Sudah seminggu mama uring-uringan
gara-gara kucing-kucing Rara buang kotoran sembarangan.
“Rumah kita kan kecil Rara.
Halamannya hampir tak ada. Bau kotoran kucing jadi memenuhi ruangan. Kita buang
saja kucing-kucingnya,” kata mama.
“Ih, Mama tega deh. Kan kasihan
mereka, Ma.Nanti mereka makannya bagaimana?”
“Kalau tak boleh, dikasih orang deh.
Tetangga bibik ada yang mau kok, buat ngusir tikus.” Rara cemberut. Memang sih, rumah jadi bau
kucing gara-gara si Rangga habis beranak 3, Putri, Boy, dan Kika. Waktu kucing
Rara cuma 2 ekor, Rangga dan Billy, mama nggak sesewot ini.
Rara sayang semua kucingnya. Rangga,
kucing pertamanya sangat pintar menangkap tikus. Rumah jadi sepi dari tikus
sejak ada Rangga. Kucing itu pemberian teman mama sejak rangga masih berumur 2
minggu. Rara rajin memberinya susu sampai ia bisa makan sendiri. Biarpun cewek
Rangga kucing yang keren dan gagah kayak cowok, makanya ia salah memberi nama
cowok buatnya.
Baru sebulan merawat Rangga, Rara
menemukan Billy kecil yang kelaparan di jalanan dekat got. Ia membawanya pulang
dan merawatnya dengan baik. Kucing abu-abu putih itu sangat cantik sampai
dikira kucing cewek. Ia sempat dikasih nama Putri sampai akhirnya ketahuan ia
cowok dan diganti namanya menjadi Billy. Bulunya bersih. Billy sangat sayang
pada Rangga. Meskipun mereka bukan saudara, dua ekor kucing itu tak pernah
bertengkar.
Dan ketiga anak Rangga yang lucu-lucu
itu? Hmm, aku nggak mau berpisah dengan semuanya. Tapi bagaimana dengan bau
rumah?
“Emm, anak-anaknya saja kita kasih
tetangga bibik ya, Ma,” akhirnya Rara mencoba memilih meskipun ia juga sayang
mereka.
“Tapi nanti Rangga melahirkan lagi
dan lagi.”
“Tapi, Ma.”
“Sudahlah, Rangga dan anak-anaknya
saja dikasih orang. Biar Billy saja yang tetap di sini.” Ujar mama memutuskan.
Dengan berat hati Rara terpaksa
menuruti kata-kata mama. Dielus-elusnya kucing-kucing yang sebentar lagi akan
berganti rumah.
“Kamu kan tetap bisa nengokin mereka
kalau lagi main ke rumah bibik,” hibur mama.
***
Sejak Rangga dan anak-anaknya
diberikan ke tetangga bibik, Rara makin sayang sama Billy. Ia merawatnya dengan
telaten, dimandikan seminggu sekali, rajin memberinya makan. Billy kucing kampung
yang lucu. Ia seperti manusia, doyan sekali makan nasi sama ikan goreng. Kalau
diberi makan ikan saja, ia masih merasa lapar dan terus mengeong sampai ia di
beri nasi. Suatu kali, Rara meminta mama membelikan Billy makanan kering buat
Billy sebagai hadiah. Eh, si Billy malah ogah-ogahan memakannya. Benar-benar
kucing kampung, pikir Rara.
Setiap makan ikan atau ayam goreng, Rara
pasti teringat Billy. Bahkan bila makan di rumah makan pun, ia pasti minta
dibungkuskan sisa makanannya buat si Billy.
Billy seolah membalas kasih sayang
Rara. Setiap ia melihat motor ayah yang membonceng Rara lewat di depan gerbang,
Billy langsung berlari pulang mendahului mereka. Ya, Billy memang suka bermain
jauh hingga ke depan perumahan. Ia akan segera naik ke atas tangga rumah Rara
dan diam di sana menunggu Rara naik dan menggendongnya. Billy juga suka menunggui
Rara yang sedang sholat di sampingnya. Dimana ada Rara disitu ada Billy.
Hari ini Rara sedih sekali, sudah dua
hari Billy tak pulang. Dibantu ayah, ia sudah mencarinya ke mana-mana tapi tak
ketemu juga. Sampai dua bulan kemudian, Billy tetap tak ketemu juga. Rara
sering menangis sedih teringat kelucuan Billy yang suka menggigit sayang
kakinya bila ia lapar dan tak segera di beri makan. Ia juga suka mengalah sama
kucing-kucing kecil liar yang suka kesasar ke rumahnya dan ikut makan bersama
Billy.
Mama merasa sedih melihatnya dan merasa
bersalah. Coba Rangga tak diberikan orang. Pasti Rara tak sesedih ini.
“Rara mau kucing lagi? Nanti mama
cariin ya buat Rara.”
“Tapi Rara nggak pernah lihat kucing
sebagus Billy, Ma. Bulunya bersih dan ia sangat penyayang dengan kucing-kucing
lain.”
***
“Rara, Mama punya kabar gembira. Coba
tebak!”
“Billy ketemu, Ma?” mata Rara
membelalak riang penuh harap.
“Bukan sayang,”
“Yaah,” Rara kecewa.
“Om Wahyu menawarkan kucing
anggoranya. Sekarang tante Elok tak sempat mengurusi si Chiko karena sudah
mulai sibuk mengajar di tempat yang baru. Jadi si Chiko boleh buat kamu. Dan
yang penting, Chiko nggak bakalan bau karena dia sudah terlatih untuk pup pada
tempatnya.”
Rara sebenarnya suka sama Chiko,
kucing anggora besar berwarna krem punya om Wahyu. Tapi ia masih lebih suka si
Billy.
Keesokan hari, Chiko diantarkan oleh
om Wahyu dan resmi menjadi keluarga baru Rara. Chiko memang sangat besar
dibandingkan kucing biasa. Bulunya yang panjang-panjang terlihat mengkilap dan
megar apalagi setelah dimandikan dan disisir.
Chiko juga nggak bau. Banyak yang suka dengan Chiko bahkan dia dikira
anjing saking besarnya. Makannya nggak perlu repot karena cukup menuangkan
makanan kering di wadah makannya. Berbeda dengan Billy, Chiko tidurnya di dalam
rumah. Tapi sekarang Rara harus lebih berhati-hati, pintu gerbang tak boleh
dibiarkan terbuka jika tak ingin Chiko kabur untuk main. Bisa-bisa kucing mahal
itu diambil orang.
Coba kalau Billy, pasti aku tak perlu
repot. Pikir Rara masih belum bisa mengikhlaskan kehilangan Billy. Chiko kucing
manja dan nggak lincah seperti Billy yang pandai melompat pagar.
Billy seperti mengerti Rara belum
bisa menyayanginya sepenuh hati. Ia mencoba mengambil hati tuan barunya itu.
Seperti Billy, ia suka menunggui Rara saat sholat sambil meraih-raih mukena
Rara. Rara menepiskan Chiko kesal. Setelah sholat ia memarahi Chiko.
“Kamu nggak boleh ganggu orang sholat,”
katanya.
Seperti mengerti, setelah itu Chiko
hanya diam menunggu di samping Rara jika Rara sedang sholat. Rara jadi merasa
bersalah telah memarahi Chiko.
Chiko tahu jam-jam Rara pulang
sekolah, dan dia dengan setia duduk di dekat tangga menunggu Rara sambil
berjemur.
“Chiko seperti Billy aja suka
nungguin aku,” pikir Rara. Dielusnya kucing itu.
Ternyata Chiko memang kucing yang
pintar. Dia bisa mengerti jika diajak bicara atau jika Rara marah. Kali ini
Chiko sudah pandai melompat jendela untuk berjemur di dekat teras.
“Rara, awas pintu gerbangnya nanti
Chiko kabur.”teriak mama.
“Iya, Ma.”
Rara memang paling sering lupa menutup
pintu gerbang. Chiko yang senantiasa bersiap dekat pintu, langsung melesat
keluar rumah. Mungkin dia kesepian karena harus dikurung terus di rumah dan
nggak punya teman.
Sore itu, Rara ribut mencari Chiko.
Ia lupa lagi menutup pintu.
“Nggak ada, Ma.”
“Coba cari di belakang rumah Sarah.
Biasanya dia suka bermain rumput di situ.”
“Nggak ada juga.”
Rara sudah mulai panik. “Ya Allah,
jangan hilang lagi kucing Rara ya. Rara janji akan menjaga Chiko lebih baik.”
Ayah, mama dan bibik ikut ribut
mencari Chiko.
“Sepertinya tadi dia ke ujung gang,”
kata tetangganya. Benar saja, Chiko sembunyi di bawah kolong mobil tetangganya
yang berada di ujung gang.
Rara langsung memeluknya dibawa
pulang.
“Chiko jangan ngumpet lagi ya. Nanti
dibawa orang. Rara janji lebih sayang sama kamu.”
Sejak itu Rara semakin sayang sama Chiko.
Apalagi seminggu kemudian mama membawa dua ekor anak anggora yang lucu sebagai
teman Chiko.
“Biar Chiko nggak sering
kabur-kaburan,” kata mama.
“Nanti rumahnya bau, ma?”
“Mereka kan pup nya nggak
sembarangan. Asal kita rajin membuang kotorannya, pasti nggak bau,” kata mama.
“Asyiik, makasih Mama. Rara sayang
sama Mama.”
Mama tersenyum memeluk Rara.
“Kamu beri nama siapa mereka?”
Rara berpikir sejenak.
“Emm, yang cewek namanya Chika, yang
cowok Cipung. Biar kompak sama Chiko.”
Dan hanya butuh satu hari buat ketiga
kucing Rara untuk kompak. Rara masih tetap ingat Billy, tapi tak sesedih dulu
lagi karena telah ada tiga ekor kucing lucu yang menemaninya setiap hari. Rara
berjanji dalam hati akan merawat mereka sebaik ia merawat Billy.
***
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar