Sabtu, 18 Maret 2017

Aliran Rasa: Menanamkan Kemandirian pada Anak

Menumbuhkan sikap kemandirian tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hsenisa mungkin dimulai sejak dini.
Ketika tantangan ini diluncurkan, sejujurnya saya bingung harus bagaimana. 10 hari? It's so impossible to do for me. Seperti disampaikan dalam materi bunsay,   melatih kemandirian harus dilakukan sejak anak masih bayi. Sementara anak-anak saya sudah beranjak remaja.
Berangkat dari didikan orang tua saya dulu, saya sudah terbiasa mandiri sejak kecil karena kedua orang tua saya bekerja dan saya hanya tinggal bersama kakek nenek, dimana nenek saya berada dalam kondisi lumpuh setengah karena stroke. Saya sudah bisa memasak sejak TK dengan instruksi dari nenek, menyapu halaman rumah yang luas, membantu mencuci baju sekeluarga sejak SD, menyetrika baju, bahkan bisa membuat kolam kecil dari semen dan membuat rak kecil dari triplek gegara saya suka nongkrongin kakek saya membangun konstruksi atau memperbaiki barang-barang rusak. Saya juga yang melayani keperluan nenek hingga menyisir rambut nenek.
Sampai dewasa, saya baru menyadari, segala tingkah laku saya saat ini sangat dipengaruhi oleh teladan dari kedua orang tua dan kakek nenek saya.
Memasuki dunia pernikahan, saya bertekad kelak anak-anak saya juga harus bisa mandiri. Tantangan berat kemudian saya hadapi ketika suami ternyata sangat bertolak belakang dengan saya. Dia tipenya proteksionis. Ditambah dengan asisten yang cenderung tidak mau repot.
Saya membiarkan anak-anak berkotor ria, suami dan asisten melarang, saya suka anak-anak membantu pekerjaan rumah, suami dan asisten tidak sabar, saya membiarkan anak melakukan kegiatan menantang, suami khawatir berlebihan.
Saya mencoba berkomunikasi dengan suami dan asisten bahwa apa yang saya lakukan adalah demi kebaikan mereka di masa depan. Alhamdulillah suami bisa memahami meskipun secara praktiknya tetap belum bisa meninggalkan kebiasaan sebelumnya secara total. Sehingga kemandirian yang saya idamkan terasa masih bolong di sana-sini. Beruntungnya, asisten saya tidak menginap dan setiap weekend sengaja saya liburkan sehingga saya dan suami bisa bebas membentuk karakter mereka sesuai keinginan.
Tantangan kemandirian ini kemudian menjadi momentum buat saya untuk introspeksi dan menambal bolong-bolong pendampingan program kemandirian buat anak-anak.
Jika pada materi bunsay dikatakan bahwa  melatih kemandirian dilakukan sejak anak dikatakan bukan bayi lagi, saya bahkan sudah mulai mengajarkan toilet training sejak anak usia 1 bulan. Saya memperhatikan kebiasaan anak buang air. Kemudian 'mencatur' nya pada jam-jam tertentu misalnya setiap bangun tidur. Di awal-awal saya lakukan sambil duduk pakai dingklik karena bisa sampai pegal menunggu pipisnya. Tetapi rupanya anak belajar bahwa dalam posisi itu saatnya ia untuk buang air. Semakin dia besar, sebelum bepergian, anak wajib ke toilet dan begitu sampai tujuan juga langsung ke toilet lagi. Kebetulan anak-anak saya kurang suka menggunakan popok sekali pakai.  Kalaupun dipakaikan biasanya tetap tidak mau buang air di popok dan harus dilepas dulu baru pipis. Mungkin sudah terbiasa pipis sendiri. Mau tidur dan bangun pun demikian. Alhasil anak-anak hampir tidak pernah mengompol.
Ketika hujan turun, saya membiarkan anak-anak main hujan-hujanan bahkan terkadang saya dan suami juga ikutan.
Anak-anak saya biarkan untuk mengatasi masalahnya sendiri misalnya mengambil mainannya yang jatuh dikolong, maka dia akan mencari alat untuk bisa meraihnya. Ketika mau meraih barang yang tinggi, dia mengambil kursi untuk naik. Meskipun khawatir jatuh, saya biarkan dengan tetap mengawasinya. Anak kedua saya, Hasna, dan anak keempat, Zalfa, mempunyai passion memasak. Saya biarkan mereka berkreasi di dapur bersama teman-temannya. Mereka akan saling berbagi tugas untuk masing-masing membawa bahan-bahan​ kue dan dimasak di dapur rumah kami. Saya hanya mengingatkan agar setelah selesai, peralatan masaknya dicuci kembali.
Anak-anak saya bagi tugas masing-masing, ada yang membereskan ruang tamu, kamar tidur, buka jendela, dll.
Saya dan suami juga sepakat menumbuhkan jiwa enterpreneur pada anak-anak. Kami membelikan alat tulis dan stiker untuk dijual ke teman-teman mereka. Terkadang juga menjualkan gelang manik-manik buatan saya dibantu anak-anak. Ketika booming slime, Hasna mencari sendiri cara membuatnya dan menjualnya melalui Instagram.
Tapi masih ada beberapa masalah misalnya mencuci. Karena semua dicuci kan asisten, anak-anak belum terbiasa mencuci. Maka begitu menjelang mereka masuk pesantren, saya harus mengajarkan keterampilan itu. Seperti tahun ini, sayapun mulai mengajarkan Fatih untuk mencuci pakaian dalamnya sendiri meskipun dia laki-laki dan pakaian nya nanti akan dilaundry. Kalau menyetrika malah sudah mereka kuasai terlebih dahulu. Mulanya saya ajarkan dengan cara saya cabut kabelnya ketika setrika sudah panas dan belajar menyetrika yang kecil-kecil dulu.
Kemudian saya juga memberikan tanggung jawab yang lebih jelas kepada masing-masing anak. Jika diperlukan, saya buat perjanjian tertulis dengan mereka, misalnya ketika si bungsu Zalfa belum dapat mengendalikan cara berkomunikasinya yang cenderung berteriak yang kemungkinan besar terbawa karena melihat asisten dan suami yang memang suaranya tinggi. Saya mencoba berkomunikasi dengan suami agar mengurangi tone tinggi suaranya. Dan dengan perjanjian dan punishment yang jelas jika dilanggar, Zalfa berhasil mengurangi tone tinggi suaranya.
Saya juga mencoba memberikan tanggung jawab lebih kepada Fatih misalnya dengan membantu memasakkan makanan untuk adiknya sehingga harapan saya, momen seperti itu juga dapat menumbuhkan kasih sayang di antara mereka.
Kebetulan pada periode tantangan terdapat hari-hari ketika saya harus keluar kota dan ada hari ketika asisten tidak masuk karena sakit. Disinilah kesempatan buat saya agar mereka tetap bisa menjalankan kemandirian tanpa saya dan berani tinggal sendiri di rumah. Tentu dengan pembekalan what to do dan not to do, juga kepada siapa mereka harus minta tolong jika terjadi sesuatu. Hal tersebut penting saya lakukan karena saya sudah berniat untuk tidak mencari pengganti asisten jikalau asisten saya yang sudah hampir 10 tahun ikut saya ini mengajukan berhenti.
Alhamdulillah, sejauh ini bolong-bolong itu mulai tertambal. Namun saya sangat memahami bahwa apa yang saya lakukan ini masih jauh dari sempurna sehingga saya tak boleh merasa puas atau lengah. Karena ketika saya lengah dan menjadi tidak konsisten, maka anak-anak sangat mungkin akan meninggalkan kemandirian yang telah mereka raih.
Semoga dengan terus bergabung di kelas ini, semangat memperbaiki diri sekaligus akan terus terjaga. Karena mustahil kita bisa mengajarkan anak-anak kebaikan jika kita sendiri belum meraihnya.
***
Tajurhalang, 18 Maret 2017

#aliranrasa
#bunsay
#kemandirian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar