Senin, 15 Februari 2016

Lenyap Bagai Buih

Sepeda mini kukayuh dengan riang pada hari pertamaku di kelas 2 SMP. Disepanjang jalan aku bertemu dengan teman-teman lain yang sama- sama bersepeda atau berjalan kaki dengan santai.

Kumasuki kelas baruku diujung deretan kelas-kelas yang berjumlah tujuh ruangan.

Sekolahku dikelilingi oleh persawahan yang hijau oleh tanaman tembakau setinggi lutut. Masih sepi. Ku taruh tasku tergesa lalu bergegas ke depan kelas yang ditumbuhi pohon murbai. Aku asyik mengamati buahnya yang merah di sana-sini. Tiba-tiba…

“Hai!” Entah sejak kapan cowok hitam manis itu sudah berdiri di dekatku. Itulah kau. Pipiku memerah. Aku tahu kamu, tapi hanya sebatas tahu wajah dan nama. Kali ini kita kebetulan sekelas dalam kelas elite yang menjadi kelinci percobaan para guru. Kelasnya para juara di tiap kelas dari 7 kelas satu.

“Kau suka murbai?” tanyamu.

Entah mengapa tenggorokanku terasa tercekat. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.

Untunglah, tak lama teman-teman mulai berdatangan satu per satu. Kitapun sibuk berhai ria dengan teman kelas yang baru yang sebagian besar sudah kukenal.

Sejak itu aku merasa senyummu terlihat lebih manis dibanding teman-temanku. Jika aku memasuki kelasku, yang kucari pertama kali adalah bayangan dirimu meski diam-diam. Aku tak tahu kenapa. Kamu juga suka sekali mendekatiku di setiap kegiatan yang kita lakukan bersama. Praktikum, Pramuka, dll. Selalu kamu yang membuka pembicaraan meski sekedar sapa  dan basa-basi sederhana. Tak pernah basa basi itu berlanjut menjadi obrolan seru karena aku tak tahu harus berkata apa dihadapanmu. Aduh, kenapa begini banget sih aku?

Rupanya teman-temanku mulai memperhatikan tingkah laku kita yang aneh dan mulai meledeki kita. Aku semakin salah tingkah.

Hari berlalu, tak pernah ada kata terucap darimu hingga kita berpisah kelas kembali di kelas 3. Bahkan hingga kita berganti seragam abu-abu. Aku sangat bersyukur Tuhan masih mengijinkanku melihatmu setiap hari di sekolah yang sama di SMA meski tak pernah sekelas. Entahlah, aku tak pernah bisa jauh darimu. Hanya mengingatmu, membuat sensasi tersendiri dalam batinku. Inikah cinta? Tak pernah kutahu jawabnya.

Hingga akhirnya aku terpental ke ujung Timur pulau Jawa, menempuh pendidikan bahasa yang tak pernah kumau. Tak ada kata apapun darimu. Namun rasaku padamu tak sedikitpun berubah. Meski seorang teman jelas-jelas menyatakan cintanya padaku. Meski seorang kakak kelas yang begitu favorit mendekatiku. Meski lalu banyak laki-laki lain mendekatiku di tempat kuliahku. Engkau tetap tak tergantikan.

“Alamak, Lae. Cinta monyet tuh nggak usah dipikirin terlaku dalam. Lupakan saja!”
Aku hanya bisa diam. Mereka tak kan pernah mengerti rasaku. Ya, benar ini cinta pertamaku yang datang kala aku masih terbilang kanak. Tapi yang kurasakan sungguh tak tergantikan. Namun aku pun menyadari, hidupku harus terus berlanjut.

Ditengah keterombang-ambingan tak menentu, aku bertemu dengan seseorang yang sungguh perhatian terhadapku.  Sikapnya yang polos membuatnya berbeda dengan kawan-kawanku yang lain. Akupun mulai dekat dengannya. Keluargapun telah merestui kedekatan kami dan akan segera dilanjutkan ke jenjang pernikahan begitu kami lulus nanti.

Tanpa disangka, saat teman-teman lama sepakat mengadakan reuni kelas di rumahku, aku kembali bertemu denganmu. Rasa itu kembali menggelutiku. Padahal ia juga tak menyatakan apapun. Hanya senyum manis dan kata-kata  bersayap untukku. Aku mulai dilanda kebingungan. Beruntunglah aku memiliki ibu yang bijaksana. Ibu bilang, ibarat nasi, aku kini seperti nasi yang siap untuk ditanak. Apakah aku akan berbalik begitu saja?
"Lebih baik engkau menikah dengan lelaki yang benar-benar mencintaimu daripada dengan lelaki yang kau cintai tapi belum terbukti besar cintanya padamu." Begitu nasehat ibuku.

Maka cukup sudah 9 tahun bersama cintaku padamu. Aku bersungguh menutup lembaran biru bersama bayangmu. Aku tak mau kembali dalam keraguan tak menentu. Ada dia yang peduli padaku. Meski setelah itu masih juga engkau mengganggu anganku, aku tak lagi peduli. Cinta pertamaku telah kularung dilautan lepas, terhempas buih dan lenyap di penghujung cakrawala.
Selamat jalan cinta, jangan pernah datang lagi dalam hidupku.
***

#cintapertama
#odopfor99days
#day31


Tidak ada komentar:

Posting Komentar