Sebersit kebahagiaan
menyelinap lirih dalam relung hatinya. Bahagia mengetahui cintanya tak bertepuk
sebelah tangan. Ara sangat tahu Faiz tak mungkin menjadi miliknya, tetapi
perasaan itu terlanjur meluluhkan benteng pertahanannya. Dunia baginya menjadi
lebih indah. Meskipun kadang nuraninya berkata, ia tinggal menunggu genta
kehancuran bertabuh yang akan membuangnya dalam kubangan resah, menuntunnya
pada tirai karang dan membuat hatinya terpenjara. Tadinya Ara berpikir, setelah
pertemuan mereka di pantai itu, semuanya akan selesai. Ternyata ia salah besar.
Napas Subuh baru berdetak saat
massage ring tone ketukan di handphone Ara berbunyi. Ia baru saja
terbangun dari mimpi indah semalaman. Dari Faiz. Seketika bibir Ara
mengembangkan senyuman. Mimpi ini terus berlanjut, pikirnya.
‘Senja
memerah tak pernah melupakan pagi. Seperti aku tak ingin melupakan mimpi.
Bertambahnya usiamu hari ini semoga menjadi awal kebahagiaan dalam hidupmu.
Selamat ulang tahun, pelangi hatiku.’
Kebahagiaan itu langsung
merebak. Didekapnya handphone biru
langit kesayangannya itu sambil tersenyum memejamkan mata seolah Faiz yang ia
peluk seperti waktu di pantai pagi itu.
Ia bahkan tak ingat sekarang
hari ulang tahunnya karena dalam keluarganya memang tak dibiasakan
mengistimewakan atau merayakan hari ulang tahun.
‘Thanks, Faiz.’ Balas Ara singkat mencoba sekuat tenaga
menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya.
‘Hari ini aku mau mentraktirmu makan siang. Just you and me. (note:
tidak boleh menolak)’
‘Tuh kan, tetep aja suka
maksa,’ batin Ara geli.
‘Tapi nggak enak kalau kelihatan temen-temen.’
‘Kutunggu di depan Warung Pitu deket kantor. Jam 12.00’
‘Tidak boleh menolak ya…?’
‘Sama sekali tidak’
‘You’ve got what you want.’
‘Thanks, darling.’
‘Ups. Sejak kapan ia
memanggilku darling?’ Kebahagiaan Ara
semakin tak terkendali.
###
“Ehm.” Fadia berdehem melihat Ara datang. “Ada
yang romantis nih yee….”
“Ada apaan sih?” tanya Ara
keheranan.
“Lihat aja sendiri.”
Ara terbelalak melihat
setangkai mawar putih segar di mejanya. Tanpa pengirim. Siapa yang telah
meletaknya? Apa mungkin Faiz?
“Met ultah ya, Ra,” kata Fadia
sambil mencium pipi Ara.
“Makasih, Fad.”
Sepagian itu Ara gelisah
menunggu siang. Jam 11.50 ia bergegas meninggalkan mejanya menuju tempat yang
dijanjikan.
“Fadia, aku nggak bisa makan
bareng, ya. Ada janji di luar.”
“Suit-suit! Dengan pangeran
pengirim bunga ya?” kata Fadia.
Ara memberi kode tutup mulut
pada Fadia. Pipinya merona.
“Oke,deh, selamat
bersenang-senang ya.”
“Thanks.”
“Jangan lupa dikenalin sama
aku ya.”
Ara tersipu dan melangkah
cepat takut terlambat. Sampai di depan Warung Pitu, Faiz telah menunggu di atas
motornya. Ia langsung naik boncengannya, khawatir terlihat orang-orang kantor.
“Kita mau makan dimana, Iz?”
“Kau akan tahu nanti.”
Motor Faiz berhenti di depan
Café Daun. Kafe kecil namun apik.
“Kau tak takut ketahuan Sarah,
Iz?”
Faiz menggeleng. “Ia tak
mungkin kemari. Ia tidak suka seafood,
apalagi kafe macam begini. “Seminggu aku mencari tempat ini. Aku jamin tak akan
ada yang mengenali kita di sini, dan makanannya enak.”
Faiz menatap mata Ara lekat.
“Aku tak bisa berhenti
memikirkanmu.” Ara menunduk.
‘Aku seperti berhenti bernapas
saat mencoba menghilangkanmu dari anganku,’ batin Ara.
“Tapi kita tak bisa terus
begini, Iz.”
“Lalu kita harus bagaimana?”
Ara menunduk kelu.
“Aku juga nggak tahu. Kupikir
aku bisa meredam semua ini.”
“Kau suka mawar itu?”
“Itu darimu?” Faiz mengangguk.
“Tentu saja aku suka. Apalagi
warna putih. Kenapa sih kau selalu tahu apa yang kusukai? Aku kan nggak pernah
bilang?”
Faiz tersenyum.
“Mau tahu? Karena hatimu ada
di hatiku dan hatiku ada di hatimu. Jadi aku bisa merasakan apa yang kau
rasakan, yang kau inginkan, semuanya. Kau tak kan bisa menyembunyikan apapun
dariku.”
“Begitu? Tapi kenapa terkadang
aku tak bisa mengerti jalan pikiranmu?”
“Itu karena hatimu menolaknya.
Cobalah jujur merasakan. Kau akan bisa membaca hatiku dengan jelas.”
“Mungkin benar.”
Mereka terdiam beberapa waktu.
Tak lama pesanan datang dan mereka menikmati makan siang istimewa itu dalam
diam. Sesekali saling mencuri tatap. Tak tahu lagi perasaan yang berkecamuk di
hati mereka. Bahagia sekaligus nelangsa.
“Makanan di sini enak. Kau
selalu bisa menemukan tempat-tempat yang istimewa,” kata Ara memuji saat mereka
selesai makan. Faiz hanya tersenyum menatap Ara.
“Makasih ya, Iz. Sudah
mengajakku ke sini.”
“Aku menyesal.”
“Maksudmu?”
“Mengapa aku baru menyadari
perasaanku setelah semuanya terlambat.”
“Faiz, semua yang telah
terjadi tak kan bisa kita ulang lagi. Biarlah semua berjalan sesuai
aturan-Nya.”
Tak terasa sudah pukul 13.00 WIB
dan tak ada tanda-tanda Faiz akan mengajaknya kembali ke kantor.
“Kita tak boleh berlama-lama
di sini.”
Faiz menghela napas dalam.
Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hijau elegan dari sakunya dan
menyorongkannya ke arah Ara.
“Apa ini?”
“Untukmu. Tetap dengan
catatan, tidak boleh menolak. Bukalah!”
Ara terbelalak melihat sebuah
cincin emas putih bermata berlian yang berkilau sangat indah dan anggun.
“Ini terlalu berlebihan, Iz.
Aku tak bisa menerimanya.”
“Tidak ada yang berlebihan
untukmu. Ini bukan sekedar hadiah ulang tahun. Ini adalah sebuah lamaran
meskipun mungkin pernikahan antara kita tak kan pernah terjadi.” Ara terkejut.
“Jangan bercanda, Iz.”
“Aku sungguh-sungguh.
Setidaknya aku benar-benar pernah melamarmu, karena satu-satunya perempuan yang
ingin kunikahi dengan jujur dari hati adalah kau, dan akan kubawa kenangan ini
seumur hidupku.”
Ara menitikkan mata, terharu.
Faiz memakaikan cincin itu di jari manis tangan kiri Ara sambil berkata,
“Maukah kau menjadi istriku satu-satunya, Mutiara Maulida? Bersamaku selamanya?”
Ara semakin terguguk. Ia tak
peduli lagi beberapa pengunjung dan pelayan kafe mulai memperhatikan mereka.
“Please, jawablah, Ara!”
Ara mengusap airmatanya dengan
tissue. Lalu menenangkan dirinya beberapa saat.
“Faiz, tentu aku mau. Cincin
ini akan mengikat diriku selamanya.”
“Tidak, Ara. Cincin itu tak
kuinginkan untuk mengikatmu selamanya. Kau boleh melepasnya kapanpun kau mau,
lalu simpanlah. Setidaknya aku sudah pernah memberikannya untukmu. Teruskanlah
hidupmu sesuai dengan keinginanmu, dengan siapapun kau mau.”
Pedih sekali hati Ara
mendengarnya. Rasanya ingin menghambur ke pelukan Faiz.
***
Selesai makan siang, Faiz
memaksa Ara untuk terus dalam boncengannya sampai ke kantor. Ia tak mau
menuruti Ara untuk menurunkannya di tempat mereka bertemu.
“Apa kata temen-temen kalau
melihat kita, Iz?”
“Aku tak peduli kata mereka.
Yang pasti, aku tak mau meninggalkanmu di tengah jalan.”
“Iz, makasih, ya. Untuk
semuanya,” kata Ara sebelum masuk kantor.
“Faiz tersenyum mengangguk.
“Terima kasih juga kau sudah
menerimanya.”
Di dekat pintu masuk gedung,
Ara berpapasan dengan Fadia.
“Gimana makan siang dengan
pangerannya? Tapi kok kamu pulangnya dengan Faiz, sih? Jangan-jangan….”
Ara tergeragap.
“Eh, oh, enggak, aku tadi
ketemu di dekat pertigaan trus diajak barengan.”
Fadia menelisik nggak percaya.
Ia lalu menarik tangan Ara ke untuk duduk di sudut ruangan yang biasa di pakai
menerima tamu.
“Tunggu, kayaknya ada yang
harus kamu jelaskan, deh.” Saat itulah ia melihat cincin berlian di jari manis
Ara. Fadia ternganga.
“Dan cincin indah ini? Ara,
kalau kau tak keberatan boleh aku tahu ada apa antara kau dan Faiz?”
“Nggak ada apa-apa kok”
“Ara, setahuku kau adalah
orang yang paling nggak bisa berbohong. Ayolah, kita kan bersahabat sejak lama.
Kau bisa mempercayaiku. Aku nggak akan ribut dengan siapa kau pergi seandainya
bukan Faiz.”
Ara hanya menunduk.
“Jadi benar kau pergi dengan
Faiz?” Ia hanya diam. “Lalu mawar itu? Dan cincin ini?” Ara hanya bisa menatap
Fadia memelas.
“Ya Tuhan… Bagaimana bisa
Ara.?” Mulai lagi air mata Ara merembes keluar.
“Entahlah, aku juga tak tahu.
Aku belum bisa bercerita banyak sekarang. Aku janji akan cerita semuanya sama
kamu.”
Saat itu, Faiz melewati pintu
masuk dekat mereka duduk. Sepintas ia melihat Ara dan Fadia. Ia hendak berlalu ketika
dilihatnya Ara menangis, ia malah berbelok menghampiri mereka. Ara dan Fadia
terkejut.
“Ara kenapa?”
“Justru aku yang harus
bertanya kepadamu, apa yang telah kau lakukan padanya?” sahut Fadia.
“Fadia… sudahlah.” Ara sangat
khawatir akan mengundang perhatian teman-teman lainnya. “Faiz, tolong
pergilah….”
“Asal kau tahu, Faiz. Aku
takkan rela kau mempermainkan sahabatku.”
Dengan berat hati Faiz
meninggalkan mereka berdua. Beberapa kali ia menengok ke arah mereka hingga ia
masuk ke dalam lift.
“Kita balik ke ruangan ya… aku
lelah,” kata Ara. Fadia memeluknya erat, mencoba memberikan kekuatan kepada
sahabatnya itu.
***
Sementara itu, Faiz terduduk
di ruangannya. Pikirannya kacau.
‘Apa benar yang telah
kulakukan? Aku telah menyakiti hati selembut hati Ara. Andai aku lebih dini
meyakini perasaanku padamu. Andai aku tak terburu-buru melakukan pertunangan
itu. Andai aku bisa mengurangi rasa sakit dihatimu, Ara. Melihatmu menangis,
membuatku ngilu.’ Faiz mengeluh dalam hati.
Sejak peristiwa di pantai itu,
Faiz pun benar-benar tak bisa melupakan Ara. Ia sudah berusaha fokus untuk
belajar mencintai Sarah, tapi ternyata tak bisa. Setelah pengakuan itu,
cintanya pada Ara justru semakin membuncah. Pikirannya benar-benar hanya
dipenuhi tentang Ara sampai ia mempunyai pikiran untuk ’melamar’ Ara. Kini ia
baru menyadari bahwa itu akan membuat Ara semakin sakit. Tapi semuanya sudah
terlambat.
‘Maafkan aku, Ara….’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar