Sabtu, 05 Maret 2016

Mutiara-mutiara #3

Cerita sebelumnya :Mutiara-mutiara #2

3. Desing sunyi

Ara mencoba mencari kebenaran di hatinya bahwa Faiz memang bukan siapa-siapa, tapi tak bisa. Entahlah, sepertinya Faiz menjadi begitu penting baginya. Seolah hidupnya terasa sunyi bila ia tak ada.

Malam setelah pertunangan Faiz, tak sedikitpun Ara bisa memejamkan mata. Sibuk bertengkar dengan suara hatinya. Ada apa sebenarnya dengan hatinya. Dan setelah pergumulan batin yang alot, dengan getir Ara terpaksa mengakui, ada sebuah rasa yang indah terukir diam-diam di hatinya. Untuk Faiz. Sebuah kesadaran yang terlambat. Pedihnya lagi bila ia ingat kerlip bintang di mata Faiz malam itu. Mungkinkah Faiz juga memiliki perasaan yang sama? Tapi bukankah ia sudah bertunangan dengan orang lain? Jika ia tidak mencintai Sarah, kenapa terjadi pertunangan? Ah, mungkin ini hanya sebuah rasa yang tak akan berbalas. Cinta sebelah tangan. Menjelang fajar, Ara baru bisa tertidur kelelahan.
###
Senin pagi.
“Kau tampak lelah dan kurang tidur, Ara?” sapa Faiz saat mereka berdua berpapasan dekat pintu gerbang kantor.
Tentu saja, sejak di malam ia menyadari perasaan sesungguhnya terhadap Faiz, Ara jadi susah tidur.
“Ah, enggak. Eh, sorry. Aku mesti buru-buru. Ada kerjaan yang harus segera kuselesaikan. Aku duluan ya?”
“Oke.” kata Faiz setengah ragu, merasa aneh dengan sikap Ara yang terkesan tiba-tiba menghindar. Sepintas Ara menangkap lintasan kecewa di mata Faiz. Ara berusaha tak peduli. Ia langsung bergegas meninggalkan Faiz yang terbengong-bengong.
###
“Ara, ntar sore ada rapat koordinasi internal di lantai tiga,” kata Fadia saat melihat Ara datang.
“Oke” Ara menyahut singkat. Ah, pertemuan yang terlalu cepat, pikir Ara. Aku sedang tak ingin bertemu dengannya.
Dan semenjak itu, Ara selalu terlihat sibuk meskipun terkadang hanya berpura-pura kelihatan sibuk untuk menghindari pertemuan dengan Faiz. Faiz jadi sering kecewa tak punya kesempatan lagi menjahili Ara. Dan akhirnya, entah sejak kapan, perang dingin di antara keduanya di mulai.
“Kalian ini kenapa sih? Kok jadi diem-dieman begitu?” kata Fadia yang menyadari perubahan itu. Selama ini Ara pandai membungkus kerenggangan hubungannya dengan Faiz dengan senantiasa berkilah sibuk. Tak ada yang curiga. Tapi Fadia ternyata tak mudah tertipu.
“Kayaknya udah lama kalian nggak berantem deh.”
“Kau ini aneh. Orang lagi damai malah disuruh berantem.”
“Eh, tapi sepi juga kalau nggak denger pertengkaran kalian itu. Ada apa sih, Ra?”
“Nggak ada apa-apa kok. Lagi pada sibuk kali.”
“Bener nih?”
“He eh. Kalau pengen rame ya sekali-sekali kau sendiri yang berantem sama dia.” Fadia terkekeh.
Sesungguhnya Fadia benar. Tak ada lagi diskusi hangat. Tak ada lagi kejahilan. Kaku. Dingin. Dan hari-hari Ara mendadak akrab dengan sunyi. Betapa Ara sesungguhnya sangat merindukan semuanya kembali seperti biasa.
###
Faiz memandangi punggung Ara yang baru saja berlalu di hadapannya. Tak ada sapa hangat. Hanya senyum tipis, kemudian berlalu tanpa kata. Selalu begitu. Memang Ara masih mau berbicara padanya saat berada dalam rapat. Itupun terasa sangat formal. Tanpa candaan seperti biasa mereka lakukan setiap rapat. Dudukpun mereka berdua tak pernah lagi berdekatan. Faiz tak pernah mengerti. Mengapa semua berubah tiba-tiba. Ara begitu jauh baginya, meski bayangan dirinya berseliweran setiap hari disekitarnya. Dan Faiz merasakan sesuatu yang hilang di hatinya. Sesuatu yang iapun tahu itu apa.
‘Apakah karena pertunanganku? Batin Faiz. Tapi mengapa? Apakah Ara…..? Ah tak mungkin.’ Faiz mengeluh dalam hati. Gelisah menggulung setiap jengkal langkahnya. Betapa Faiz pun rindu semua kembali seperti biasa. Hari hari penuh debat, hari-hari penuh senyum dan canda, sesekali diselingi bibir merah Ara yang manyun yang jengkel akibat keusilannya. Ingin sungguh ia bertanya apa salahnya sehingga Ara menjauhinya.
Sayangnya Faiz tak mengerti harus mulai dari mana. Sendinya terasa kaku dan lidahnya pun kelu melihat kesan forbidden yang dilemparkan Ara setiap kali bertemu. Dan pada akhirnya, kebekuan memang harus dilaluinya tanpa bisa ditolak. Beku yang sepi.
***

Next: Mutiara-mutiara #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar