Kamis, 24 Maret 2016

Cafe Cinta

Aku bisa mendengar langit runtuh di depanku.
Aku bisa melihat hatiku tercerabut tak berbentuk.
Aku bisa merasakan kehancuran merajam tubuhku.
Dan aku hanya bisa membeku.
 ***


"Hai! Apa kabar?" sapanya tergagap.
Aku tertawa ringan.
"Kok ketawa sih?"
"Yaa.. Alhamdulillah, baik. Mas sendiri gimana?"
"Baik."

Kemudian kami kembali terdiam. Sekuat mungkin aku menahan tawa di hatiku. Bagaimana tidak. Kami sering rapat bersama hampir setiap minggu jika kantor tempatku bekerja sedang memiliki proyek bersama dengan kantornya. Dan lima menit yang lalu kami baru selesai berdiskusi dalam rapat di kantor client kami. Tiba-tiba di dalam lift ini, saat kami tinggal hanya berdua, dia menanyakan kabarku. What a funny thing!
"Apa kita perlu berkenalan lagi?" tanyaku ketika tak tahan lagi menahan tawa di hati.
"Maksudmu?" tanyanya sambil menatapku bingung. Aduh, gemas sekali melihatnya seperti anak culun yang baru di marahi gurunya. Seorang Prana yang super smart dan lincah, kini seperti anak kecil merajuk pada ibunya.
Pintu lift terbuka. Aku telah sampai di lantai tujuanku. Aku keluar lift diikuti olehnya.
"It's fine, mas. Nggak usah dipikirin, " kataku tak tega melihatnya yang masih bingung. Tapi sukaaa bisa melihat sisi lain dirinya. Ups!
"Oke, mas. Aku mau naik taksi. Mas naik apa?" tanyaku kemudian.
Dia tersentak mendengarnya.
"Eh, aku bawa mobil."
"Kenapa mas nggak turun langsung ke basement?"
Dia belingsatan sesaat. Aduh kenapa sih mulutku nggak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya?
"Iya, kenapa aku jadi ikutan turun disini? Penasaran sih sama pertanyaan Tiara."
Aku tertawa.
"Tiara mau ke arah mana? Bareng aku aja yuk!"
"Nanti ngrepotin?"
"Enggaklah. Hayuk!"
Aku tersenyum mengiyakan.
Kami kembali masuk ke lift menuju ke basement 2. Kembali dia disergap kegugupan.
"Yakin mas, aku nggak pa-pa barengan nih?" tanyaku.
"Hmm. Enggak. Beneran nggak pa-pa."
"Aku takut nih."
"Kenapa takut?"
"Enggak, ah!"
"Tiara ini suka sekali berteka-teki menjelang keluar lift ya?" katanya sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Aku tertawa.
Pintu lift kembali terbuka. Kami berjalan menuju city car hijau nya yang di parkir tak jauh dari lift.
"Mobilnya keren, mas. Mas Prana suka warna hijau ya?"
"Warna favoritku biru, hijau warna kedua yang kusuka."
Lagi-lagi ups. Aku menutup mulutku. Takut keceplosan bicara lagi.
"Kenapa, Tiar? Kok seperti terkejut?""
"Enggak pa-pa, mas."
"Hari ini sudah 3 pertanyaanku yang belum kau jawab."
Aku tertawa mendengar protesnya.

Mas Prana ini tak hanya pandai otaknya, cara dia menyetirpun enak. Kencang dan smart memilih jalan yang lancar tapi nggak bikin perut diaduk. 
"Tiara langsung ke kantor? Ada meeting nggak habis ini?"
"Iya mas. Nggak ada meeting sih. Paling ada yang harus diselesaikan." 


Beberapa menit kemudian aku baru menyadari, mobilnya tidak mengarah ke kantorku maupun kantornya. 
"Kok lewat sini mas?"
Dia hanya tersenyum. Sial, sepertinya dia mau membalas tingkahku.
"Memangnya cuma Tiara yang bisa bikin teka teki?"
Aku terpaksa nyengir. Dahiku segera mengernyit ketika mobilnya berbelok ke sebuah cafe. 
Setelah memarkir mobilnya, ia mengajakku turun.
"Aku belum lapar, mas. Lagi pula ini belum jam makan siang."
"Minum atau nyemil apa gitu juga boleh. Cafe ini kayaknya asyik buat nongkrong."
Aku terpaksa menurut. Gawat nih. Alarm hatiku yang sebenarnya sejak tadi berteriak-teriak, kali ini semakin kencang bunyinya. Bisa-bisa meledak tuh alarm.
Kami, lebih tepatnya dia, memilih meja dengan sofa di lantai 2. Kami bisa leluasa memandang sekitar. Sekali lagi pilihan yang smart.
"Pesan apa, Tiar?"
Aku membuka-buka sebentar menu yang di berikan oleh pramusaji. 
"Strawberry smoothies 1."
"Saya Thai tea ice 1, mbak."
"Makanannya, pak?" tanya pramusaji cantik berusia belia itu.
"Tiar?" tanya mas Prana.
"Itu dulu deh, mas. Ntar nggak bisa makan siang aku."
Dia membuka menu kembali.
"Sushi plater 1, mbak."
"Baik, pak. Mohon ditunggu sebentar."
"Sushinya kita makan bareng ya, Tiar."
Aku cuma tersenyum lalu memperhatikan sekeliling meja kami. Sambil berusaha meredam getar yang tiba-tiba mengguncang di dalam sana. Sial. Serangan telah berbalik ke arahku. Pipiku menyemu merah.
Ia menatapku.
"Aku mau menagihmu," katanya.
Aku menatapnya tak mengerti.
"Jawaban atas 3 teka tekimu."
Aku tertawa. Thanks God! Akhirnya aku bisa membuang gugupku dengan tertawa. Meski tawa itu sekaligus menertawakan diriku yang tak lucu. Aku tak segera menjawab pertanyaannya.
"Kok malah bengong? Apa jawaban pertanyaan nomor 1?" tanyanya sambil menyentuh lembut punggung tanganku.
Aku terkesiap. Mati rasa. Adrenalinku menyebar dari ujung rambut sampai kaki. Tidaaaak...! Teriakku dalam hati. Aku terjebak. Kutarik tanganku perlahan.
"Tiara?"
Aku memalingkan mukaku yang memanas.
Hingga beberapa saat aku tak bisa bicara. Kami sama-sama terdiam.
Kedatangan pramusaji menyelamatkan ketegangan itu. Kuminum strawberry smoothiesku setelah kuaduk sebentar. Dinginnya membasahi kerongkonganku yang tercekat. Membalikkan air mata yang merayap diujung mata.
Aku harus membayar kecerobohanku yang telah memberinya peluang menyerang ku balik.
"Jawaban pertama. Mas Prana tuh aneh. Kita sering ketemu, bahkan baru saja diskusi bersama kok jadi tanya kabar. Kenapa nggak sekalian kita kenalan lagi aja."
Dia menatapku.
"Itu karena aku senantiasa kehilangan kata berada dekatmu."
Bodoh! Jawaban yang salah, Tiara!
Aku menunduk sekilas menentramkan yang tengah berdentuman di dada. 
"Aku nggak lihat mas Prana kehilangan kata saat dekat denganku..."
"...Saat berdiskusi...," sergahnya memotong perkataanku. Kembali aku tertunduk. 
"Jawaban kedua?"
"Yaah, aku..aku... Khawatir aja kalau aku numpang mobil mas Prana  trus mas Prana gugup begitu kan bisa nabrak...."
Dia tersenyum.
"Jawaban ketiga?"
"Warna?" tanyaku.
Ia mengangguk.
"Warna kesukaan mas Prana, sama denganku. Hanya terbalik posisinya."
"Lalu kenapa kau terkejut mendengarnya?"
Oh, Tuhan. Ia mulai melancarkan serangan balik. Aku benar-benar kehilangan akal.
Ia meraih tanganku, meletakkannya di dadanya. Mataku terpejam menahan perih.
"Coba kau rasakan yang bergetar di sana, Tiara."
Air mataku menetes. Tak kuasa menarik kedua tanganku.
Ia menghapus air mataku.
"Aku mencintaimu, Tiara..."
Duar....!
Meledak sudah semuanya.
***
10 th kemudian, di cafe yang sama


Aku duduk di bangku yang sama. Bangku yang aku duduki bersamanya, untuk pertama dan terakhir. Entah kenapa hari ini kakiku membawaku ke sini. Barangkali kerinduan selama bertahun-tahun yang tak lagi terbendung. 
Cafe ini masih sama seperti yang dulu.
Lampu antik di semua tiang yang ada, meja dan sofa. Lukisan-lukisan kecil di dinding, foto-foto karakter film-film klasik. Tak ada yang berubah. Hanya warna dindingnya yang dulu berwana hijau muda, sekarang berwarna coklat muda.
Aku memesan menu yang sama, strawberry smoothies, thai tea, di tambah sushi salmon. Entah apa aku akan bisa menghabiskannya nanti. Pramusajinya telah berganti.
Sambil menunggu pesananku datang. Aku mengenang kembali peristiwa itu. Dadaku mulai sesak. Aku bahkan bisa merasakan sentuhan tangannya dipunggung tanganku dan usapannya dipipiku. Aku menahan napasku. Sebuah kerinduan yang mungkin sia-sia. Pastinya mas Prana sudah bahagia dengan pendampingnya dan tak lagi mengingatmu. Tapi aku tak bisa melupakannya. Dialah satu-satunya lelaki yang aku cintai dengan seluruh jiwaku.
Hampir setengah jam aku mengenang peristiwa itu. Tiba-tiba aku dikejutkan suara langkah mendekat. Reflek aku menengadah. Dan aku membeku. 
Lelaki itu menatapku tak percaya.
"Tiara...?"
"Mas Prana...?"
"A..apa yang kau lakukan di sini?"
"Mas Prana sendiri mengapa di sini?"
"Kamu tak pernah berubah Tiara. Selalu nggak menjawab kalau ditanya malah balik bertanya."
Aku tersenyum nyengir.
"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. Ia memperhatikan pesanan yang terhidang di atas meja. Belum kusentuh sedikitpun kecuali strawberry smoothies yang kuminum sedikit. Rasanya tak tertelan. 

"Diminum Thai tea nya mas. Itu untuk mas Prana," kataku. 
Kami lalu terdiam beberapa waktu mencoba memahami pertemuan yang sungguh tak terduga. 
Ia menatapku. Aku bisa melihat kerinduan berbinar di matanya. Pasti sama seperti di mataku. Tapi aku sangat takut berharap lebih jauh.
"Apa kabarmu, Tiara?"
Aku tersenyum pahit. Mengingat pertanyaan yang sama sepuluh tahun yang lalu.
"Baik, mas. Mas Prana?"
"Seperti yang kau lihat. Angin apa yang membawamu kesini?"
"Entahlah," jawabku ragu.
"Apakah kenangan sepuluh tahun lalu?"
Aku menunduk pilu.
"Setiap tahun pada tanggal yang sama, dan jam yang sama, aku pasti ke sini. Aku ingin merasakan auramu di sini." Lirih suaranya, namun mampu merobek hatiku.
Mataku mulai memanas. Ia meraih tanganku.
"Aku mencintaimu, sama seperti dulu, bahkan mungkin lebih."
Aku tergugu.
***
2 bulan kemudian, di cafe yang sama.
Kali ini tak ada gugup dan tangis. Senyumku dan senyumnya tak pernah lepas penuh bahagia. Ia menggenggam erat tanganku. 
"Aku takkan pernah membiarkanmu menderita, Tiara."
Aku tersenyum.
Seminggu yang lalu, kerinduan dan penderitaan batin kami lunas terbayar. Ia mempersuntingku setelah ia tahu aku telah terbebas dari ikatan mantan suamiku yang ringan tangan. Meskipun demi dia aku telah rela melepaskan cinta yang begitu dalam pada mas Prana dengan resign dari tempatku bekerja dan menghilang dari radarnya demi menjaga setiaku pada suami. Tapi itu tak pernah cukup untuknya agar menghargaiku sebagai istrinya. Puncaknya ketika aku memergokinya telah menikah lagi diam-diam dengan perempuan lain. Bukannya meminta maaf, ia justru menamparku berkali-kali hingga lebam kedua pipiku. Akupun menggugat cerai. Setahun lebih aku memulihkan luka batinku. Ketika aku mulai pulih, aku leluasa kembali menikmati kenanganku bersama mas Prana, kekasih yang tak pernah kumiliki, yang kutinggalkan tanpa pesan. Dan tepat 10 tahun sejak kebersamaan kami di cafe ini, akupun kembali. Tuhan begitu baik padauntukkdengan mempertemukan kami kembali di cafe ini untuk merajut kembali benang cinta yang terampas.
Kami saling bertatap penuh cinta. Binar cinta di matanya cukup untuk meyakinkanku meraih bahagia yang tertunda. 

***

Soundtrack song:

Pelangi di Matamu-Jamrud

30 menit, kita di sini, tanpa suara
Dan aku resah harus menunggu lama
Kata darimu
Mungkin butuh kursus merangkai kata, untuk bicara
Dan aku benci harus jujur padamu tentang semua ini

Jam dinding pun tertawa karna ku hanya diam dan membisu
Ingin kumaki diriku sendiri 
Yang tak berkutik didepanmu

Ada yang lain di senyummu
Yang membuat lidahku
Gugup tak bergerak
Ada pelangi di bola matamu

Yang memaksa diri tuk bilang aku sayang padamu
***

#odopfor99days
#day59







Tidak ada komentar:

Posting Komentar