Tugas matrikulasi yang ketiga kali ini mewajibkan kami para ibu untuk jatuh cinta kembali pada suami.
Usia pernikahan kami bisa dibilang sudah cukup lama, awal
tahun depan pernikahan kami akan genap berusia 20 tahun. Keluarga kami juga
telah dikaruniai 4 orang anak yang sudah menginjak usia remaja.
Salah satu cara untuk memupuk rasa cinta lagi adalah dengan membuat
surat cinta untuk suami. Sebenarnya ini bukan merupakan tugas yang susah
untukku karena aku memang sudah terbiasa mengirimkan entah itu surat cinta, puisi
cinta atau bahkan hadiah-hadiah kejutan buat suami sebagai salah satu upaya
menjaga perasaan cinta terhadap suami. Hanya saja akhir-akhir ini frekuensinya memang
agak jarang karena intensitas pekerjaan yang cukup padat. Yang membuatku
sedikit kesulitan adalah ketika mendapatkan tugas NHW ini, aku tengah
berdiskusi dengan suami dan tiba-tiba tanpa sadar langsung bercerita pada suami
tentang tugas ini. Untung saja suami segera mengingatkan, “Kalau begitu jadi
nggak kejutan lagi dong, Ma, kalau sudah cerita sekarang?” Gubrak! Aku baru
tersadar.
Akhirnya
puyeng, deh kepala harus menulis apalagi, karena malam itu kami berdua sudah
blak-blakan tentang diri kami masing-masing, kekurangan dan kelebihan serta
harapan-harapan yang diinginkan dari masing-masing kami. Sementara itu aku juga
harus berburu dengan waktu karena suami akan pergi keluar kota untuk dinas.
Akhirnya kutulislah sebuah WA cinta. Kukirimkan tepat sebelum kami berangkat
tidur.
“Yah,
hp ayah ada dimana?” tanyaku.
“Sedang
di charge,” jawabnya.
“Coba
lihat dulu deh!” pintaku.
Ia
kemudian keluar kamar dan memeriksa hpnya dan menemukan WA cintaku padanya. Aku
buru-buru mengambil posisi tidur menunggu reaksinya.
Tak
lama ia memasuki kamar, memeluk dan menciumku serta berucap, “Makasih, sayang.
Ingatkan aku selalu ya untuk bisa menjadi imam yang baik.”
Kamipun
berjanji akan segera memperbarui visi misi dan langkah-langkah untuk mencapai
tujuan keluarga kami, secepatnya sekembalinya ia dari luar kota nanti.
I
love u, sayang. Karena Allah. Engkau yang selalu mencintaiku dengan segala
keadaanku.
Kini saatnya melihat potensi keluarga kami, anak-anak kami. Jujur
saja, sebagai ibu bekerja dengan jam kerja yang lumayan panjang, memiliki 4
anak itu sungguh membutuhkan energi yang luar biasa. Belum lagi menghadapi
karakter masing-masing anak yang sangat berbeda.
Si
sulung Firda, 16 th, adalah anak yang bisa diandalkan dalam dalam mengurus
adik-adiknya. Dia suka membaca. Rasa bahasanya bagus. Aku mendukungnya untuk
berlatih menulis dan mengasah ilmu kepemimpinannya. Pendidikan di pesantren
membuatnya lebih mandiri dan mampu bersosialisasi dengan baik. Cita-citanya mendirikan
Tempat Penitipan Anak sambil berbisnis dengan mama. Di TPA itu dia berharap bisa
mengajar anak-anak sebagaimana cita-cita awalnya menjadi guru TK. Cita-cita
tambahannya adalah menjadi penulis.
Anak kedua, Hasna, 14 th, memiliki kepribadian yang cukup
keras tapi sangat dermawan. Dengan kepribadiannya yang kuat, aku tak khawatir
ketika dia memutuskan keluar pesantren. Dia lebih bisa menyaring pengaruh buruk
dibanding kakaknya. Dia hobi memasak dan berkreasi. Sejak kecil sudah pandai
membuat kue secara otodidak dengan segala kreasinya. Cita-citanya punya
restoran sendiri. Saat ini hobi memasaknya sedikit tersaingi dengan bisnis
slime nya. Dia juga sudah punya toko online sendiri.
Fatih, 11 th, hafalan Qur’annya bagus. Karena itu, in sya
Allah tahun depan akan masuk pesantren tahfidz. Hatinya sangat mudah tersentuh.
Paling mengerti kondisi orang tuanya. Dia sangat menyukai kereta. Cita-citanya
menjadi ustadz dan masinis.
Zalfa, 8 th, si bungsu dengan IQ di atas rata-rata yang
cepat belajar segala hal namun lebih sulit di atur. Logikanya sangat tinggi
sehingga segala yang dihadapi harus bisa diterima dengan akal pikirannya. Jujur
aku belum bisa menemukan potensi terkuatnya. Semoga dengan belajar di IIP aku bisa
menemukan potensi yang sesungguhnya dari si bungsu.
Sementara itu, apa yang bisa aku lihat dari diri sendiri? Dibesarkan
dalam lingkungan keluarga guru, aku terbiasa dididik secara disiplin yang
keras. Terbiasa menjalani segala hal secara teratur dan bisa memanage banyak
hal. Aku juga suka dengan segala hal yang berbau kreatifitas, mulai berkreasi
dengan barang bekas, manik-manik dan kreasi yang lainnya.
Dengan
bekal potensi yang ada, aku harus bisa menegakkan disiplin dalam rumah
sementara suami cenderung santai dan permisif. Aku juga harus bisa mengimbangi
protektifnya suami agar anak-anak tetap bebas bereksplorasi, mandiri dan
kreatif. Sementara suami cukup bisa menenangkan aku saat kesabaran mulai
menipis. Dia juga tak segan membantu semua tugas-tugas di rumah.
Sungguh
Allah Maha Bijaksana, mengumpulkan kami dalam sebuah mahligai untuk saling
berkolaborasi dan saling melengkapi.
Lingkungan di mana kami tinggal saat ini masih minim tentang
pentingnya ilmu parenting, masalah lingkungan hidup, dan pemahaman agama yang
benar. Bukan berarti merasa diri paling benar, tetapi hablum minallah masih
banyak dihiasi bid‘ah dan hablum minannas masih tanpa landasan agama.
Kesenjangan hidup cukup tinggi. Banyak masyarakat kaya, tapi banyak pula yang
hidup dibawah garis kemiskinan. Banyak yang gampang berhutang tanpa tanggung
jawab. Lebih banyak berbicara daripada aksi. Sempat merasa lelah dengan
lingkungan yang demikian dan ingin pindah, tapi kemudian menetapkan diri untuk
menjadikan apa yang ada saat ini sebagai tantangan dan ladang amal agar bisa
menjadi manusia yang lebih bermanfaat. Memang tidak mudah dan tidak bisa
dilakukan dengan cepat, tetapi perlahan, kami menemukan orang-orang yang se
visi dan berusaha membentuk kekuatan untuk melakukan perubahan dengan lebih terarah. Semoga kami bisa menjadi pelaku perubahan dan
mewarnai masyarakat di sekitar kami menjadi lebih baik. Dan semua itu hanya
bisa dilakukan apabila kami bisa menjadi teladan yang baik pula.
***
#NHW3
#group2
#IIPBogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar