Sabtu, 26 Maret 2016

Mozaik Cinta #1

Kepingan Hati  Yang Berserak
Gadis itu membetulkan letak kerudungnya yang sebenarnya tak apa-apa. Sebuah kebiasaan bila ia merasa tak tenang atau grogi. Matanya jeli memperhatikan setiap kelebat yang melintas di sekitarnya, kentara sekali sedang menunggu seseorang. Minuman dihadapannya tinggal tersisa setengah gelas. Sementara itu makanannya baru disentuh sedikit. Sisanya hanya dimain-mainkan karena perutnya masih enggan menerima sesuatu sebelum hatinya merasa tenang.
Ia menghela napas lega ketika akhirnya yang ditunggu nampak terburu-buru menghampirinya yang telah menunggu selama 20 menit di kafe itu. 20 menit yang bagai setahun baginya. Mereka berpelukan erat, melepaskan kerinduan yang terpendam bertahun-tahun.
“Ya ampun, Ara. Sorry aku terlambat. Tadi udah mau berangkat, tiba-tiba si bos minta data. Terpaksalah kucarikan dulu. Sudah lama ya?”
“Lumayanlah. Kau masih kelihatan langsing padahal sudah punya anak. Ah, aku kangen sekali, Fadia. Lama sekali kita tak berjumpa. Tiga tahun lebih ya?”
“Iya. Kau tambah cantik dengan jilbabmu.”
Ara tersenyum.
“Bagaimana kabar teman-teman kantor?”
“Kau mampirlah ke kantor. Baik, semua baik. Ada beberapa yang baru menggantikan teman-teman yang mengundurkan diri.”
“Aku nggak bisa lama-lama, Fadia. Jadwalku ketat sekali. Habis makan siang ini aku harus mengisi seminar di hotel Mahardika. Besok siang aku sudah harus ada di Jakarta untuk bertemu dengan sesama LSM membicarakan kerjasama perbaikan lingkungan di wilayah Ujung Kulon. Makanya mumpung di sini aku sempatkan, paling tidak ketemu kamu. Habis dah kangen banget. Eh, kau pesen dulu makananmu.” 
Ara melambaikan tangan kepada pramusaji. Fadia lalu menyebutkan pesanannya.
“Sekarang kau sibuk sekali ya?”
“Seperti kubilang tadi. Tapi aku senang. Supaya aku tak punya waktu untuk melamun.” Fadia mengerutkan keningnya.
“Jangan-jangan kau masih mencintai Faiz, ya? Ya Tuhan, itu sudah lama sekali berlalu.”
Ara menghela napas.
“Aku tak bisa mencintai orang lain seperti aku mencintainya.”
“Sebenarnya hampir tak terdengar kabar lagi darinya setelah menikah dan menjalankan perusahaan papanya. Tapi belum lama ini aku mendengar kabar, ternyata dia sudah lama bercerai.”
“Apa?” Ara sangat terkejut mendengar berita tentang Faiz.
“Setelah kecelakaan yang menimpa dan membuatnya cacat.”
“Ca...cat...?” suara Ara nyaris tak terdengar bersamaan dengan air matanya yang tiba-tiba berjingkrakan di sudut matanya. “Kenapa tak pernah kau ceritakan padaku lewat email-emailmu?”
“Maaf, Ara. Aku pikir kau sudah melupakannya sebagaimana harapanku. Bagaimanapun kau harus meneruskan hidupmu sendiri.”
“Lalu dia ada dimana sekarang?”
“Entahlah. Andi bilang, ia tak tinggal dirumahnya lagi. Ia menghilang seperti ditelan bumi. Tak mau ditemui siapapun. Ia nggak pegang perusahaan papanya lagi. Katanya ia punya toko bunga yang di kelola orang lain. Ia sendiri tak pernah datang ke situ. Andi aja waktu datang ke rumahnya nanyain alamatnya yang sekarang, nggak dikasih sama mamanya. Katanya Faiz nggak mau ditemui siapapun termasuk Andi, sahabatnya. Padahal maksudnya mau memberinya semangat. Kasihan, dia.” Fadia menggenggam tangan Ara, melihat sahabatnya itu terisak lirih.
“Maaf, Ara. Aku tak menyangka sebesar itu cintamu padanya.”
Ara melihat jam tangannya sepintas. Lalu menghapus sisa-sisa air matanya.
“Sorry. Sepertinya aku harus pergi. Nanti kita lanjutkan di dunia maya, ya.”
Fadia tersenyum. Mereka berpelukan beberapa saat.
“Salam untuk suami dan anakmu ya.”
“Jaga dirimu baik-baik.” Ara mengangguk.
***
Setelah pertemuan dengan Fadia, Ara merenungkan segalanya. Kelihatannya, sebuah keputusan yang sulit harus diambilnya segera. Dan setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, ia telah memilih.
Sore itu juga, setelah bertemu dengan rekan LSM, ia kembali ke kota tempat segalanya dimulai. Pagi-pagi sekali ia mendatangi rumah Faiz untuk bertemu mamanya. Ia akan mencoba mencari tahu keberadaan Faiz.
“Ada yang bisa dibantu, nak?” tanya mama Faiz saat menemui Ara di teras rumahnya. Ara tersenyum. “Ayo silahkan duduk dulu.”
“Saya Mutiara, bu. Teman Faiz di kantor dulu.”
“O, pantesan seperti pernah lihat dimana gitu.”
“Mungkin waktu acara pertunangan Faiz dan Sarah. Saya datang waktu itu.” Ara tak tahu bahwa mama Faiz memang sering melihat dirinya di suatu tempat.
“Iya, benar. Apa yang bisa ibu lakukan untukmu, nak Mutiara.”
“Ara, bu.”
“Iya, nak Ara.”
“Kalau diijinkan, saya ingin bertemu dengan Faiz.” Mama menghela napas.
“Mungkin kau telah mendengar. Faiz sudah tidak tinggal disini lagi. Dan dia berpesan agar tak memberitahukan tempat tinggalnya pada siapapun yang berasal dari masa lalunya.” 
Termasuk akukah? Batin Ara. Tak tahukah kau aku tetap mencintaimu seperti dulu apapun keadaaanmu.
“Sebenarnya ibu juga sangat sedih dengan sikap yang diambilnya. Tapi mau bagaimana lagi. Ibu menghargai pilihannya. Dia kan memang begitu kalau punya kemauan tak mudah dibelokkan.”
“Ini sangat penting, bu. Ada sesuatu yang harus saya selesaikan dengan Faiz.”
“Kalau boleh tahu apa yang harus diselesaikan antara nak Ara dan Faiz? Barangkali ibu bisa membantu.”
“Maaf, bu. Saya belum bisa menceritakannya sebelum bertemu dengannya.”
“Sungguh, nak. Ibu tak bisa memberitahumu. Mungkin nak Ara bisa meninggalkan no telepon. Nanti akan saya sampaikan pada Faiz. Atau coba ibu telpon Faiz sekarang, siapa tahu ia berubah pikiran untuk bertemu denganmu.”  Mama kemudian memencet no telepon Faiz. Ara seketika mengejang. Akankah ia akan bertemu dengan lelaki yang senantiasa dirindukannya itu?
“Sayang sekali, nak. Tidak diangkat. Mungkin ia sedang keluar rumah dan hpnya ditinggal. Ia memang suka begitu sekarang. Tak terlalu peduli dengan hp.” Ara langsung lunglai. Ia lalu menyobek kertas dari dalam tasnya dan menuliskan no teleponnya. Meskipun Faiz pasti punya nomornya itu. Tapi siapa tahu Faiz juga sudah membuangnya bersama kenangannya.
“Baiklah, bu. Ini nomor telepon saya. Siapa tahu Faiz mau menghubungi saya. Karena saya tak bisa menghubunginya lagi dengan nomor lamanya.”
“Iya, nak. Nomor lamanya sudah tidak aktif.”
“Baiklah, bu. Saya permisi dulu. Terima kasih.”
“Maaf sekali ya, nak. Mudah-mudahan Faiz segera menghubungimu.”
Sayang sekali, sebelum mama menyimpan kertas berisi nomor telepon Ara, tak lama setelah Ara pamit, cucu kecilnya yang sedang lincah-lincahnya datang. Anak kakaknya Faiz. Dan kertas itu entah bagaimana segera menjadi mainan si kecil, tak lama kemudian hancur berkeping-keping. Mama telat menyadarinya dan merasa sangat menyesal. Ia langsung terbayang betapa kecewanya gadis itu bila tak bisa bertemu dengan Faiz. 
Ia juga sangat penasaran sekali mengapa saat melihatnya pertama, ia merasa telah mengenalnya sejak lama.
***

Note: Mozaik Cinta merupakan babak ke dua dari serial Mutiara-mutiara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar