Rabu, 03 Februari 2016

[Cerpen] Melepas Sunyi

Lelaki itu tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Semakin dekat dengan kota kelahirannnya, semakin ia gelisah. Wajah perempuan itu makin jelas tergambar di matanya. Perempuan yang tak seharusnya dicintainya, perempuan yang bukan miliknya.

Gegap gempita jalanan tak mengurangi kerinduannya. Celotehan buah hatinya yang tengah merajuk tak mampu mengusir keresahannya. Baginya dunia terasa amat sunyi dalam keterasingan. Matanya tak bisa menjangkau bayangan selain perempuan itu.
’Seharusnya aku melupakannya. Aku pulang hendak meraih tenang. Kenapa jadi begini?’
Istrinya menangkap kegelisahannya.
”Kenapa sih, Yah? Ada yang ketinggalan?”
”Ah enggak. Nggak tahu nih. Tiba-tiba merasa nggak enak. Mungkin saking rindunya sama bapak. Sudah lama juga kita tidak menengok beliau,” ujarnya berkelit. Khawatir istrinya kembali mencurigai dirinya. Beberapa waktu lalu, mereka sempat bertengkar hebat akibat perasaan yang dipendamnya terhadap perempuan itu. Rasa yang terpendam dan begitu dalam ternyata keluar dalam bentuk igauan dalam tidur malamnya. Istrinya sangat terkejut dan menginterogasinya saat itu juga. Sebisa mungkin ia menyangkal. Berbekal nama dalam igauannya, rupanya sang istri jadi mengawasi segala gerak-geriknya, mencoba mencari jawab atas tercuatnya sebuah nama dalam mimpi.
”Yah, dia memang lebih cantik dariku,” kata istrinya tiba-tiba saat mereka hendak tidur suatu malam. ”Ramah dan menyenangkan.”
”Apa maksudmu?” ia mulai khawatir.
”Perempuan yang namanya kau sebut dalam tidurmu,” kata istrinya berusaha menormalkan nada suaranya, menekan cemburu yang luar biasa. ”Aku mencoba mengingat-ingat teman kamu yang bernama Alika itu. Aku jadi teringat, waktu acara halal bihalal tahun lalu yang diadakan kantormu, aku sempat merasa aneh denganmu yang sering memelototi seseorang dan berusaha mengalihkan perhatian saat aku tanya kenapa? Waktu itu aku sama sekali tidak curiga. Dan kini aku yakin, seseorang yang lebih menarik perhatianmu saat itu dari pada memperhatikan keluargamu adalah perempuan itu.”
”Bicara apa kau ini,” lekas ia memotong kata-kata istrinya.
”Sudahlah, mas. Akui saja.”
”Aku tidak harus mengakui apa yang tidak aku lakukan,” ia mulai meradang.
”Ingat, mas. Ia juga telah bersuami bukan? Janganlah kalian berbuat sesuatu yang dilaknat oleh Allah.”
”Mira. Apa yang kau tuduhkan ini sudah keterlaluan. Tidak terjadi apa-apa antara aku dengan siapapun. Apalagi Alika.” Batinnya berdesir menyebut nama perempuan yang dicintainya diam-diam itu. ” Alika perempuan baik-baik dan tak mungkin berbuat yang tidak terpuji denganku atau siapapun.” Ups, ia sudah mulai membela perempuan itu. Istrinya mulai terpancing emosinya mendengar pembelaannya.
”Jadi engkau juga sudah mulai membela perempuan itu? Apa yang kurang dariku, mas? Jika kecantikan yang kau jadikan ukuran, aku memang tidak sebanding dengannya….”
”Cukup, Mira! Aku tak mau berdebat denganmu. Sekali lagi, aku tegaskan. Tidak terjalin hubungan apa-apa selain hubungan kerja antara aku dan dia.” Tapi aku mencintainya, batinnya lirih. ” aku mau tidur, besok banyak kerjaan kantor yang mesti kuselesaikan.”
”Lalu bagaimana kau menjelaskan nama itu muncul di mimpimu?” istrinya tak puas dengan penjelasannya.
”Lalu apa maumu? Apa kau mau aku mengaku telah berselingkuh dengan Alika? Apa perlu kupertemukan kau dengan Alika? Kalau perlu sekarang juga bisa kusambungkan kau padanya. Tanyakan sendiri, ada apa antara aku dan dia.” Ia menantang istrinya.
Mira terdiam.
”Sungguhkah tak ada apa-apa diantara kalian? Lalu mengapa bisa keluar nama itu dalam tidurmu?”
”Itu kebetulan saja, Mira. Mungkin karena kami sedang terlibat pekerjaan bersama-sama, sering beradu pendapat secara intens, sehingga terbawa dalam mimpi.” Ah, sesungguhnya memang tidak hanya itu, melainkan memang terlalu dalamnya rasa yang dia tanggungkan terhadap perempuan itu. ”Masih tidak percaya?” katanya lagi ketika melihat istrinya masih terdiam.
”Baiklah, kali ini aku percaya.”
Dipeluknya istrinya. ”Mari kita tidur, sudah larut.”
Istrinya tersenyum.
’Ah seandainya saja perempuan dalam pelukanku ini adalah Alika. Astaghfilullah. Kenapa pikiranku lari ke situ lagi?’
***
”Kok bengong lagi, Yah?”
Ia tersadar dari lamunannya. ”Iya nih kok agak pening ya.”
”Mungkin ayah terlalu capek. Tidur saja, Yah. Lagian masih beberapa jam lagi sampai di rumah. Siapa tahu bisa membuat Ayah lebih tenang,” kata istrinya sambil mengusap lembut punggungnya.
Istrinya begitu lembut, setia, dan penuh perhatian. ‘Kenapa aku mesti memikirkan perempuan lain?’
Masih terbayang dalam ingatannya tatkala ia sakit keras dan harus terbaring di ranjang selama berbulan-bulan. Istrinya dengan setia menungguinya. Menyuapinya makan dan minum obat. Membuatkan segala macam obat-obatan tradisional, karena sangat ingin melihat suaminya sembuh. Ia sangat berterima kasih akan pengorbanannya itu. Tapi semua itu tak mampu mengusir perasaan cinta yang entah kapan mulai bersemi terhadap rekan kerjanya. ’Jangan-jangan aku kena guna-guna?’
’Ah, tidak.’ Buru-buru ditepisnya pikiran buruk itu. ’Tak mungkin. Ia seorang perempuan yang baik agamanya. Lagipula ia telah bersuami dan memiliki anak. Nampaknya kehidupan rumah tangganya juga bahagia. Kenapa mesti mengguna-gunai aku? Apa pula hebatnya seorang aku?’
’Lalu apa?’ Matanya yang bening senantiasa mengundang untuk diselami. Senyumnya cukup membuatnya bergetar hingga tak bisa berucap. Apalagi tawanya yang selalu membuat hatinya gempar.
Dicobanya memejamkan mata dan mengusir bayangan perempuan itu. Namun, bukan ketenangan yang ia dapat malah wajah manis itu semakin jelas tergambar dalam pikirannya.
Akhirnya, bus yang ditumpanginya pun berhenti di terminal. Perjalanan selanjutnya dengan angkutan pedesaan sebenarnya tak terlalu lama, hanya kurang lebih lima belas menit, tapi serasa seharian. Kursinya terasa panas, membuatnya tak nyaman duduk.
”Sudahlah, Yah. Sudah mau sampai ini. Bapak pasti gembira melihat kedatangan kita,” kata istrinya.
Dan benar, turun dari angkutan pedesaan, bapak sudah berdiri di depan gapura rumahnya. Matanya langsung bersinar melihat kehadiran anak, menantu, dan cucunya. Si kecil langsung menghambur ke pelukan kakeknya.
Lelaki itu dengan khusyuk mencium tangan bapaknya, seorang lelaki tua dengan rambut separo memutih. Raut wajahnya memancarkan kearifan. Kerut merut wajahnya mulai jelas di sana-sini, menandakan usianya yang mulai senja. Bapak menatapnya penuh selidik, nuraninya mengatakan anaknya sedang memendam masalah. Namun, dibiarkannya anak lelaki sulungnya itu masuk ke rumah agar bisa beristirahat.
***
Larut malam, saat anak dan istrinya lelap dalam mimpi, ia punya kesempatan berdua dengan bapaknya. Ibunya telah lama berpulang ke haribaan-Nya sejak ia masih kelas 1 SMP,  karena kanker rahim yang dideritanya bertahun-tahun. Semenjak itu, bapaknya tetap menjaga kesetiaannya pada sang ibu sambil membesarkan kedua anaknya yang kala itu masih sangat membutuhkan figur ibu, terutama adik perempuannya yang baru kelas 3 sekolah dasar.
Sambil menatap langit malam yang penuh gemintang, lelaki itu bersama bapaknya duduk di amben bambu yang senantiasa setia di teras rumah bapaknya. Wedang jahe dan jadah goreng kesukaannya menemani mereka. Gemerisik dedaunan terdengar merdu menimpali orkestra jangkrik dan serangga malam lainnya.
Ono opo le?,” pelan suara lelaki tua itu ketika sang anak tak kunjung menyampaikan uneg-unegnya.
Ia menghela nafas dalam-dalam.
”Pak, apakah sampai sekarang Bapak cuma mencintai ibu?”
Lelaki tua itu tersenyum, seperti bisa meraba permasalahan apa yang ada dalam pikiran anaknya.
“Ibumu itu wanita yang luhur meskipun juga tak sempurna. Ia telah berjuang melahirkan kamu dan adikmu demi Bapak. Selalu mendampingi Bapak kala susah dan senang. Memang kadang kami juga bertengkar, tapi itu yang menjadi bumbu pernikahan kami menjadi tak hambar. Kami telah berjanji cinta yang kami rajut dengan berbagai ikatan dan peristiwa akan tetap berlanjut hingga alam kelanggengan. Dia selalu menjadi bidadari dalam hidup Bapak, dan akan selalu menjadi bidadari dalam kehidupan setelah kematian Bapak nanti.”
“Apakah jika suatu saat Bapak menemukan bidadari lain, berarti Bapak tak setia sama ibu?”
Lelaki tua itu menghela napas.
”Coba kau tanya pada dirimu sendiri, apa tujuan manusia hidup di dunia ini? Memang tidak salah bila Bapak menikah lagi. Tapi hidup ini bukan cuma nafsu ragawi. Ada yang lebih penting dari semua itu, kehidupan yang abadi. Kudu punya sangu le. Bapak menikah dengan ibumu karena Allah. Kalau semua karena Allah, semua nafsu bisa dikendalikan. Kalau tidak, berarti ada yang salah dengan niatnya. Lagi pula, Bapak takut bila salah memilihkan Ibu buat kalian.”
’Tapi rasa itu datang dengan sendirinya tanpa kuminta. Aku juga tak mau menyakiti istriku yang setia, tapi perasaan itu menyiksaku.’ Batin lelaki itu memberontak.
”Tak semua keinginan kita dapat terpenuhi. Kalau kamu ingin menggapai bintang di langit itu, apakah bisa?” tanya bapak sambil menunjuk sebuah bintang yang terang di langit Utara, seolah tahu apa yang ada di hatinya.
”Apa kamu harus mati ngenes karena keinginanmu itu tak bisa terpenuhi? Coba kau lihat kuda penarik dokar. Supaya ia tak melihat kesana kemari sehingga membuat jalannya berbelok-belok, dia musti pake tali kekang dan kacamata kuda. Agamalah tali kekang yang menuntun kita agar tak nyasar. Norma masyarakat menjadi kaca matanya untuk mencegah hasrat yang tak terkendali.”
Lelaki itu terdiam meresapi kata-kata bapaknya.
Setelah beberapa lama dalam keheningan, bapak menepuk pundak anak lelaki kebanggaannya itu.
”Sholatlah. Dan perbanyak dzikirmu. Jangan lupa untuk selalu menahan diri dari segala yang akan mempersulit keadaan. Insya Allah apa yang menjadi masalahmu akan selesai dengan sendirinya.”
Bapaknya tersenyum arif. ”Sekarang istirahatlah, kau pasti lelah habis perjalanan jauh.”
Lelaki itu bergeming. ”Tidurlah!” kata bapaknya melihat anaknya masih ragu.
Lelaki itu kemudian bangkit meninggalkan bapaknya yang sepertinya masih ingin menikmati malam. Ia akan mencoba menjalankan nasihat bapaknya. Bapak selalu tahu apa yang menjadi masalahnya tanpa ia harus menceritakannya. Bapak adalah panutannya, pahlawannya. Tanpa beliau ia bukanlah apa-apa.
Direbahkannya tubuh yang tiba-tiba terasa sangat lelah disamping anak dan istrinya yang tengah terbuai oleh mimpi. Diamatinya wajah mereka sejenak, damai tak ada beban. Ia mendesah perlahan. Tubuh lelahnya ternyata tak membuatnya segera terlelap. Matanya menerawang langit-langit kamar.
’Mengapa aku tak seperti bapak yang mampu menjaga kesetiaannya bahkan setelah ibu tiada?’ batinnya menggugat. Tak mengerti dengan jalan pikirannya yang biasa logis dan tak mau membuang-buang waktu dengan hal-hal sepele dan dianggapnya tak perlu. Baginya, hidup adalah bekerja dengan sebaik-baiknya, professional dan jika perlu mengorbankan waktu pribadinya. Komitmennya pada pekerjaan tak perlu diragukan. Jujur dan memang mumpuni. Tak heran bossnya sangat bergantung pada hasil kerjanya. Tentu saja karirnya segera melesat, mendahului senior-seniornya. Gosip pun beredar atas nama kecemburuan sosial. Dan ia tak pernah peduli dengan hal semacam itu. Kesan angkuh, serius dan tidak bisa di ajak bercanda dari bawahan dan koleganya tak membuat ia terganggu.
Kehadiran perempuan itu di ruang kantornya empat tahun yang lalu justru yang merubah segalanya. Entah kenapa perempuan itu seperti membawa magnet bagi dirinya. Lagak cuek dan jaga jarak yang dilakukannya tak mampu menepis pesonanya. Padahal ia juga tak semenarik perempuan-perempuan yang kerap berurusan dengannya yang rata-rata cantik dan cerdas. Semakin ia mencoba untuk tak mengakui perasaan aneh yang begitu saja menyelinap di hatinya, semakin ia tak bisa mengendalikan diri untuk senantiasa ingin berdekatan dan sesekali menggodanya dengan keusilan ringan, suatu hal yang tak pernah dilakukannya terhadap siapapun sebelumnya. Dan ia merasa si perempuan itupun menyukai ’kedekatan’ itu.
Hidupnya bertambah kacau akibat tekanan pekerjaan yang makin lama tak sejalan dengan nuraninya. Ia makin sering meninggalkan keluarga sehingga membuatnya tak bisa menjaga pikirannya untuk tetap konsisten. Perasaan bersalah terhadap anak dan istrinya turut menambah kemelut di hatinya.
’Apakah aku memang harus membuang keniscayaan ini?’ batinnya perih. ’Apakah aku bisa, sementara setiap hari aku harus selalu bertemu dengannya?’
Tiba-tiba ia bangkit menuju kamar mandi, membasuh mukanya dengan air wudhu. Malam yang hening pada sepertiga malam seolah menuntunnya menuju tirai yang menutupinya selama ini, mencoba membuka tabir gelisahnya. Didirikannya sholat qiyyamul lail di musholla kecil bapaknya. Dalam sujud panjangnya ia menyerahkan segala urusannya pada Sang Maha Berkehendak. Selama ini, ia sering melakukan sholat malam dan berdoa agar bisa keluar dari kegalauan hatinya, tapi malam ini terasa berbeda. Ia merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta. Mungkin karena di rumah bapak jauh dari keriuhan duniawi dan dekat dengan pahlawan hidupnya yang telah memberinya kuliah berharga yang hanya bisa ditemuinya di rumah sederhana ini. Bapak selalu menasehati tanpa menghakimi. Lalu ia berdzikir dengan khusyuknya sampai tiba-tiba matanya terasa berat dan tertidur di hamparan sajadahnya.
***
Esok harinya, sentuhan lembut istrinya membangunkannya.
”Ayah, sholat Shubuh dulu. Adzan shubuh sudah lewat dari tadi”
Matanya  terbuka perlahan. ”Kenapa tak kau bangunkan aku saat Adzan?”
”Aku bermaksud demikian, tapi Bapak bilang sepertinya Ayah baru tidur belum lama.”
Setelah sholat Shubuh, hatinya seperti memperoleh semangat baru.
”Bapak mana, Dik?” Istrinya agak terkejut dengan katadik itu, panggilan yang entah berapa lama tak didengarnya lagi. Diam-diam hatinya berbunga.
”Bapak sudah menunggu Ayah di teras rumah sambil minum teh.”
”Dio?”
”Masih tidur.”
Ia segera menuju teras dan duduk dekat bapaknya. Sang bapak tersenyum melihat tak ada lagi raut kusam di wajah anak lelakinya.
”Pak, Pras mohon doa restunya. Pras akan mencari pekerjaan yang baru.” Bapaknya tersenyum tanpa kesan terkejut dengan keputusan anaknya yang tiba-tiba. Ia yakin, dengan kemampuan yang dimiliki anaknya, pekerjaan bukanlah persoalan sulit.
”Apa sudah kau pikirkan masak-masak segala akibatnya?”
”Sudah, Pak. Rasanya hanya ini yang bisa menjawab segala yang mengganggu pikiran ini. Insya Allah Pras akan dapat pekerjaan yang lebih baik dan menentramkan.”
’Ya, hanya dengan tidak bertemu dengannya sama sekali aku mungkin akan bisa melupakannya. Aku pun bisa mencari pekerjaan yang tak menjadikanku robot duniawi. Pekerjaan yang memungkinkan aku untuk menyisihkan waktu buat keluargaku.’
Sekali lagi lelaki tua itu tersenyum bijak.
’Alhamdulillah, Allah masih melindungi anak lelakiku.’
***
#odopfor99days
#day23



2 komentar: