Sabtu, 02 April 2016

Mozaik Cinta #3

Guru Baru Intan
“Bagaimana mungkin kamu akan meninggalkan pekerjaanmu untuk tinggal di kampung terpencil Ara?” protes ayahnya saat Ara memberitahukan niatnya untuk menjadi guru di desa terpencil.
“Ayah, Bunda, sebenarnya ini bukan masalah pekerjaan. Tapi ini masalah kebahagiaan Ara. Ara ingin mengejar kebahagiaan Ara. Ara sudah sholat istikharah, dan jawaban yang Ara dapat, Ara harus pergi.”
“Kebahagiaan macam apa yang akan kau cari di sana?”
“Ara belum bisa menjelaskannya sekarang, terlalu rumit. Mohon ayah dan bunda memberikan kesempatan pada Ara, sekali ini saja.”
“Lalu kapan kau akan memikirkan untuk berumah tangga. Umurmu sudah lebih dari cukup bahkan sudah hampir 30 tahun.”
“Jika apa yang Ara kejar ini sesuai dengan harapan, Ara akan segera memikirkan untuk menikah.”
Ayah dan bunda hanya bisa menghela napas.
“Baiklah. Tapi berjanjilah jangan terlalu lama. Ingat, kau anak perempuan kami satu-satunya. Usiamu sudah tak bisa menunggu terlalu lama. Segeralah menikah. Apalagi disana nanti tak ada siapa-siapa. Kami khawatir kalau terjadi sesuatu denganmu, siapa yang akan membantumu.”
“Jangan khawatir, Bun. Ara bisa menjaga diri. Lagi pula selama ini Ara juga sendiri jauh dari Ayah dan bunda. Ara tahu apa yang akan dilakukan. In shaa Allah semua akan baik-baik saja.”
Maka berangkatlah Ara ke kampung tempat tinggal Faiz setelah mengundurkan diri dari LSM tempat ia bergabung. Tujuan pertamanya adalah sekolah. Ada dua alasan mengapa ia memilih sekolah. Ia akan mendekati anak-anak untuk mencari informasi yang jujur disamping ia memang suka anak-anak, dan ia ingin mengajar selama disana. Sesuai dengan informasi kepala sekolah di kampung itu tempat ia pernah menginap yang juga merangkap satu-satunya guru di sekolah itu.
Ara yang memiliki senyum seramah mentari mudah diterima anak-anak dan penduduk kampung. Ia cepat menjadi pujaan bagi mereka. Berita tentang Ara bahkan sampai ke telinga Faiz, namun Faiz tak tahu karena mereka mengenalnya sebagai Bu Muti. Ara sering mengamati kegiatan Faiz dari jauh. Kerinduan yang menggelegak terkadang membuatnya sangat ingin berlari mendekatinya yang kini hanya bisa berada di atas kursi roda. Tapi tidak, belum saatnya.
Intan sering bercerita kepada Faiz tentang bu Mutinya. Faiz jadi penasaran juga seperti apa guru yang diceritakan Intan dan orang-orang dikampung. Sudah hampir satu bulan bu Muti itu datang, tapi Faiz belum sekalipun bertemu dengannya.
“Orangnya cantik deh om, baik lagi. Dia juga pintar bercerita.”
“Wah, om punya saingan dong,” kata Faiz sambil tertawa.
“Iya, ia suka mengajak kami jalan-jalan dan menunjukkan bagaimana kita harus menghargai alam. Katanya kita harus menjaga keseimbangan alam supaya alamnya juga menjaga kita dan tidak terjadi bencana.”
Faiz semakin penasaran.
“Kapan-kapan Intan ajak ke sini ya, om. Biar kenal.”
“Jangan, nanti....”
“Om takut ya ketemu. Om Faiz pasti jatuh cinta kalau lihat bu Muti.”
“Kau ini ada-ada saja.”
“Eh om, kayaknya waktu lihat bu Muti pertama kali. Kayak udah pernah lihat gitu. Dimana ya?”
“Pasti di tivi.”
“Eh bener loh Om. Dimana ya?”
“Kita mau belajar melukis lagi atau mau cerita tentang bu Muti terus nih?”
“Eh iya.”
“Yang lain mana?”
“Sebentar lagi mereka menyusul om. Tuh suara mereka dah kedengaran.”
Sebentar kemudian Faiz sudah dirubung 6 orang anak yang sedang asyik melukis di lantai sambil mendengarkan penjelasan Faiz. Sesekali Faiz tersenyum mendengar celotehan polos dan lucunya anak-anak. Ia tak menyadari, sepasang mata memperhatikannya dari jauh. Dua titik air matanya sempat menitik haru.
***
Suatu kali ketika mamanya datang berkunjung. Ia terkejut saat berhenti didepan lukisan perempuan di rumah Faiz dan memandanginya beberapa saat.
“Sepertinya mama pernah melihat gadis ini belum lama ini deh, Faiz?”
Jantung Faiz rasanya berhenti berdenyut.
“Mama salah lihat kali. Ini kan cuma imajinasi Faiz, ma?”
“Siapa namanya, Faiz?”
“Mama gimana sih. Sudah Faiz bilang berkali-kali, ini imajinasi Faiz.”
“Ya, tapi imajinasi kan juga punya nama. Siapa kau beri nama imajinasimu ini?”
Faiz terdiam sejenak
“Ara,  Mutiara.”
“Hmm.”
“Kenapa Ma?”
“Ah, enggak. Barangkali mama memang salah lihat.”
‘Jadi ini memang gadis itu? Ada apa antara dia dan Faiz? Apakah mereka saling mencintai selama ini? Berarti aku telah memaksakan kehendakku? Lalu bagaimana aku akan menghubunginya? Sedangkan nomor telepon yang ia tinggalkan telah hancur. Lalu ada urusan apa yang belum terselesaikan antara dia dan Faiz.’ Batin Mama.
--
Sore itu, saat Faiz menikmati senja di teras bersama mama.
“Faiz. Apa rencanamu buat masa depan, nak?”
“Masa depan? Bagi Faiz, semua yang ada di sini adalah masa depan, Ma.”
“Apa kau tak ada keinginan menikah lagi?”
Faiz tersenyum getir.
“Apakah ada perempuan yang mau dengan Faiz, Ma?”
“Kamu tidak boleh begitu. Kau tampan, punya penghasilan mapan. Baik hati.”
“Tapi cacat.”
“Faiz, apa yang kau alami ini tidak seberapa. Banyak yang lebih parah dan mereka tetap berkeluarga, tetap optimis dengan kehidupan sosialnya. Kau harus membuka hatimu nak. Kau masih muda.”
“Entahlah, Ma. Mungkin bukan sekedar kecacatan ini. Faiz tak menginginkan perempuan manapun. Faiz tak percaya.”
“Termasuk.. emm… Mutiara?” ujar Mama ragu-ragu.
Faiz bagai tersambar petir.
“Perempuan yang ada dilukisan itu? Berapa kali Faiz bilang itu perempuan dalam khayalan Faiz, Ma” Dan itu memang benar. Saat ini, Mutiara seperti khayalan baginya. Tak mungkin diraihnya.
“Maksud mama, Mutiara yang beberapa bulan lalu datang ke rumah dan menanyakan keberadaanmu.”
Sekali lagi petir menyambar hatinya, meninggalkan getar yang lama tak dirasakannya demi mendengar nama Mutiara.
“Mama rasa, gadis itu sangat mirip dengan lukisanmu itu meskipun yang datang ke rumah itu mengenakan jilbab.”
‘Jilbab? Jadi sekarang Ara berjilbab?’ batin Faiz.
“Dia bilang hendak menyelesaikan sesuatu denganmu. Tapi karena kamu telah berpesan untuk tak memberitahukan keberadaanmu, dengan sangat menyesal mama tak bisa memberitahukan dimana kamu tinggal sekarang. Meskipun dari matanya, mama bisa melihat betapa ia sangat ingin bertemu denganmu. Ia sangat kecewa ketika mama tak memberitahunya. Tapi ia juga tak mau bilang apa urusan yang harus diselesaikannya denganmu. Katanya ia tak bisa bilang sebelum bertemu denganmu.”
‘Apakah itu benar kau Ara. Ya itu pasti kau. Dan apakah engkau masih merindukanku seperti aku senantiasa merindukanmu? Tapi aku tak bisa lagi menemuimu.’
“Apakah gadis itu benar Mutiara di lukisanmu itu? Dan urusan apa di antara kalian yang belum selesai?” tanya mama.
Faiz hanya diam menerawang.
“Faiz, mama senang kalau kau mau bercerita sama mama. Terus terang mama sangat sedih melihat kondisimu yang seperti ini. Menyendiri. Menjauhi kehidupan sosial.”
Faiz mengangguk pelan. “Iya ma, itu Mutiara. Faiz tidak pernah mengenal Mutiara lain selain dia.”
“Apakah kalian saling mencintai?”
Faiz mengangguk sekali lagi.
“Ya Tuhan. Sejak kapan?”
“Entahlah sejak kapan. Yang jelas sebelum Faiz bertunangan dengan Sarah.”
Mama kembali terkejut dan menutup mulutnya hendak mengendalikan perasaannya yang secepat angin seperti tahu kisah tersembunyi yang ditutupi anak laki-laki satu-satunya itu. Ia tahu benar watak anaknya itu. Pasti ia menikah dengan Sarah bukan 100% dari keinginannya karena sebenarnya ia mencintai gadis lain.
“Mama minta maaf, Iz.”
“Maksud Mama?”
“Sebenarnya, waktu ia datang, mama sempat meneleponmu tapi tak kau angkat. Lalu ia meninggalkan nomor teleponnya. Sayang sekali, belum sempat mama menyimpannya, keponakanmu datang dan membuatnya sebagai mainan, hancur tak berbekas. Maafkan, mama sayang. Mengapa kau tak mau menghubunginya, Nak?
 “Mama, tak apa-apa. Lagi pula Faiz nggak mau dia melihat Faiz seperti ini.”
Faiz menarik napas berat.
“Faiz tak pantas lagi untuknya.”
“Faiz, kalau dia benar-benar mencintaimu. Dia akan menerimamu apa adanya.”
“Tapi itu tak adil baginya, Ma. Faiz sungguh tak layak baginya. Faiz telah menyia-nyiakannya. Dan sekarang setelah Faiz begini ingin kembali padanya? Tidak, Ma. Faiz sungguh tak layak untuknya. Ia seorang gadis yang cantik dan cerdas, energik, hatinya lembut tapi berpendirian keras. Tidak. Ia berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dari Faiz.”
Kali ini Mama yang menarik napas panjang. Kalau sudah begitu, ia tahu tak kan pernah bisa memaksa Faiz. Seperti ketika Faiz menyerahkan kembali perusahaan yang dipercayakan padanya pada papanya setelah peristiwa kecelakaan naas itu yang berbuntut dengan perceraian.
Ah, ia sungguh kecewa dengan Sarah yang ternyata bukan perempuan seperti yang diharapkannya. Sarah tak tahan dengan kondisi Faiz dan meminta cerai hanya dua bulan setelah vonis kecacatan itu. Orang tuanya yang juga karib suaminya meski dengan berat hati terpaksa menyetujui keinginan putri tunggalnya itu. Sebenarnya mereka merasa malu dengan sikap anaknya.
Faiz lalu menarik diri dari semua masa lalunya. Dengan uang tabungannya ia membeli tanah yang luas dikampung ini. Membangun rumah, membuat kebun bunga dan peternakan lele.
“Ma,” kata Faiz sambil meraih tangan mama. “Mama jangan terlalu memikirkan Faiz. Faiz sudah bahagia dengan kehidupan Faiz di sini. Bersama anak-anak dan penduduk kampung di sini. Rasanya tak ada lagi yang Faiz inginkan selain kedamaian yang bisa Faiz temukan setiap hari di sini.”
Seandainya mereka tahu. Gadis yang sedang mereka bicarakan, saat itu berada tak lebih dari satu kilo meter dari tempat mereka duduk. Sedang mengajar mengaji anak-anak kampung di musholla.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar