Kamis, 21 Januari 2016

Maaf, Dok, Saya Tak Butuh Obat...!



Artikel ini tak ada kaitannya dengan malpraktik dokter. Hanya sebuah sisi lain pelayan masyarakat yang seringkali digebyah uyah dengan cap korup, pemalas, dan hal-hal buruk lainnya. Padahal di dunia ini segala sesuatu selalu ada ada pasangannya. Ada jelek, ada baik. Ada korup, ada jujur. Dst. Peran serta media yang lebih suka menggembar-gemborkan kebobrokan moral (oknum) PNS yang korup dengan bumbu-bumbu bombastis menjadi seolah semua PNS itu memang korup dan bermental rusak.
Sekedar sharing. Jam kerja resmi di tempat saya bekerja adalah pukul 07.30-17.00 yang harus dibuktikan dengan absensi finger print. Keterlambatan (TL) atau pulang lebih cepat (PSW) berarti pemotongan gaji sebesar 2,5%. Jika datang lebih cepat atau pulang melebihi jam kerja ya anggap saja sedekah. Buat saya yang rumahnya berjarak lebih dari 50 km dengan waktu tempuh kurang lebih 4 jam pp setiap hari, lumayan melelahkan. Belum lagi ditambah kesibukan di rumah bersama keluarga. Maka ada masanya tubuh saya akan protes. Jika sudah begitu, saya akan dihadapkan pada dilema:
Tetap masuk tambah sakit   atau   tidak masuk, gaji dipotong   atau   terpaksa ambil cuti tahunan yang sudah tinggal sedikit karena terpaksa dipotong cuti bersama dengan konsekuensi jika saya memerlukannya untuk keperluan lain terpaksa harus nyengir karena sudah habis jatah cutinya.
Semua pilihan tak ada yang mengenakkan. Karena saya tetap harus memilih, pilihan kedua adalah yang paling rasional. Masalah selanjutnya adalah, saya pilih dipotong 2,5% sehari atau 5% sehari? Tentu saja saya akan memilih potongan yang lebih sedikit dengan catatan saya harus bisa menunjukkan surat keterangan sakit dari dokter. Padahal, kadang ketika kita sakit tak perlu harus selalu minum obat, hanya perlu beristirahat yang cukup ditambah minum vitamin. (Bener begitu nggak, teman-teman dokter...?  J)
Maka walaupun saya hanya perlu istirahat dan bukan obat, saya harus tetap ke dokter untuk minta surat keterangan. Jika dikasih obat oleh dokter, biasanya nggak saya minum. Jika sakitnya memang perlu obat dan istirahat yang lebih lama dari dua hari, saya juga harus merelakan untuk dipotong lagi 5% setiap harinya terhitung pada hari ke 3. Begitulah, sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sebenarnya kalau di rawat di rumah sakit malah bebas dari potongan. Tapi siapa juga yang mau di rawat di rumah sakit, lebih nyaman juga istirahat di rumah bersama keluarga.
Jujur, saya juga tak ingin pimpinan kantor saya mengubah peraturan yang ada karena jika potongan tersebut ditiadakan akan rawan peluang untuk pegawai yang nakal untuk bolos dengan alasan sakit bermodal surat keterangan sakit dari dokter. Saya hanya menyesalkan mengapa cuti tahunan yang 12 hari itu masih juga dipotong untuk cuti bersama pada saat-saat yang belum tentu kita ingin cuti. Dulu alasannya adalah menghindari bolosnya pegawai di harpitnas. Tapi menurut saya bukan itu solusinya. Silahkan tindak tegas pegawai bersangkutan, apalagi dengan absen finger print, sudah pasti tidak bisa nitip teman untuk absen.
Jadi, Dok... maaf saya tak butuh obat. Hanya butuh surat keteranganmu untuk istirahat.

#odopfor99days
#day13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar