cerita ibu dan 3
kali pertemuan singkat dengannya saat aku masih kecil, lalu waktu aku kuliah
dan ingin mencarinya sebagai permintaan ibu karena bagaimanapun ia bapakku. Dan
terakhir saat pernikahan kita karena ia harus menjadi waliku. Ia memang
bapakku, tapi tidak pernah di dunia nyata.”
“Seperti ibu bilang,
bagaimanapun ia bapak Bunda, mertuaku. Ikhlaskan kesalahan beliau di masa lalu
agar beliau tenang di alam sana.”
Dadanya terhimpit perih teringat
bayangan ibunya yang menderita kala kakek memaksanya menerima lamaran bapak
meski telah berstatus pria beristri. Kehidupan yang teramat berat barangkali
yang layak dipersalahkan.
Ibu bahkan sempat
meninggalkannya saat berumur 8 bulan di rumah bapak karena tak tahan terhadap
tekanan dari madunya. Rasa keibuan juga yang pada akhirnya menuntun ibu
mengambil Lala dua minggu kemudian setelah ia mendengar kabar kondisi Lala yang
tak doyan menyusu. Sejak itu ia hampir tak mengenal bapak. Ia hanya punya ibu.
Lala kembali menyusut air
matanya. Ibu saja telah memaafkan bapak, kenapa ia tidak? Sesak di dadanya
masih bersisa. Tapi ia telah memutuskan untuk memaafkan bapak.
“Bisakah kita dapat tiket
pesawat ke sana hari ini. Temanilah aku.”
Suaminya tersenyum.
“Tentu saja, Bun.
Anak-anak tentu mengerti. Mereka biar bersama eyang malam ini. Toh besok pagi
sekali kita sudah bisa kembali.”
“Terima kasih, Sayang.”
Dan sesak itu sirna
bersama keikhlasannya atas janji bapak yang tak pernah tertunaikan.
***
21 Oktober 2013