Artikel ini tak ada kaitannya dengan malpraktik dokter.
Hanya sebuah sisi lain pelayan masyarakat yang seringkali digebyah uyah dengan
cap korup, pemalas, dan hal-hal buruk lainnya. Padahal di dunia ini segala
sesuatu selalu ada ada pasangannya. Ada jelek, ada baik. Ada korup, ada jujur. Dst.
Peran serta media yang lebih suka menggembar-gemborkan kebobrokan moral (oknum)
PNS yang korup dengan bumbu-bumbu bombastis menjadi seolah semua PNS itu memang
korup dan bermental rusak.
Sekedar sharing. Jam kerja resmi di tempat saya bekerja
adalah pukul 07.30-17.00 yang harus dibuktikan dengan absensi finger print.
Keterlambatan (TL) atau pulang lebih cepat (PSW) berarti pemotongan gaji
sebesar 2,5%. Jika datang lebih cepat atau pulang melebihi jam kerja ya anggap
saja sedekah. Buat saya yang rumahnya berjarak lebih dari 50 km dengan waktu
tempuh kurang lebih 4 jam pp setiap hari, lumayan melelahkan. Belum lagi
ditambah kesibukan di rumah bersama keluarga. Maka ada masanya tubuh saya akan
protes. Jika sudah begitu, saya akan dihadapkan pada dilema:
Tetap masuk tambah sakit
atau tidak masuk, gaji
dipotong atau terpaksa ambil cuti tahunan yang sudah
tinggal sedikit karena terpaksa dipotong cuti bersama dengan konsekuensi jika
saya memerlukannya untuk keperluan lain terpaksa harus nyengir karena sudah
habis jatah cutinya.
Semua pilihan tak ada yang mengenakkan. Karena saya tetap
harus memilih, pilihan kedua adalah yang paling rasional. Masalah selanjutnya
adalah, saya pilih dipotong 2,5% sehari atau 5% sehari? Tentu saja saya akan memilih
potongan yang lebih sedikit dengan catatan saya harus bisa menunjukkan surat
keterangan sakit dari dokter. Padahal, kadang ketika kita sakit tak perlu harus
selalu minum obat, hanya perlu beristirahat yang cukup ditambah minum vitamin.
(Bener begitu nggak, teman-teman dokter...?
J)
Maka walaupun saya hanya perlu istirahat dan bukan obat,
saya harus tetap ke dokter untuk minta surat keterangan. Jika dikasih obat oleh
dokter, biasanya nggak saya minum. Jika sakitnya memang perlu obat dan
istirahat yang lebih lama dari dua hari, saya juga harus merelakan untuk
dipotong lagi 5% setiap harinya terhitung pada hari ke 3. Begitulah, sudah
jatuh, tertimpa tangga pula. Sebenarnya kalau di rawat di rumah sakit malah
bebas dari potongan. Tapi siapa juga yang mau di rawat di rumah sakit, lebih
nyaman juga istirahat di rumah bersama keluarga.
Jujur, saya juga tak ingin pimpinan kantor saya mengubah
peraturan yang ada karena jika potongan tersebut ditiadakan akan rawan peluang
untuk pegawai yang nakal untuk bolos dengan alasan sakit bermodal surat
keterangan sakit dari dokter. Saya hanya menyesalkan mengapa cuti tahunan yang
12 hari itu masih juga dipotong untuk cuti bersama pada saat-saat yang belum
tentu kita ingin cuti. Dulu alasannya adalah menghindari bolosnya pegawai di
harpitnas. Tapi menurut saya bukan itu solusinya. Silahkan tindak tegas pegawai
bersangkutan, apalagi dengan absen finger print, sudah pasti tidak bisa nitip
teman untuk absen.
Jadi, Dok... maaf saya tak butuh obat. Hanya butuh surat
keteranganmu untuk istirahat.
#odopfor99days
#day13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar