Jumat, 31 Oktober 2025

Upcycling, My Healing

Kita pasti sudah sering mendengar istilah upcycling dan recycling. Keduanya merupakan proses daur ulang sampah anorganik. Lalu apa bedanya?
Upcycling adalah proses daur ulang sampah menjadi barang baru yang memiliki nilai lebih tinggi tanpa menghilangkan wujud asli barang tersebut. Fungsinya untuk memperpanjang masa pakai barang. Misalnya baju sobek, dipotong-potong dan di jahit menjadi celemek atau hiasan yoyo art. Sedangkan recycling adalah menghancurkan barang untuk selanjutnya diolah menjadi barang baru yang bisa saja memiliki bentuk, nilai dan fungsi yang sama atau berbeda dengan barang sebelumnya. Biasanya untuk recycling dilakukan oleh industri dan membutuhkan alat khusus dengan biaya yang lebih besar. contohnya plastik diolah menjadi plastik kembali.
Mengapa kita harus upcycling?
Sebagai orang yang beriman, mengelola sampah yang dihasilkan sendiri adalah sebuah kewajiban sebagaimana diaebutkan dalam Qs. Ar Rum 41  yang artinya:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis, yang menunjukkan bahwa Allah sangat memperhatikan tetang lingkungan. Selain itu, Allah itu indah dan menyukai keindahan. Allah itu bersih dan menyukai kebersihan. Sebagai orang beriman, tentunya kita wajib menjaga lingkungan. Mungkin sebagian besar kita berkata, rumahku sudah bersih kok. Tapi bagaimana dengan di luar sana? Sampah yang kita hasilkan di rumah, kita buang ke luar agar rumah kita bersih. Sampah tidak terolah, hanya berpindah tempat dan menjadi masalah baru. Karena itu kita harus mulai peduli untuk minimal memilah sampah dari rumah dan menyetorkan ke bank sampah atau memberikan kepada yang membutuhkan. Lebih baik lagi jika kita bisa mengolah sendiri sampah yang kita hasilkan. Hal tersebut merupakan wujud pertanggungjawaban kita terhadap Allah. dengan demikian, sesungguhnya melakukan cegah -pilah -olah bukan lagi menjadi sebuah pilihan. Yang menjadi pilihan adalah prosesnya. Idealnya kita bisa semua. Kalau belum bisa, pilih yang bisa. Pilihan mencegah, tentu sampahnya sedikit bahkan gak ada. Mungkinkah? 

Jika kita tidak bisa mencegah timbulan sampah secara keseluruhan, pilahlah lalu salurkan atau olah. Dan disinilah kita, akan membahas tentang mengolah sampah melalui upcycling.
Upcycling itu ribet gak, sih? Aku kan gak kreatif. Aku gak punya waktu, dll. Pertanyaan dan pernyataan di atas sering menjadi momok bagi kebanyakan orang sehingga tidak mau mencoba mengolah sendiri sampahnya.
Bahkan ada yang sudah mencoba mengumpulkan sampahnya,  akhirnya dibuang juga karena tidak dipakai-pakai alias nyampah di dalam rumah. Yang perlu dilakukan adalah mencoba. Dari sekian banyak mencoba, pasti akan menemukan satu atau malah banyak hal yang bisa dilanjutkan.
Buat saya pribadi, upcycling ini justru menjadi sarana healing saya.
Menurut istilah, healing adalah sebuah proses penyembuhan jiwa, perasaan, batin, atau pikiran. Healing dapat membantu menyembuhkan gejala psikologis seperti depresi, kecemasan, gugup, dan khawatir. 
Ternyata healing tidak hanya sebatas liburan atau jalan-jalan, tetapi juga dapat dilakukan dengan cara-cara lain, seperti:

- Me-time, yaitu menghabiskan waktu dengan diri sendiri untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan hobi atau ketertarikan 

- Menulis ekspresif, seperti journaling, untuk menuangkan perasaan dan melakukan refleksi diri 

- Memaknai masa lalu secara positif 

- Melakukan meditasi 

- Berdialog dengan diri sendiri 

- Melakukan aktivitas dengan penuh kesadaran 

- Istirahat yang cukup 

- Menjaga pola makan 

- Respect terhadap diri sendiri 


Healing yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau akar permasalahan justru hanya akan menjadi sarana untuk menghindari masalah. Misalnya, masalah kita adalah sampah yang banyak. Lalu kita healing dengan jalan-jalan keluar kota atau kulineran. Bukannya menyelesaikan masalah, justru menambah masalah karena pulang jalan-jalan uang habis, menghasilkan sampah lebih banyak, masalah belum terselesaikan.
Lalu bagaimana kita menjadikan upcycling bisa menjadi sarana healing?

- Segala sesuatu tergantung niat, maka luruskan niat. Apapun niatnya, niatkan untuk kebaikan dan ibadah.

- Sampah yang kita hasilkan berbeda. Putuskan mau mencoba atau fokus pada sampah apa. Biasanya kalau saya, saya pilih sampah yang paling banyak dihasilkan dan tidak diterima di bank sampah.


- Lakukan dengan sadar dan sabar.

- Fokus dan terus belajar. Kalau sudah ketemu kliknya, Jangan kemaruk mau mengerjakan semua hal karena hanya akan menambah masalah baru.

-Libatkan keluarga, bisa sama suami atau anak untuk membuat project bersama.

- Apresiasi diri saat berhasil, sekecil apapun itu adalah prestasi. Patut diapresiasi.

- Bergabung di komunitas sejenis akan sangat membantu untuk menjaga semangat.

- Berbagilah, sesungguhnya berbagi ilmu adalah cara mengikat ilmu yang paling baik. Bisa di medsos atau pun secara langsung


Saat kita mengetahui apa yang kita lakukan itu bermanfaat maka akan memberikan energi positif dan ketenangan. Seperti kata bijak, jika engkau ingin bahagia, bahagiakanlah orang lain.


Ayo, mulai mengolah sampah kita dan dapatkan bonus ketenangan jiwa!

Kamis, 30 Oktober 2025

Roller Coaster Mengasuh Anak Beda Generasi.


Disclaimer:

Ini adalah sebuah cerita, pengalaman pribadi dalam pengasuhan anak selama 25 th. Jika ada yang sesuai, silahkan dipakai, jika tidak, boleh ditinggalkan.

***

Saya adalah seorang ibu dengan lima anak, 4 perempuan dan satu laki-laki. Anak pertama berusia 25 tahun, dan yang paling kecil beeusia 6 tahun. 

Jarak usia anak dan gender yang tidak seimbang memberukan tantangan yang luar biasa dalam mengasuh mereka. 

Pada awalnya saya  bekerja di ranah publik selama 29 tahun. Waktu yanga saya habiskan untuk bekerja kurang lebih 10 jam/hari ditambah waktu perjalanan 3-4 jam/hari.

Meski saya bekerja di luar, tapi saya selalu mengkhususkan waktu untuk anak-anak. Membacakan buku, mendongeng sebelum tidur, bermain, dan mengajari belajar.  Bahkan juga masih menyempatkan diri untuk memasak buat keluarga. Pokoknya sebelum berangkat, semua urusan anak sudah beres, dari mulai mandi, makan, dan persiapan ke sekolah. Jadi saat asisten rumah tangga datang, tinggal melanjutkan pekerjaan lainnya dan menjaga anak saat mereka pulang sekolah.

Semua berjalan dengan baik. Apalagi saat itu belum marak gadget seperti sekarang. Main gadget hanya saat liburan maksimal 2 jam. Tontonan juga dibatasi. Mereka saling menjadi polisi satu sama lain. Hingga anak ke empat yang memiliki cara belajar kinestetik mulai membutuhkan perhatian saya lebih banyak. Akhirnya saya memilih untuk resign dari pekerjaan. Sebagai PNS, proses resign berjalan cukup lama. Apalagi sempat ditahan oleh sama atasan karena menyayangkan jika keluar begitu saja.

Pada saat proses resign, qodarullah saya mendapat amanah lagi, anak ke lima. Jarak 11 th antara anak ke 4 dan ke 5 membuat saya merasa menjadi orang tua baru di zaman yang baru pula. Zaman dimana gadget seperti kacang goreng.

Saya kembali belajar pengasuhan anak dari nol. Dari situ saya menyadari banyaknya kesalahan pengasuhan di masa lalu dan berniat memperbaikinya baik untuk anak-anak yang sudah dewasa maupun yang baru lahiran. 

Namun segetol apapun saya belajar parenting, tidak serta merta membantu saya mengatasi masalah pengasuhan anak. Tumpukan emosi dalam diri saya, unfinished busines di masa lalu, peran baru sebagai full time mom, dan masalah emosi lainnya membuat saya mengalami stress yang cukup berat dan kadang meledak. Saya sering menyalahkan diri kenapa nggak cepat resign. Hal ini sangat menghambat mempraktikkan teori parenting macam apapun. Akhirnya saya sadar, saya harus membenahi diri sendiri dulu. Baru bisa mendidik anak dengan baik.

Saya mengatur ulang prioritas sesuai kebutuhan dan kondisi keluarga saat ini. Misalnya, tenaga saya tidak muda lagi. Kalau dulu saya bisa mengerjakan banyak hal, sekarang sudah mulai berkurang energinya. Jadi benar-benar prioritas utama yang didahulukan yaitu keluarga. Karena alasan utama resign adalah anak, maka berkegiatan lain hanya bisa dilakukan selama prioritas utama sudah selesai atau tidak terganggu.

Ketika saya selesai dengan diri sendiri, saya mulai merasa enjoy membersamai anak-anak. Karena saya tipikal orang yang senang belajar, saya juga berusaha melahap berbagai teori parenting yang bertebaran di dunia maya. Saya belajar menjadi ibu bagi balita sekaligus remaja dan dewasa. Namun terkadang itu membuat saya bingung dan kehabisan waktu. Akhirnya saya belajar fokus dengan mengikuti kelas parenting yang terstruktur sehingga pengetahuan yang saya dapatkan bisa utuh, tidak sepotong-sepotong. Kalau pun ada tambahan lain, saya mengambil yang bisa mendukung parenting yang sedang saya pelajari. Yang penting praktiknya jalan. Bukan sekedar belajar teori tanpa praktik.

Namun demikian, tantangan memiliki anak beda generasi di usia yang mendekati senja memang membutuhkan effort lebih. Berikut tantangan yang saya hadapi dalam pengasuhan:

1. Usia anak yang jauh berbeda-beda. Akibatnya si bungsu yang lucu menjadi mainan kakak-kakaknya yang gemes dan kadang berlebihan menjahilinya. Ibaratnya sudah rapi-rapi diajarin, digodain terus membuat si bungsu menjadi suka berteriak-teriak. Ternyata lebih susah membenarkan luka lebih susah. Jadi harus banyak-banyak pula memberi pengertian kepada para kakak bahwa hal tersebut kurang baik bagi perkembangan adiknya. 

2. Beda kebijakan. Karena kakak-kakaknya sudah dewasa. Mereka memang membutuhkan gadget untuk komunikasi dan tugas-tugas sekolah atau kuliah. Jadi gadget tidak dilarang. Sementara yang bungsu memang tidak boleh pegang gadget. Solusinya, ada jam free gadget setiap hari yang biasanya dimanfaatkan untuk kegiatan bersama keluarga. Kalau sedang bermain sama adik, juga dilarang bermain gadget agar adik tidak terpancing. Selain itu untuk si adik juga diberikan pengertian bahwa gadget tdk baik untuk anak kecil. Alhamdulillah sejauh ini dia paham.

3. Punya 4 anak perempuan dan 1 lelaki di era maraknya lgbt juga tantangan tersendiri. Saya harus bisa memberikan pendidikan seksualitas sejak dini, rajin memantau kegiatan dan pergaulan anak, memberikan batasan yang jelas pada anak terkait konsep laki-laki dan perempuan, serta sering ngobrol sama mereka tentang apa saja agar kita tahu pemahaman anak.

4. Usia orang tua yang  tidak lagi muda. Usia balita adalah usia anak senang bergerak. Sayangnya orangbtua seringkali kurang bisa mengimbangi geraknya. Gak bisa ikut main lompat2an atau permainan fisik berlebihan. Karena lutut juga sudah rentan. Yang penting anak selalu diberi pengertian. anak pengertian. Tetap memberikan anak akses berkegiatan fisik dengan instruksi yang jelas walau kadang tdk bisa memberi contoh. Nah, disini saya bisa minta bantuan kakaknya jika diperlukan.

5. Pemahaman yang berbeda saat belajar bersama. Di keluarga kami terbiasa mengadakan taklim atau belajar bersama saat free gadget hour. Kadang juga diselingi recalling. Terkadang karena pemahaman yang beda, harus ada dua sesi karena yang paling kecil belum memahami tema yang diangkat. Atau kadang berbagi tugas dengan suami untuk pegang yg kecil atau yang besar. Alhamdulillah sekarang kalau untuk berkisah atau materi ibadah sudah bisa nyambung. Tapi kalau sedang membahas soal dewasa harus tetap terpisah.

6. Tantangan yang lain adalah, eksistensi diri. Saya orang yang senang di rumah. Saya bisa betah di rumah bersama keluarga atau berkebun dan membuat craft sebagai kesibukan tambahan. Namun saya juga orang yang senang berbagi pengetahuan. Hal itu juga menjadi kebutuhan pokok saya walau tidak rutin. Yang menjadi hambatan adalah, si bungsu tidak suka melihat saya asik dengan gadget. Jadi saya masih sering menahan diri untuk eksplore di bidang ini. Solusinya saya mengambil peran yang bisa saya lakukan sambil membersamai si kecil Hanum. Misalnya dengan menjadi pengelola Rumah Peradaban (rumah baca). Disana saya bisa berbagi dengan anak-anak dan orang tua mereka sekaligus bermain dengan Hanum. Hanum juga bisa dapat teman di sana.

Selain tantangan, ada juga enaknya. Karena saya senang belajar dan berkomunitas, seringnya teman-teman saya itu  masih muda-muda. Jadi berasa ikutan muda terus deh☺️

Hikmah yang saya ambil dari perjalanan pengasuhan anak saya adalah: keluarga itu nomor satu karena merupakan amanah langsung dari Allah. Saya sungguh takut jika kelak dihisab ternyata saya belum mendidik anak dengan baik. Apalagi saat usia anak masih dibawah 7 tahun, pendidikan anak seyogyanya orang tua yang pegang, bukan asisten, sekolah atau pesantren. Mereka semua hanya membantu saja. Arah pendidikan anak tetap kita yang menentukan. Jika kita berhasil mendidik anak hingga usia 12 th, maka selanjutnya insyaAllah akan lebih mudah. Begitu pesan guru neuroparenting saya. Dan sebagai seorang muslimah yang baik, saya masih terus belajar menjadi orang tua, untuk anak yang kecil maupun yang sudah dewasa, belajar menyiapkan diri menjadi mertua dan menjadi nenek. 

***


Rabu, 29 Oktober 2025

Pudarnya Empati Di Masa Kini


Beberapa waktu lalu sempat membaca  cerita tentang seorang guru yang melakukan social experiment.

Ia menggulingkan bak sampah dan menunggu apakah akan ada siswa yang membalikkannya. Dari sekian banyak siswa bahkan guru yang lewat, hanya ada 1 anak yang peduli untuk membalikkan tong sampah itu.
sebelumnya pernah juga membaca cerita seorang pelamar kerja yang diterima karena dia dengan kesadaran sendiri mematikan air kran yang dibiarkan meluber. Ia tidak menyadari bahwa, pengujinya memasang kamera untuk menunggu pelamar yang mau tergerak hatinya mematikan kran.
Apa yang dilakukan oleh siswa dan pelamar tersebut merupakan ciri kuat sebuah sikap empati yaitu, peduli terhadap lingkungan. Sayangnya, sikap empat ini semakin memudar di zaman sekarang. Yang sering kita saksikan adalah hujatan berjamaah di media sosial atas perilaku orang lain, tanpa berusaha mengetahui kebenarannya. Belum lagi banyaknya pejabat amoral yang melakukan korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kasus terbaru yang cukup viral adalah pelajar yang tampar gurunya karena kedapatan merokok namun justru orang tuanya memperkarakan guru tersebut kepada pihak berwenang. Sungguh perilaku yang akan menjadi bumerang dimasa depan yaitu, rusaknya perilaku generasi penerus bangsa. Lalu, apa sih sebenarnya empati itu?
Empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan orang lain orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, serta membayangkan dirinya pada posisi orang tersebut. Orang yang memiliki sikap empati akan senang membantu orang lain dan senang mendengarkan orang lain.
Sikap empati ini bisa ditumbuhkan antara lain dengan cara:

Memperbanyak bergaul dengan orang yang memiliki latar belakang berbeda.


Memperhatikan bahasa tubuh dan bentuk komunikasi nonverbal, misalnya mimik muka, saat berkomunikasi dengan orang lain.


Berusaha untuk mendengarkan cerita orang lain sebaik mungkin tanpa menyela.


Mencoba untuk memahami orang lain walau sebenarnya tidak setuju atau tidak sependapat dengannya.


Sering-sering menempatkan diri pada posisi orang lain.


Sikap empati sangat penting dimiliki oelh seseorang karena memiliki peran penting dalam hubungan sosial. Orang dengan empati yang baik akan mudah membangun hubungan sosial denga orang lain, senang membantu dan mudah mengontrol emosinya.
Sudah selayaknya kita sebagai orang tua bisa memberikan teladan dan membimbing anak-anak kita untuk bisa memiliki rasa empati yang baik sehingga mereka akan bisa diterima oleh orang lain dengan baik dimanapun mereka berada.

Selasa, 28 Oktober 2025

Maafkan Kami, Bumi

Hari-hari ini, panas terasa begitu menyengat

Keringat mengucur deras bahkan sejak terbangun di pagi merapat

Tak menunggu panas mereda, hujan tiba-tiba menjebak

Sungguh cuaca tak lagi bisa ditebak

Di setiap lini masa, penyakit musiman merebak

Kami tak tahu, siapa harus terkena salah

Mungkin bumi sudah terlalu lelah dan membiarkan segala makhluk di atasnya, terkena tulah

Singkatnya, bumi sedang tak baik-baik saja

Dan nyatanya, manusialah penyebab utamanya


Duhai bumi, maafkan kami telah membuatmu merenta cepat

Sampah bertebaran dimana-mana seperti daki yang memenuhi tubuh karena setahun tak mandi

Hutan gundul dan menggersang, seperti jenggot yang habis dicukur serampangan

Suhu tubuhmu memanas, seperti bayi kecil baru disuntik vaksin penyakit yang ganas


Duhai bumi, maafkan kami tak berdaya hanya mengeluh kesal melihat mereka membuang sampah sembarangan dipinggir jalan

Kami lelah mengadu, telinga mereka terlalu penuh gumpalan debu

Kami sering tertipu harapan palsu berisi janji kampanye tak bermutu


Duhai bumi, maafkan kami terpaksa membiarkanmu terengah membasuh lukamu sendiri

Banyak dari kami tak peduli, luka menganga di sekujur tubuhmu hanya demi gengsi dan perut terisi

Lahan subur dipaksa hancur, berganti bangunan megah yang bersolek bak pelacur 

Gas beracun memenuhi udara, membuktikan begitu tak berharganya nyawa yang menghirupnya

Limbah busuk mengalir deras di sepanjang sungai yang sudah penuh sampah berbagai barang bekas


Duhai bumi, maafkan kami hanya bisa bergerak lambat menjadi penyelamat dengan dada yang sesak

Otak kami menawarkan beribu solusi, namun tangan kami begitu lemah tanpa energi

Beribu kali kami hendak berlari mencoba menopangmu, kaki kami sering terjengkang si pandai besi yang arogan penuh nafsu


Duhai bumi, maafkan kami yang hanya bisa bergerak sendiri dalam sepi

Tapi kami selalu percaya gerakan kecil dengan sejuta semangat menyala, akan menjadi oase di padang gersang yang nyaris tanpa harapan

Tapi kami tetap yakin, Tuhan di atas sana tak pernah tidur menyaksikan kami tak cuma diam dalam kenistaan

Barangkali, kini kami cuma setetes air di padang pasir

Esok hari, tetes itu menjadi tsunami yang menumpas para manusia serakah tak punya nurani.

Yakinlah janji kami, bumi

Kami tak kan pernah berhenti 

***

(Sebuah keresahan diri, menghadapi kondisi bumi yang kian sakit)

Senin, 27 Oktober 2025

Manfaat Membacakan Buku Sejak Dini

Bagaimana membacakan buku yang benar?

1. Pilih buku yang sesuai dengan usia anak.

2. Pilih buku yang menarik, misalnya berwarna, banyak gambar/ilsutrasi, bahasa mudah dipahami, isinya tidak bertentangan dengan ajaran agama dan moral.

3. Gunakan intonasi suara yang berbeda.

4. Buat suasana yang menyenangkan.

5. Gunakan mimik atau bahasa tubuh untuk menari perhatian anak.

6. Sesekali gunakan alat peraga.

7. Jangan terlalu cepat.

8. Interaktif. Manfaatkan membaca untuk menanyakan tentang kosa kata yang belum dipahami anak, bahas karakter dalam cerita, tanyakan pendapat anak. Gunakan rumus 5W 1H untuk berdiskusi sesuai dengan dengan usia dan pemahaman anak. Kemampuan membaca yang baik akan menjadi bekal anak di masa depan. 

Jadi, apakah masih ada keraguan untuk membacakan buku sejak dini?