Kamis, 30 Oktober 2025

Roller Coaster Mengasuh Anak Beda Generasi.


Disclaimer:

Ini adalah sebuah cerita, pengalaman pribadi dalam pengasuhan anak selama 25 th. Jika ada yang sesuai, silahkan dipakai, jika tidak, boleh ditinggalkan.

***

Saya adalah seorang ibu dengan lima anak, 4 perempuan dan satu laki-laki. Anak pertama berusia 25 tahun, dan yang paling kecil beeusia 6 tahun. 

Jarak usia anak dan gender yang tidak seimbang memberukan tantangan yang luar biasa dalam mengasuh mereka. 

Pada awalnya saya  bekerja di ranah publik selama 29 tahun. Waktu yanga saya habiskan untuk bekerja kurang lebih 10 jam/hari ditambah waktu perjalanan 3-4 jam/hari.

Meski saya bekerja di luar, tapi saya selalu mengkhususkan waktu untuk anak-anak. Membacakan buku, mendongeng sebelum tidur, bermain, dan mengajari belajar.  Bahkan juga masih menyempatkan diri untuk memasak buat keluarga. Pokoknya sebelum berangkat, semua urusan anak sudah beres, dari mulai mandi, makan, dan persiapan ke sekolah. Jadi saat asisten rumah tangga datang, tinggal melanjutkan pekerjaan lainnya dan menjaga anak saat mereka pulang sekolah.

Semua berjalan dengan baik. Apalagi saat itu belum marak gadget seperti sekarang. Main gadget hanya saat liburan maksimal 2 jam. Tontonan juga dibatasi. Mereka saling menjadi polisi satu sama lain. Hingga anak ke empat yang memiliki cara belajar kinestetik mulai membutuhkan perhatian saya lebih banyak. Akhirnya saya memilih untuk resign dari pekerjaan. Sebagai PNS, proses resign berjalan cukup lama. Apalagi sempat ditahan oleh sama atasan karena menyayangkan jika keluar begitu saja.

Pada saat proses resign, qodarullah saya mendapat amanah lagi, anak ke lima. Jarak 11 th antara anak ke 4 dan ke 5 membuat saya merasa menjadi orang tua baru di zaman yang baru pula. Zaman dimana gadget seperti kacang goreng.

Saya kembali belajar pengasuhan anak dari nol. Dari situ saya menyadari banyaknya kesalahan pengasuhan di masa lalu dan berniat memperbaikinya baik untuk anak-anak yang sudah dewasa maupun yang baru lahiran. 

Namun segetol apapun saya belajar parenting, tidak serta merta membantu saya mengatasi masalah pengasuhan anak. Tumpukan emosi dalam diri saya, unfinished busines di masa lalu, peran baru sebagai full time mom, dan masalah emosi lainnya membuat saya mengalami stress yang cukup berat dan kadang meledak. Saya sering menyalahkan diri kenapa nggak cepat resign. Hal ini sangat menghambat mempraktikkan teori parenting macam apapun. Akhirnya saya sadar, saya harus membenahi diri sendiri dulu. Baru bisa mendidik anak dengan baik.

Saya mengatur ulang prioritas sesuai kebutuhan dan kondisi keluarga saat ini. Misalnya, tenaga saya tidak muda lagi. Kalau dulu saya bisa mengerjakan banyak hal, sekarang sudah mulai berkurang energinya. Jadi benar-benar prioritas utama yang didahulukan yaitu keluarga. Karena alasan utama resign adalah anak, maka berkegiatan lain hanya bisa dilakukan selama prioritas utama sudah selesai atau tidak terganggu.

Ketika saya selesai dengan diri sendiri, saya mulai merasa enjoy membersamai anak-anak. Karena saya tipikal orang yang senang belajar, saya juga berusaha melahap berbagai teori parenting yang bertebaran di dunia maya. Saya belajar menjadi ibu bagi balita sekaligus remaja dan dewasa. Namun terkadang itu membuat saya bingung dan kehabisan waktu. Akhirnya saya belajar fokus dengan mengikuti kelas parenting yang terstruktur sehingga pengetahuan yang saya dapatkan bisa utuh, tidak sepotong-sepotong. Kalau pun ada tambahan lain, saya mengambil yang bisa mendukung parenting yang sedang saya pelajari. Yang penting praktiknya jalan. Bukan sekedar belajar teori tanpa praktik.

Namun demikian, tantangan memiliki anak beda generasi di usia yang mendekati senja memang membutuhkan effort lebih. Berikut tantangan yang saya hadapi dalam pengasuhan:

1. Usia anak yang jauh berbeda-beda. Akibatnya si bungsu yang lucu menjadi mainan kakak-kakaknya yang gemes dan kadang berlebihan menjahilinya. Ibaratnya sudah rapi-rapi diajarin, digodain terus membuat si bungsu menjadi suka berteriak-teriak. Ternyata lebih susah membenarkan luka lebih susah. Jadi harus banyak-banyak pula memberi pengertian kepada para kakak bahwa hal tersebut kurang baik bagi perkembangan adiknya. 

2. Beda kebijakan. Karena kakak-kakaknya sudah dewasa. Mereka memang membutuhkan gadget untuk komunikasi dan tugas-tugas sekolah atau kuliah. Jadi gadget tidak dilarang. Sementara yang bungsu memang tidak boleh pegang gadget. Solusinya, ada jam free gadget setiap hari yang biasanya dimanfaatkan untuk kegiatan bersama keluarga. Kalau sedang bermain sama adik, juga dilarang bermain gadget agar adik tidak terpancing. Selain itu untuk si adik juga diberikan pengertian bahwa gadget tdk baik untuk anak kecil. Alhamdulillah sejauh ini dia paham.

3. Punya 4 anak perempuan dan 1 lelaki di era maraknya lgbt juga tantangan tersendiri. Saya harus bisa memberikan pendidikan seksualitas sejak dini, rajin memantau kegiatan dan pergaulan anak, memberikan batasan yang jelas pada anak terkait konsep laki-laki dan perempuan, serta sering ngobrol sama mereka tentang apa saja agar kita tahu pemahaman anak.

4. Usia orang tua yang  tidak lagi muda. Usia balita adalah usia anak senang bergerak. Sayangnya orangbtua seringkali kurang bisa mengimbangi geraknya. Gak bisa ikut main lompat2an atau permainan fisik berlebihan. Karena lutut juga sudah rentan. Yang penting anak selalu diberi pengertian. anak pengertian. Tetap memberikan anak akses berkegiatan fisik dengan instruksi yang jelas walau kadang tdk bisa memberi contoh. Nah, disini saya bisa minta bantuan kakaknya jika diperlukan.

5. Pemahaman yang berbeda saat belajar bersama. Di keluarga kami terbiasa mengadakan taklim atau belajar bersama saat free gadget hour. Kadang juga diselingi recalling. Terkadang karena pemahaman yang beda, harus ada dua sesi karena yang paling kecil belum memahami tema yang diangkat. Atau kadang berbagi tugas dengan suami untuk pegang yg kecil atau yang besar. Alhamdulillah sekarang kalau untuk berkisah atau materi ibadah sudah bisa nyambung. Tapi kalau sedang membahas soal dewasa harus tetap terpisah.

6. Tantangan yang lain adalah, eksistensi diri. Saya orang yang senang di rumah. Saya bisa betah di rumah bersama keluarga atau berkebun dan membuat craft sebagai kesibukan tambahan. Namun saya juga orang yang senang berbagi pengetahuan. Hal itu juga menjadi kebutuhan pokok saya walau tidak rutin. Yang menjadi hambatan adalah, si bungsu tidak suka melihat saya asik dengan gadget. Jadi saya masih sering menahan diri untuk eksplore di bidang ini. Solusinya saya mengambil peran yang bisa saya lakukan sambil membersamai si kecil Hanum. Misalnya dengan menjadi pengelola Rumah Peradaban (rumah baca). Disana saya bisa berbagi dengan anak-anak dan orang tua mereka sekaligus bermain dengan Hanum. Hanum juga bisa dapat teman di sana.

Selain tantangan, ada juga enaknya. Karena saya senang belajar dan berkomunitas, seringnya teman-teman saya itu  masih muda-muda. Jadi berasa ikutan muda terus deh☺️

Hikmah yang saya ambil dari perjalanan pengasuhan anak saya adalah: keluarga itu nomor satu karena merupakan amanah langsung dari Allah. Saya sungguh takut jika kelak dihisab ternyata saya belum mendidik anak dengan baik. Apalagi saat usia anak masih dibawah 7 tahun, pendidikan anak seyogyanya orang tua yang pegang, bukan asisten, sekolah atau pesantren. Mereka semua hanya membantu saja. Arah pendidikan anak tetap kita yang menentukan. Jika kita berhasil mendidik anak hingga usia 12 th, maka selanjutnya insyaAllah akan lebih mudah. Begitu pesan guru neuroparenting saya. Dan sebagai seorang muslimah yang baik, saya masih terus belajar menjadi orang tua, untuk anak yang kecil maupun yang sudah dewasa, belajar menyiapkan diri menjadi mertua dan menjadi nenek. 

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar