Sabtu, 05 November 2016

NHW #3 Membangun Peradaban dari Dalam Rumah


Tugas matrikulasi yang ketiga kali ini mewajibkan kami para ibu untuk jatuh cinta kembali pada suami.
Usia pernikahan kami bisa dibilang sudah cukup lama, awal tahun depan pernikahan kami akan genap berusia 20 tahun. Keluarga kami juga telah dikaruniai 4 orang anak yang sudah menginjak usia remaja.

Salah satu cara untuk memupuk rasa cinta lagi adalah dengan membuat surat cinta untuk suami. Sebenarnya ini bukan merupakan tugas yang susah untukku karena aku memang sudah terbiasa mengirimkan entah itu surat cinta, puisi cinta atau bahkan hadiah-hadiah kejutan buat suami sebagai salah satu upaya menjaga perasaan cinta terhadap suami. Hanya saja akhir-akhir ini frekuensinya memang agak jarang karena intensitas pekerjaan yang cukup padat. Yang membuatku sedikit kesulitan adalah ketika mendapatkan tugas NHW ini, aku tengah berdiskusi dengan suami dan tiba-tiba tanpa sadar langsung bercerita pada suami tentang tugas ini. Untung saja suami segera mengingatkan, “Kalau begitu jadi nggak kejutan lagi dong, Ma, kalau sudah cerita sekarang?” Gubrak! Aku baru tersadar.
Akhirnya puyeng, deh kepala harus menulis apalagi, karena malam itu kami berdua sudah blak-blakan tentang diri kami masing-masing, kekurangan dan kelebihan serta harapan-harapan yang diinginkan dari masing-masing kami. Sementara itu aku juga harus berburu dengan waktu karena suami akan pergi keluar kota untuk dinas. Akhirnya kutulislah sebuah WA cinta. Kukirimkan tepat sebelum kami berangkat tidur.
“Yah, hp ayah ada dimana?” tanyaku.
“Sedang di charge,” jawabnya.
“Coba lihat dulu deh!” pintaku.
Ia kemudian keluar kamar dan memeriksa hpnya dan menemukan WA cintaku padanya. Aku buru-buru mengambil posisi tidur menunggu reaksinya.
Tak lama ia memasuki kamar, memeluk dan menciumku serta berucap, “Makasih, sayang. Ingatkan aku selalu ya untuk bisa menjadi imam yang baik.”
Kamipun berjanji akan segera memperbarui visi misi dan langkah-langkah untuk mencapai tujuan keluarga kami, secepatnya sekembalinya ia dari luar kota nanti.
I love u, sayang. Karena Allah. Engkau yang selalu mencintaiku dengan segala keadaanku.

Kini saatnya melihat potensi keluarga kami, anak-anak kami. Jujur saja, sebagai ibu bekerja dengan jam kerja yang lumayan panjang, memiliki 4 anak itu sungguh membutuhkan energi yang luar biasa. Belum lagi menghadapi karakter masing-masing anak yang sangat berbeda.

Si sulung Firda, 16 th, adalah anak yang bisa diandalkan dalam dalam mengurus adik-adiknya. Dia suka membaca. Rasa bahasanya bagus. Aku mendukungnya untuk berlatih menulis dan mengasah ilmu kepemimpinannya. Pendidikan di pesantren membuatnya lebih mandiri dan mampu bersosialisasi dengan baik. Cita-citanya mendirikan Tempat Penitipan Anak sambil berbisnis dengan mama. Di TPA itu dia berharap bisa mengajar anak-anak sebagaimana cita-cita awalnya menjadi guru TK. Cita-cita tambahannya adalah menjadi penulis.

Anak kedua, Hasna, 14 th, memiliki kepribadian yang cukup keras tapi sangat dermawan. Dengan kepribadiannya yang kuat, aku tak khawatir ketika dia memutuskan keluar pesantren. Dia lebih bisa menyaring pengaruh buruk dibanding kakaknya. Dia hobi memasak dan berkreasi. Sejak kecil sudah pandai membuat kue secara otodidak dengan segala kreasinya. Cita-citanya punya restoran sendiri. Saat ini hobi memasaknya sedikit tersaingi dengan bisnis slime nya. Dia juga sudah punya toko online sendiri.

Fatih, 11 th, hafalan Qur’annya bagus. Karena itu, in sya Allah tahun depan akan masuk pesantren tahfidz. Hatinya sangat mudah tersentuh. Paling mengerti kondisi orang tuanya. Dia sangat menyukai kereta. Cita-citanya menjadi ustadz dan masinis.

Zalfa, 8 th, si bungsu dengan IQ di atas rata-rata yang cepat belajar segala hal namun lebih sulit di atur. Logikanya sangat tinggi sehingga segala yang dihadapi harus bisa diterima dengan akal pikirannya. Jujur aku belum bisa menemukan potensi terkuatnya. Semoga dengan belajar di IIP aku bisa menemukan potensi yang sesungguhnya dari si bungsu.

Sementara itu, apa yang bisa aku lihat dari diri sendiri? Dibesarkan dalam lingkungan keluarga guru, aku terbiasa dididik secara disiplin yang keras. Terbiasa menjalani segala hal secara teratur dan bisa memanage banyak hal. Aku juga suka dengan segala hal yang berbau kreatifitas, mulai berkreasi dengan barang bekas, manik-manik dan kreasi yang lainnya.
Dengan bekal potensi yang ada, aku harus bisa menegakkan disiplin dalam rumah sementara suami cenderung santai dan permisif. Aku juga harus bisa mengimbangi protektifnya suami agar anak-anak tetap bebas bereksplorasi, mandiri dan kreatif. Sementara suami cukup bisa menenangkan aku saat kesabaran mulai menipis. Dia juga tak segan membantu semua tugas-tugas di rumah.
Sungguh Allah Maha Bijaksana, mengumpulkan kami dalam sebuah mahligai untuk saling berkolaborasi dan saling melengkapi.

Lingkungan di mana kami tinggal saat ini masih minim tentang pentingnya ilmu parenting, masalah lingkungan hidup, dan pemahaman agama yang benar. Bukan berarti merasa diri paling benar, tetapi hablum minallah masih banyak dihiasi bid‘ah dan hablum minannas masih tanpa landasan agama. Kesenjangan hidup cukup tinggi. Banyak masyarakat kaya, tapi banyak pula yang hidup dibawah garis kemiskinan. Banyak yang gampang berhutang tanpa tanggung jawab. Lebih banyak berbicara daripada aksi. Sempat merasa lelah dengan lingkungan yang demikian dan ingin pindah, tapi kemudian menetapkan diri untuk menjadikan apa yang ada saat ini sebagai tantangan dan ladang amal agar bisa menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Memang tidak mudah dan tidak bisa dilakukan dengan cepat, tetapi perlahan, kami menemukan orang-orang yang se visi dan berusaha membentuk kekuatan untuk melakukan perubahan  dengan lebih terarah.  Semoga kami bisa menjadi pelaku perubahan dan mewarnai masyarakat di sekitar kami menjadi lebih baik. Dan semua itu hanya bisa dilakukan apabila kami bisa menjadi teladan yang baik pula.
***

#NHW3
#group2
#IIPBogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar