Lae
melemparkan tas sekolahnya dekat kursi tamu sambil merebahkan dirinya di sofa. Bundanya
yang sedang membersihkan keramik kesayangannya terkejut melihat putri semata
wayangnya bersikap tak seperti biasanya.
“Lae,
kok pulang nggak salam malah melempar tasnya sembarangan?”
“Maaf,
Bun. Lae lagi kesal.”
“Memang
Lae kesal kenapa?”
“Pak
guru dan bu guru nggak adil sama Lae. Gara-gara Lae nggak cantik, Lae nggak
kepilih masuk kelompok gerak jalan yang akan dikirim ke lomba di kabupaten. Malah
Wina yang nggak tegas
itu yang di pilih. Jadi ketua regu lagi. Mentang-mentang dia paling cantik.”
Waduh,
ini serius. Pikir Bunda lalu duduk di sebelah Lae dan mengelus kepala putri
kecilnya yang baru naik kelas VI Sekolah Dasar.
“Kenapa
Lae punya pikiran begitu? Lagi pula siapa yang bilang Lae nggak cantik? Lae itu
anak bunda paling cantik.” Lae cemberut.
“Ini
sih bukan yang pertama, Bun. Yang juara kelas kan aku, tapi kalau ada lomba
apa-apa Wina pasti ikut terus meskipun nggak pernah menang. Kalau jadi dirijen
paduan suara aja dia nggak tegas, masak jadi ketua regu gerak jalan? Lae kan
udah sering jadi komandan upacara dan pengibar bendera yang bagus. Pasti Lae
bisa jadi pasukan gerak jalan yang bagus juga.”
Bunda
tersenyum mendengar keluhan Lae. Putrinya itu memang anak yang membanggakan.
Sejak kelas I tak pernah sekalipun tergeser dari rangking I. Hampir semua
nilainya nyaris sempurna. Soal belajar tak pernah disuruh. Lae tak hanya pintar
dalam pelajaran. Ia juga mempunyai bakat dalam seni. Ia pandai melukis, menari
dan menyanyi. Beberapa kali ia menjadi
juara saat mewakili sekolahnya dalam lomba menari, menyanyi dan
kaligrafi. Piala dan penghargaan berjejer di lemari pajangan. Meski demikian
Lae bukan anakyang sombong. Ia tak pelit berbagi ilmu dengan teman-temannya. Ia
juga banyak teman. Entah kenapa kali ini Lae bersikap aneh.
“Lae,
mungkin bapak dan ibu guru mempunyai pandangan lain. Barangkali Wina memang
lebih bagus dalam gerak jalan. Kan Lae belum pernah membuktikan kalau Lae
terbaik dalam gerak jalan. Waktu kelas V Lae juga gak menang kan gerak
jalannya?”
“Tapi,
Bun...”
“Sudahlah,
sayang. Lae tidak boleh menyalahkan orang lain kalau Lae nggak terpilih. Lae
harus bisa membuktikan dulu bahwa Lae mampu. Pasti nanti pak guru dan bu guru
juga tahu kalau Lae
bisa.”
“Bagaimana
Lae bisa membuktikan kalau tak diberi kesempatan?”
“Pasti
nanti ada waktunya. Lae berdoa sama Allah supaya Lae bisa membuktikan menjadi
yang terbaik. Sekarang Lae ganti baju dulu ya? Cuci kaki tangan trus makan.
Sana gih...”
Dengan
malas Lae menuruti
kata-kata bundanya.
***
“Bundaa....!”
Pulang sekolah Lae berteriak memanggil bundanya.
“Lho
lho apalagi ini? Kok nggak salam lagi?”
“Eh,
iya. Maaf. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum
salam. Ada apa sih, Sayang.
Kelihatannya senang sekali?”
“Iya
dong, Bun. Akhirnya Lae jadi ketua regu gerak jalan. Kami mau ikut lomba antar
sekolah sekecamatan. Tapi Lae nggak sekelompok sama Wina. Wina masih tetap
dengan regunya yang ikut lomba di kabupaten itu. Pokoknya Lae senang deh, Bun.
Lae harus bisa kalahkan kelompoknya Wina.” Bunda tersenyum bijak melihat
semangat Lae.
“Tapi
Lae nggak boleh menghalalkan segala cara ya. Kalahkan dengan jujur.”
“So
pasti lah, Bun.”
***
Lae
dan regunya
berlatih keras. Lae yang memang tegas dapat membentuk regunya menjadi kompak
dengan cepat. Ia terus menyemangati teman-temannya yang kadang kala minder
dengan regu Wina yang sudah melanglang lebih dulu.
“Tenang, teman-teman. Kita pasti bisa mengalahkan mereka.”
Saat
perlombaan tiba, regu Lae semakin keder melihat banyaknya peserta dengan
dandanan dan seragam yang keren termasuk regu Wina yang menggunakan seragam
waktu ikut pelombaan di kabupaten. Sedangkan Lae dan regunya hanya berseragam
sekolah dengan sedikit modifikasi.
“Lae,
Nanda
belum datang,”
kata
Vivin.
“Apa?
Gimana sih? Bentar
lagi mulai nih.” Lae mulai panik. Dari jauh tampak Nanda
berlari-lari terengah-engah.
“Sorry
, La. Aku nyari-nyari sepatuku nggak ada. Jadi aku terpaksa pakai sepatu
putih.” Lae menatap sepatu Nanda yang berwarna putih.
“Ya ampun, apa lagi ini?”
“Aduh
gimana dong, La? Kita pasti kalah kalau kayak gini.
Seragamnya aja nggak sama,”
kata Pingkan.
Lae
berpikir sejenak.
“Sini,
Nda,
coba sepatumu lepasin, nih pakai sepatuku. Muat gak?”
“Tapi, La?”
“Ga
pa-pa. Aku kan ketua regu. Anggap aja
seragamnya emang dibikin beda.”
Nanda
bertukar sepatu dengan Lae.
“Kegedean
dikit sih,
La.”
“Coba
sumpal pake tissue dikit.”
“Udah
pas,
nih. Kau kesempitan dong kalau gitu?”
“Agak
ngepas dikit sih. Tapi nggak pa-pa
mudah-mudahan
nggak lecet pas udah selesai.”
“Sorry
ya, La.
Aku udah bikin
kamu susah dan repot.”
“Udah
gak usah dipikirin. Yuk pada baris. Yang penting kita kompak.”
Lae dan regunya segera
berbaris di tempat yang sudah di sediakan. Lapangan kecamatan itu sudah meriah
dengan puluhan regu gerak jalan dalam rangka memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Warna-warni seragam mereka membuat lapangan seperti taman bunga.
Bu Guru menghampiri Lae dan
menyematkan nomor regu di pinggang Lae.
“Kalian semua sudah siap?”
“Sudah, buuu….”
“Insya Allah,” kata Lae.
“Bagus. Ingat kekompakan
kalian ya. Penilaian utama ada pada kekompakan. Seragam sangat kecil
pengaruhnya. Asal tak belang-belang sudah cukup.” Sepintas bu guru melirik
sepatu Lae. “Kenapa sepatu berbeda Lae?” ucapnya heran karena tak biasanya Lae
berbuat salah seperti itu.
Belum sempat Lae menjawab,
Nanda menyahut.
“ Saya yang salah, Bu. Saya
tak bisa menemukan sepatu hitam saya. Mungkin di pakai mainan adik saya,”
ucapnya sambil menunduk.
“Jadi kalian bertukar
sepatu?” Nanda dan Lae sama-sama mengangguk.
“Anggap saja karena saya
ketua regu jadi berbdeda sedikit seragamnya,” kata Lae.
Bu guru tersenyum arif.
“Ya sudah, kalian fokus pada
kekompakan ya. Mudah-mudahan ini tak akan mengurangi nilai. Ayo, bentar lagi
giliran kalian.”
“Baik, Buuu….”
***
Sepanjang perjalanan sejauh
8 km, tak henti-hentinya Lae memberikan semangat buat teman-temannya. Jika
mereka mulai terlihat lelah, Lae segera meneriakkan yel-yel sederhana yang
biasa mereka buat latihan.
“Satu… dua… tiga… empaaaat.
Regu… kita… pasti… bisaaa…. Satu… dua… tiga… empaaaat. Regu… kita… pasti…
kompaaaak….”
Sesekali mereka menyanyikan
lagu-lagu nasional tanpa mengurangi kekompakan mereka. Rasa nyeri di kaki Lae
yang makin sering datang saat kilometer terakhir, tak dipedulikannya. Mereka
tetap solid sampai garis finish. Senyum kelegaan menghiasi bibir Lae. Ia segera
duduk dan melepas sepatu yang semakin sakit menghimpit sakitnya.
“Lae, kau tak apa-apa?”
tanya Tania. Lae tersenyum.
“Tenang saja, tak apa kok.
Paling lecet sedikit.”
“Hei, ada yang lihat bu guru
gak? Minta obat nih buat Lae.” Teman-temannya segera mencari obat oles untuk
kaki Lae. Nanda tampak sangat menyesali keteledorannya yang mengakibatkan
temannya jadi kesakitan.
“Tenang saja, Nanda. Aku
nggak pa-pa kok. Bentaran juga baikan. Yang penting kita semua sudah berhasil
sampai finish dengan baik. Tinggal tunggu pengumuman,” kata Lae yang melihat
Nanda menunduk terus di sebelahnya.
***
“Bundaa…. Assalamu’alaikum,”
Lae tak sabar terpincang-pincang menghampiri bunda di dapur.
“Wa’alaikum salam. Ya ampun,
Lae kenapa kakimu?”
“Cuma lecet, Bun, tapi Lae
senaaang sekali. Tereeet…” katanya sambil menunjukkan piala yang indah itu.
“Aku ngrayu bu guru buat pinjem piala ini bentar mau tunjukin ke Bunda. Besok
di bawa ke sekolah lagi.”
“Subhanallah. Kalian
memang?” Lae menggangguk riang.
“Juara 1 bun. Bayangkan
betapa senangnya kami. Bahkan regu Wina nggak menang sama sekali. Rasanya
puaaas sekali.”
“Syukurlah. Tapi kamu nggak
boleh sombong gitu dengan menyepelekan Wina.”
“Enggak kok, Bun. Lae cuma
senang saja bisa membuktikan Lae cukup layak ditunjuk mewakili sekolah.”
“Lalu kenapa kakimu bisa
sampai lecet begitu?”
Lae lalu menceritakan
kejadian tukar sepatu dengan Nanda. Bunda memeluk Lae dengan bangga dan
bahagia. Meskipun Lae masih sangat muda, tapi ia punya jiwa besar dan mau
berkorban untuk kelompoknya.
“Terima kasih ya, Bun, sudah
nasehatin Lae untuk tidak mudah mengeluh.”
“Sama-sama sayang, sekarang
bunda punya hadiah buat Lae, kue talam yang enak kesukaan Lae dan makan siang
spesial.”
“Asyiiik, makasih, Bun, Lae
sayaaaang sama bunda,” ujarnya sambil mencium pipi bunda.
T A M A T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar