Jumat, 11 Maret 2016

Mutiara-mutiara #5




Cincin Pengikat
Sebersit kebahagiaan menyelinap lirih dalam relung hatinya. Bahagia mengetahui cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Ara sangat tahu Faiz tak mungkin menjadi miliknya, tetapi perasaan itu terlanjur meluluhkan benteng pertahanannya. Dunia baginya menjadi lebih indah. Meskipun kadang nuraninya berkata, ia tinggal menunggu genta kehancuran bertabuh yang akan membuangnya dalam kubangan resah, menuntunnya pada tirai karang dan membuat hatinya terpenjara. Tadinya Ara berpikir, setelah pertemuan mereka di pantai itu, semuanya akan selesai. Ternyata ia salah besar.
Napas Subuh baru berdetak saat massage ring tone ketukan di handphone Ara berbunyi. Ia baru saja terbangun dari mimpi indah semalaman. Dari Faiz. Seketika bibir Ara mengembangkan senyuman. Mimpi ini terus berlanjut, pikirnya.
‘Senja memerah tak pernah melupakan pagi. Seperti aku tak ingin melupakan mimpi. Bertambahnya usiamu hari ini semoga menjadi awal kebahagiaan dalam hidupmu. Selamat ulang tahun, pelangi hatiku.’
Kebahagiaan itu langsung merebak. Didekapnya handphone biru langit kesayangannya itu sambil tersenyum memejamkan mata seolah Faiz yang ia peluk seperti waktu di pantai pagi itu.
Ia bahkan tak ingat sekarang hari ulang tahunnya karena dalam keluarganya memang tak dibiasakan mengistimewakan atau merayakan hari ulang tahun.
Thanks, Faiz.’ Balas Ara singkat mencoba sekuat tenaga menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya.
Hari ini aku mau mentraktirmu makan siang. Just you and me. (note: tidak boleh menolak)
‘Tuh kan, tetep aja suka maksa,’ batin Ara geli.
Tapi nggak enak kalau kelihatan temen-temen.’
Kutunggu di depan Warung Pitu deket kantor. Jam 12.00
Tidak boleh menolak ya…?
Sama sekali tidak
You’ve got what you want.’
Thanks, darling.’
‘Ups. Sejak kapan ia memanggilku darling?’ Kebahagiaan Ara semakin tak terkendali.
###
 “Ehm.” Fadia berdehem melihat Ara datang. “Ada yang romantis nih yee….”
“Ada apaan sih?” tanya Ara keheranan.
“Lihat aja sendiri.”
Ara terbelalak melihat setangkai mawar putih segar di mejanya. Tanpa pengirim. Siapa yang telah meletaknya? Apa mungkin Faiz?
“Met ultah ya, Ra,” kata Fadia sambil mencium pipi Ara.
“Makasih, Fad.”
Sepagian itu Ara gelisah menunggu siang. Jam 11.50 ia bergegas meninggalkan mejanya menuju tempat yang dijanjikan.
“Fadia, aku nggak bisa makan bareng, ya. Ada janji di luar.”
“Suit-suit! Dengan pangeran pengirim bunga ya?” kata Fadia.
Ara memberi kode tutup mulut pada Fadia. Pipinya merona.
“Oke,deh, selamat bersenang-senang ya.”
Thanks.”
“Jangan lupa dikenalin sama aku ya.”
Ara tersipu dan melangkah cepat takut terlambat. Sampai di depan Warung Pitu, Faiz telah menunggu di atas motornya. Ia langsung naik boncengannya, khawatir terlihat orang-orang kantor.
“Kita mau makan dimana, Iz?”
“Kau akan tahu nanti.”
Motor Faiz berhenti di depan Café Daun. Kafe kecil namun apik.
“Kau tak takut ketahuan Sarah, Iz?”
Faiz menggeleng. “Ia tak mungkin kemari. Ia tidak suka seafood, apalagi kafe macam begini. “Seminggu aku mencari tempat ini. Aku jamin tak akan ada yang mengenali kita di sini, dan makanannya enak.”
Faiz menatap mata Ara lekat.
“Aku tak bisa berhenti memikirkanmu.” Ara menunduk.
‘Aku seperti berhenti bernapas saat mencoba menghilangkanmu dari anganku,’ batin Ara.
“Tapi kita tak bisa terus begini, Iz.”
“Lalu kita harus bagaimana?”
Ara menunduk kelu.
“Aku juga nggak tahu. Kupikir aku bisa meredam semua ini.”
“Kau suka mawar itu?”
“Itu darimu?” Faiz mengangguk.
“Tentu saja aku suka. Apalagi warna putih. Kenapa sih kau selalu tahu apa yang kusukai? Aku kan nggak pernah bilang?”
Faiz tersenyum.
“Mau tahu? Karena hatimu ada di hatiku dan hatiku ada di hatimu. Jadi aku bisa merasakan apa yang kau rasakan, yang kau inginkan, semuanya. Kau tak kan bisa menyembunyikan apapun dariku.”
“Begitu? Tapi kenapa terkadang aku tak bisa mengerti jalan pikiranmu?”
“Itu karena hatimu menolaknya. Cobalah jujur merasakan. Kau akan bisa membaca hatiku dengan jelas.”
“Mungkin benar.”
Mereka terdiam beberapa waktu. Tak lama pesanan datang dan mereka menikmati makan siang istimewa itu dalam diam. Sesekali saling mencuri tatap. Tak tahu lagi perasaan yang berkecamuk di hati mereka. Bahagia sekaligus nelangsa.
“Makanan di sini enak. Kau selalu bisa menemukan tempat-tempat yang istimewa,” kata Ara memuji saat mereka selesai makan. Faiz hanya tersenyum menatap Ara.
“Makasih ya, Iz. Sudah mengajakku ke sini.”
“Aku menyesal.”
“Maksudmu?”
“Mengapa aku baru menyadari perasaanku setelah semuanya terlambat.”
“Faiz, semua yang telah terjadi tak kan bisa kita ulang lagi. Biarlah semua berjalan sesuai aturan-Nya.”
Tak terasa sudah pukul 13.00 WIB dan tak ada tanda-tanda Faiz akan mengajaknya kembali ke kantor.
“Kita tak boleh berlama-lama di sini.”
Faiz menghela napas dalam. Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hijau elegan dari sakunya dan menyorongkannya ke arah Ara.
“Apa ini?”
“Untukmu. Tetap dengan catatan, tidak boleh menolak. Bukalah!”
Ara terbelalak melihat sebuah cincin emas putih bermata berlian yang berkilau sangat indah dan anggun.
“Ini terlalu berlebihan, Iz. Aku tak bisa menerimanya.”
“Tidak ada yang berlebihan untukmu. Ini bukan sekedar hadiah ulang tahun. Ini adalah sebuah lamaran meskipun mungkin pernikahan antara kita tak kan pernah terjadi.” Ara terkejut.
“Jangan bercanda, Iz.”
“Aku sungguh-sungguh. Setidaknya aku benar-benar pernah melamarmu, karena satu-satunya perempuan yang ingin kunikahi dengan jujur dari hati adalah kau, dan akan kubawa kenangan ini seumur hidupku.”
Ara menitikkan mata, terharu. Faiz memakaikan cincin itu di jari manis tangan kiri Ara sambil berkata, “Maukah kau menjadi istriku satu-satunya, Mutiara Maulida? Bersamaku selamanya?”
Ara semakin terguguk. Ia tak peduli lagi beberapa pengunjung dan pelayan kafe mulai memperhatikan mereka.
“Please, jawablah, Ara!”
Ara mengusap airmatanya dengan tissue. Lalu menenangkan dirinya beberapa saat.
“Faiz, tentu aku mau. Cincin ini akan mengikat diriku selamanya.”
“Tidak, Ara. Cincin itu tak kuinginkan untuk mengikatmu selamanya. Kau boleh melepasnya kapanpun kau mau, lalu simpanlah. Setidaknya aku sudah pernah memberikannya untukmu. Teruskanlah hidupmu sesuai dengan keinginanmu, dengan siapapun kau mau.”
Pedih sekali hati Ara mendengarnya. Rasanya ingin menghambur ke pelukan Faiz.
***
Selesai makan siang, Faiz memaksa Ara untuk terus dalam boncengannya sampai ­ke kantor. Ia tak mau menuruti Ara untuk menurunkannya di tempat mereka bertemu.
“Apa kata temen-temen kalau melihat kita, Iz?”
“Aku tak peduli kata mereka. Yang pasti, aku tak mau meninggalkanmu di tengah jalan.”
“Iz, makasih, ya. Untuk semuanya,” kata Ara sebelum masuk kantor.
“Faiz tersenyum mengangguk.
“Terima kasih juga kau sudah menerimanya.”
Di dekat pintu masuk gedung, Ara berpapasan dengan Fadia.
“Gimana makan siang dengan pangerannya? Tapi kok kamu pulangnya dengan Faiz, sih? Jangan-jangan….”
Ara tergeragap.
“Eh, oh, enggak, aku tadi ketemu di dekat pertigaan trus diajak barengan.”
Fadia menelisik nggak percaya. Ia lalu menarik tangan Ara ke untuk duduk di sudut ruangan yang biasa di pakai menerima tamu.
“Tunggu, kayaknya ada yang harus kamu jelaskan, deh.” Saat itulah ia melihat cincin berlian di jari manis Ara. Fadia ternganga.
“Dan cincin indah ini? Ara, kalau kau tak keberatan boleh aku tahu ada apa antara kau dan Faiz?”
“Nggak ada apa-apa kok”
“Ara, setahuku kau adalah orang yang paling nggak bisa berbohong. Ayolah, kita kan bersahabat sejak lama. Kau bisa mempercayaiku. Aku nggak akan ribut dengan siapa kau pergi seandainya bukan Faiz.”
Ara hanya menunduk.
“Jadi benar kau pergi dengan Faiz?” Ia hanya diam. “Lalu mawar itu? Dan cincin ini?” Ara hanya bisa menatap Fadia memelas.
“Ya Tuhan… Bagaimana bisa Ara.?” Mulai lagi air mata Ara merembes keluar.
“Entahlah, aku juga tak tahu. Aku belum bisa bercerita banyak sekarang. Aku janji akan cerita semuanya sama kamu.”
Saat itu, Faiz melewati pintu masuk dekat mereka duduk. Sepintas ia melihat Ara dan Fadia. Ia hendak berlalu ketika dilihatnya Ara menangis, ia malah berbelok menghampiri mereka. Ara dan Fadia terkejut.
“Ara kenapa?”
“Justru aku yang harus bertanya kepadamu, apa yang telah kau lakukan padanya?” sahut Fadia.
“Fadia… sudahlah.” Ara sangat khawatir akan mengundang perhatian teman-teman lainnya. “Faiz, tolong pergilah….”
“Asal kau tahu, Faiz. Aku takkan rela kau mempermainkan sahabatku.”
Dengan berat hati Faiz meninggalkan mereka berdua. Beberapa kali ia menengok ke arah mereka hingga ia masuk ke dalam lift.
“Kita balik ke ruangan ya… aku lelah,” kata Ara. Fadia memeluknya erat, mencoba memberikan kekuatan kepada sahabatnya itu.
***
Sementara itu, Faiz terduduk di ruangannya. Pikirannya kacau.
‘Apa benar yang telah kulakukan? Aku telah menyakiti hati selembut hati Ara. Andai aku lebih dini meyakini perasaanku padamu. Andai aku tak terburu-buru melakukan pertunangan itu. Andai aku bisa mengurangi rasa sakit dihatimu, Ara. Melihatmu menangis, membuatku ngilu.’ Faiz mengeluh dalam hati.
Sejak peristiwa di pantai itu, Faiz pun benar-benar tak bisa melupakan Ara. Ia sudah berusaha fokus untuk belajar mencintai Sarah, tapi ternyata tak bisa. Setelah pengakuan itu, cintanya pada Ara justru semakin membuncah. Pikirannya benar-benar hanya dipenuhi tentang Ara sampai ia mempunyai pikiran untuk ’melamar’ Ara. Kini ia baru menyadari bahwa itu akan membuat Ara semakin sakit. Tapi semuanya sudah terlambat.
‘Maafkan aku, Ara….’
***

Sumber gambar: www.infonajwa.com

Next: Mutiara-Mutiara #6

#odopfor99days
#day50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar