Minggu, 03 April 2016

Mozaik Cinta #4

Mozaik Cinta #3
 
Kerinduan Itu

Ara menatap diam-diam pemuda tampan di kursi roda yang sedang menikmati senja di tepi danau. Kerinduan seperti tak terbendung hendak menuntunnya melangkah mendekat lalu memeluknya. Tapi ia sadar belum saatnya. Ia tak mau merusak semua rencananya.
“Bu Muti!” Ara tergeragap saat Intan tiba-tiba saja menyapanya.
“Eh oh, Intan kau membuat bu Muti kaget.” Intan tertawa kecil.
“Bu Muti bengong sih. Bu Muti mau kemana?”
“mau ke musholla, tadi pengen jalan muter dulu melihat-lihat. Ayo barengan. Intan mau ke sana juga kan?”
Intan mengangguk.
“Eh itu ada om Faiz. Yuk Intan kenalkan sebentar bu.”
Ara belingsatan.
“Eh jangan, lain kali saja, Intan. Nanti kita terlambat.”
“Ah cuma sebentar, lagian ini masih ada waktu.” Lalu Intan hampir berteriak memanggil Faiz jika tak cepat Ara menutup mulut mungilnya.
“Intan sayang. Jangan sekarang ya. Coba kau lihat. Om Faiz sepertinya sedang ingin sendiri, tak ingin di ganggu. Tak sopan kan kalau kita mengganggu kesenangan orang lain?”
“Eh, iya. Om Faiz emang sering begitu bu, sendirian merenung. Makanya nanti kalau kenal bu Muti siapa tahu bisa menjadi temen ngobrol. Kasihan. Om Faiz itu baik sekali sama semua orang di sini.”
Ara tersenyum.
“Iya nanti kapan-kapan kita main ke sana ya.”
“Bener? Bu Muti janji?”
==
Senja takkan kemana tanpa kau pelototi setiap hari.
Ia yang merindu juga takkan pernah muncul dari tengah danau dihadapanmu.
Ia menunggumu di bentang mimpinya.
***
Faiz celingak-celinguk mencari. Matanya menyusuri danau dan taman di depan rumahnya. Sepi. Tak ada siapapun. Lalu siapa yang telah meletakkan kertas bertuliskan puisi singkat ini di sini. Di pinggir danau tempat ia biasa menghabiskan senja. Sepertinya si penulis tahu benar rutinitas sorenya. Siapa dia dan apa maksudnya meletakkannya di sini?
Sekali lagi Faiz membacanya. Aku seperti mengenal tulisan tangan ini dengan baik. Seperti tulisan Ara. Tapi tak mungkin ia ada di sini.
---
Dunia itu tak seharusnya berhenti di sini.
Apalagi mati bersama sepi.
Dunia itu menunggu kembali.

Puisi lagi. Ini yang ketiga dalam minggu ini. Dua hari sebelumnya berupa potongan syair Roxette.
And there are voices that want to be heard. So much to mention but you can't find the words. The scent of magic, the beauty that's been
When love was wilder than the wind.

Siapa dia? Apa maunya dengan mengirimkan semua ini? Yang jelas ini pasti bukan ulah anak-anak. Ini tulisan orang dewasa yang pernah mengenal dunia luar bukan hanya desa terpencil ini. Lalu siapa?
Diam-diam Faiz menyuruh pak Somad mengamati tempat puisi-puisi itu biasa diletakkan. Namun seperti tahu kalau sedang diawasi. Seminggu sudah tak ada kiriman puisi. Akhirnya pak Somad ia pensiunkan dari tugas mata-mata.
Sesungguhnya Faiz tak suka dengan segala misteri ini. Tapi ia benar-benar tak bisa berhenti penasaran. Sedang asyik memikirkan si penulis misterius itu, tiba-tiba Intan menghampirinya.
“Om!”
“Eh Intan, tumben sore begini nongol ke sini. Nggak ke musholla?”
“Belumlah, om. Masih lama. Om ikut Intan ke kebun yuk. Teman-teman sudah nunggu di sana.”
“Memang ada apa?”
“Mereka mau belajar tentang bunga-bunga di kebun.”
“Kan bisa sama bang Ucup.”
“Tapi kan beda kalau yang nerangin om Faiz. Ayolah om, sebentar saja.”
“Emm... baiklah.” Intan lalu membantu Faiz mendorong kursi rodanya ke kebun. Faiz tak tahu bahwa anak-anak sedang menyiapkan kejutan yang takkan pernah dilupakannya. Sepulang sekolah, Intan dan teman-temannya berkumpul menyiapkan rencana kejutan itu.
“Kita harus mempertemukan om Faiz dan Bu Muti biar mereka kenalan. Habisnya setiap mau kukenalin, om Faiz maupun bu Muti menolak mulu. Kapan-kapan mulu.”
“Betul-betul. Aku juga suka cerita tentang bu Muti, om Faiz cuek aja. Siapa tahu mereka bisa pacaran,” kata Benu.
“Kau itu, pikirannya pacar melulu. Pasti kebanyakan nonton sinetron di rumah pak haji ya.”
Benu hanya cengar-cengir.
“Gimana caranya?”
“Gampang. Kita ajak om Faiz ke kebun. Juga bu Muti biar mereka ketemu di sana. Soal om Faiz biar aku yang urus. Kalian tahan bu Muti di kebun ya.”
“Oke,” sahut anak-anak itu kompak.
“Kita ketemu habis sholat Ashar ya?”
“Sip!”
 --
Faiz tak kesulitan menuju kebun yang terletak tak jauh di sebelah rumahnya. Jalanan menuju kesana sengaja telah dibuat rata untuk mempermudah ia pergi sendiri melihat kebun bunganya.
Di ujung kebun, ia melihat ramai anak-anak sedang mengerubungi sesuatu, atau seseorang? Dan sangat terlambat bagi Faiz untuk berbalik arah ketika ia melihat yang dikerubungi anak-anak itu ternyata seorang perempuan berjilbab. Ini pasti bu Muti mereka. Kejutan itu tak berhenti sampai di situ. Jika ada gelegar petir yang paling keraspun takkan mampu membuatnya seterkejut itu. Gadis berjilbab itu... bukankah itu Ara? Meskipun kini gadis itu berbalut busana muslimah rapi, tapi Faiz takkan salah, itu pasti Ara. Tapi apa yang dilakukannya di sini? Arapun tak kalah terkejutnya. Sudah terlambat untuk menghindar.
“Ara?” Ara berusaha cepat menata hatinya.
“Assalamu’alaikum, Faiz. Apa kabar?”
“Waalaikumussalam, seperti yang kau lihat.” Sekilas ia melirik jemari Ara.
‘Ya, Tuhan. Cincin itu masih tersemat rapi di sana? Apakah…..apakah Ara masih selalu menungguku?’ batin Faiz masygul.
Sekarang giliran anak-anak yang terkejut melihat mereka berdua ternyata sudah saling kenal.
“Jadi om Faiz sudah kenal sama bu Muti?” kata Intan. “Kok selama ini gak bilang-bilang?”
“Om Faiz nggak tahu kalau bu Muti kalian ini ternyata Ara, Mutiara. Teman om Faiz di kota.”
Intan yang memang cerdas langsung menemukan jawab atas pertanyaan mengapa saat melihat bu Muti pertama kali, ia seperti sudah pernah melihat.
‘Ooo jadi bu Muti ini gadis dalam lukisan om yang dipasang di rumah,” celotehnya lugu.
Wajah Faiz memerah malu, ketahuan rahasianya di hadapan Ara.
“Kau melukis, Iz?”
“Tak banyak. Hanya bila sedang ingin.” Hanya bila aku tak tahan lagi menahan rinduku padamu, Ara. Batin Faiz.
“Eh, om. Kami nggak jadi belajar bunganya, ah. Besok-besok aja. Kami mau siap-siap ke mushola.” Ara dan Faiz akhirnya menyadari telah dijebak oleh anak-anak.
“Anak-anak, kita antar dulu om Faiz pulang, ya?”
“Aku bisa pulang sendiri, Ara. Sudah biasa.”
Ara tak mempedulikan perkataan Faiz.
“Biar bu Muti yang mendorongnya. Ayo anak-anak.”
“Bu, kami ke mushola dulu ya. Bu Muti aja yang antar om Faiz.” Berkata begitu, Intan dan kawan-kawannya langsung kabur meninggalkan mereka berdua sambil tertawa. Faiz dan Ara hanya geleng-geleng kepala. Ara lalu mendorong pelan kursi roda Faiz.
“Jadi sudah berbulan-bulan kau di sini dan tak menemuiku? Lalu bagaimana kau bisa menemukanku di sini? Atau mama yang menghubungimu?”
“Panjang ceritanya, Faiz. Kurasa, senja tak kan mau menunggu ceritaku hingga selesai. Yang jelas bukan mama yang memberitahuku.”
“Dan puisi-puisi itu?” Faiz langsung tahu siapa pengirim puisi-puisi itu setelah melihat Ara.
Ara tersenyum mengangguk.
“Aku suka memperhatikanmu dari jauh, sedang memandangi danau saat senja.”
“Jadi kau sudah mulai jail ya....” kata Faiz.
Ara tertawa kecil, teringat segala kejailan Faiz saat mereka masih sama-sama bekerja.
“Sudah sampai, Faiz. Kalau tak keberatan, besok pagi aku akan ke sini. Rasanya banyak yang akan kuceritakan.”
“Tentu saja. Besok kutunggu ya.”
“Aku pulang dulu. Anak-anak pasti sudah menungguku di musholla.”
Ara beranjak hendak pergi saat Faiz menahannya.
“Ara….”
“Ya, Iz…..?”
“Cincin itu..? kata Faiz sambil melihat cincin berlian pemberiannya dulu. “Kau…belum….?” Faiz tak sanggup meneruskan pertanyaannya. Sangat takut dengan jawaban yang akan ia dengar. Ara tersenyum.
“Kau pasti tahu jawabnya.” Faiz bernapas lega sekaligus haru. Jadi selama tiga tahun lebih, Ara tetap setia dengan cintanya?”
“Aku pergi dulu, ya.”
Faiz hanya mengangguk, tak sanggup berkata menahan keharuan. Ia memandangi Ara sampai menghilang di belokan. Sungguh rasanya seperti mimpi bisa melihat Ara lagi. Tapi tiba-tiba ada yang perih di dadanya. Rasa tak layak berada di dekat gadis pujaannya itu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar