Sabtu, 27 Februari 2016

Mutiara-Mutiara #1


Pertengkaran
Langit cerah di penjuru kota seakan tak mampu mempengaruhi suasana hati Ara yang tengah diselimuti awan kelabu. Gadis berkuncir kuda itu mempercepat langkah menuju kantin di belakang kantornya.
‘Aku harus melampiaskan kekesalan ini,’ pikirnya.
Sebenarnya Ara juga bingung hendak berbuat apa. Ditengah puncak kekesalan yang tengah melanda hatinya, tiba-tiba ia teringat masa-masa SMA-nya dulu. Saat itu, jika ia sedang kesal atau sedih, ia suka melampiaskannya dengan makan bakso sepedas-pedasnya, meskipun pada dasarnya ia tidak suka pedas. Bakso-bakso bulat itu seperti berebutan memanggilnya untuk menikmati kembali sensasi pedas yang telah lama tak dirasakannya lagi.
Sesampainya di kantin, ia memesan semangkok bakso tanpa mie. Pelan-pelan ia menghabiskan sayuran dan kuahnya hingga hanya tersisa baksonya saja. Setelah itu ia menuangkan sedikit kecap, sesendok penuh sambal, dan beberapa sendok saus sambal sehingga bakso dimangkoknya seperti menggigil bermandikan lumpur merah yang siap meradang. Ia tak peduli lagi pewarna apa yang dipakai pabrik saos itu. Ia juga tak ingat lagi lambungnya yang harusnya menjauh dari segala yang pedas. Nyeri lambung urusan nanti. Dengan sadis Ara memotong-motong bola-bola bakso itu dan mempermainkannya dalam adonan lumpur super pedas yang dibuatnya seperti sedang berusaha melumatkan sumber kekesalannya.
Satu persatu bakso itu masuk kemulutnya, dikunyahnya dengan nikmat seperti tak merasakan pedas sama sekali. Hanya raut mukanya yang langsung memerah dan berkeringat, menunjukkan bahwa bakso itu memang benar-benar pedas. Ingus dan air matapun tak ketinggalan berebut ingin keluar. Tak berapa lama, mangkok itu benar-benar bersih dari lumpur merah. Rasanya sungguh puas.
“Ara, ngapain kamu sampe nangis-nangis begitu?” tiba-tiba Fadia, sahabat baiknya di kantor, telah berdiri dibelakangnya.
“Gue lagi kesel sama Faiz.”
“Ya ampun, Ra. Omongan Faiz sih jangan dimasukin ke hati. Dia kan memang biasa begitu sama kamu. Kenapa kali ini kamu jadi marah? Ada apa sih, Ra? Kok aku jadi curiga.”
“Curiga apaan, sih?”
“Kalian itu kayak orang pacaran, tau. Apalagi kalau lagi marahan gini. Persis kayak pacar yang lagi merajuk.” Ara mendelik.
“Nggak salah denger, nih? Emangnya mau dikemanain itu pacar dia yang cantik kayak supermodel?”
“Lho, kalau memang nggak ada apa-apa ya jangan sewot gitu, dong. Yaa, siapa tahu si Faiz mau mendua gitu. Atau sebenernya kamu yang naksir sama Faiz?” canda Fadia sambil terkekeh. Ara menimpuknya dengan dompetnya.
“Sembarangan aja ngomong. Kalau dia denger bisa tambah gede tuh kepala.”
“Ya udah. Yuk balik lagi! Diskusi kita kan belum selesai. Jangan ngambek gitu dong. Proyek kita kan harus beres hari ini, nih.”
“Kalau masih ada kunyuk satu itu disana, ogah.”
“Ayolah! Tadi aku udah marahin dia kok. Yuk!” kata Fadia sambil menarik tangan Ara.
“Sebentar aku bayar dulu nih bakso.”
Sebenarnya Ara mengagumi rekan kerjanya yang satu itu, Faiz. Meskipun dia orangnya cuek, tapi pintar. Otaknya super kreatif. Ide-idenya cemerlang. Pemikirannya jauh ke depan. Hanya satu yang membuat Ara keki, ia memiliki hobi mengusili dirinya. Mulai dari menyepelekan hasil pekerjaannya, menyerobot makanannya, pokoknya ada saja keusilan yang selalu berhasil membuat Ara gemas. Anehnya, Ara menikmati semua itu sebagai bentuk persahabatan yang menyenangkan.
Terkadang, Faiz juga sangat perhatian kepada Ara. Membawakannya makanan kesukaan Ara atau membelanya habis-habisan di forum saat Ara dalam kondisi tersudut.
Sesekali, Ara memergoki Faiz sedang memperhatikan dirinya, tetapi dengan cepat ia mengalihkan tatapannya dan berlagak cuek tak acuh. Ara tak pernah berpikir apapun soal itu karena ia tahu Faiz telah memiliki kekasih dan kabarnya sebentar lagi akan segera bertunangan.
Sebenarnya pertengkaran dengan Faiz tak terjadi sekali ini saja. Nyaris setiap minggu ada saja yang menjadi sumber permasalahan dari yang sangat ringan sampai dengan yang super heboh seperti sekarang.
Kali ini, Ara dibuat kesal oleh Faiz yang sudah memasukkan sebagian hasil risetnya kedalam presentasinya tanpa permisi atau cross check terlebih dahulu. Walaupun pada akhirnya hasil riset yang dibuat Ara akan disampaikan juga kepada Faiz sebagai eksekutornya, tetapi Ara jadi merasa tak dianggap. Itu merupakan salah satu sifat Faiz yang sering membuatnya keki. Egois, maunya serba cepat tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Terkadang ia berpikir, Faiz sengaja berbuat demikian untuk memancing kemarahannya.
Lepas dari segala pertengkaran itu, Ara dan Faiz merupakan kombinasi partner diskusi yang asyik. Bertiga dengan Bara, mereka bisa berjam-jam membahas sebuah topik dengan argumen yang ngalor-ngidul dan sesekali diselingi tawa cekikikan. Tapi Faiz berbeda dengan Bara yang lebih tenang dan bijak. Faiz lebih suka membuat Ara mencak-mencak meskipun pada dasarnya Faiz sepemahaman dengan Ara mengenai banyak hal terkait pekerjaan mereka.
Seringkali keusilan ringan Faiz mewarnai diskusi mereka seperti menarik rambut kuncir kuda Ara, menyembunyikan makanan di depan Ara, atau menggeser sepatu Ara yang memang hobi melepaskan sepatu kalau sedang duduk. Ara hanya bisa mencak-mencak dengan keusilan Faiz yang seperti itu atau jika sudah benar-benar gemas, menggebuk bahu Faiz dengan buku. Seandainya orang-orang di kantor belum mahfum jika Faiz telah memiliki kekasih dan sebentar lagi akan bertunangan, barangkali mereka akan berpikir kalau Faiz menyukai Ara. “Kalian itu seperti anjing dan kucing saja. Berantem mulu,” kata Fadia. “Tapi kalau lagi akur, kayak mimi dan mintuno. Hubungan yang aneh.” Ara hanya bisa nyengir mendengar komentar Fadia. Ia sendiri terkadang juga bingung dengan hubungan mereka. Sering berantem, tapi kalau Faiz sedang tidak ada, ia merasa kesepian, seperti ada sesuatu yang hilang dari ritme hariannya. Kangen berantem.
 ***
Note:
ngalor-ngidul          :  ke sana ke mari 
mimi dan mintuno : sepasang binantang yang melambangkan kerukunan





Next: Mutiara-Mutiara #2
#odopfor99days #day40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar