Sabtu, 19 Maret 2016

Mutiara-mutiara #8

Cerita sebelumnya: Mutiara-mutiara #7

Pulang
Hari pertama Ara kembali ke kantor.
Setelah enam bulan mengikuti kursus di Jepang, hari ini Ara kembali ke kantor. Rekan-rekannya menyambut dengan suka cita termasuk Faiz. Kerinduan terpancar jelas di matanya. Begitupun Ara. Tapi Ara berusaha menetralisir perasaannya sebagaimana telah ia latih selama di Jepang. Meski nyatanya tak mudah bila harus bertemu secara langsung dengan Faiz.
Sayangnya hari pertama yang penuh keceriaan itu tiba-tiba rusak saat mendekati jam pulang kantor, Ara mendengar celotehan rekan-rekannya yang sedang menggoda Faiz. 
“Iz, kenapa undangannya tak segera dibagikan?” Faiz sempat terkejut melihat Ara melintas di dekat mereka. Ia pasti mendengarnya. Faiz panik dan ingin sekali menarik Ara keluar untuk menjelaskan semuanya. Namun kakinya bagai tertahan.
“Eh, belum sempat aja. Besok masih ada waktu. Aku masih ada kerjaan nih.”
“Sini, aku bantuin bagikan,” kata salah seorang cowok-cowok yang mengerubungi Faiz.
Ara seperti tersambar petir. ‘Ya Tuhan mengapa harus di hari ini aku mendengarnya? Aku belum siap.’
Faiz sempat melihat perubahan raut muka Ara.
Tak tahan dengan gejolak di hatinya yang tiba-tiba menggelegak tak terbendung, Ara minta ijin pimpinannya untuk pulang duluan.
Ara bergegas menggeber motornya menuju pinggir kota. Tempat yang sangat dirindukannya selama di Jepang. Meskipun ia telah berjanji untuk tak ke sana sendirian. Kini janji itu tak lagi ia pedulikan. Semuanya telah selesai baginya dan itu berarti janjinya telah batal.
Gemuruh ombak menyambutnya. Setelah memarkir motornya di tempat penitipan, ia berjalan tanpa menoleh ke tempat ia berharap bisa menemukan dunia miliknya. Hanya sedikit orang yang menikmati sore di tepi pantai ini. Masih dua jam lagi matahari akan bersiap ke peraduan.
Ara menjauh dari tempat orang-orang biasa duduk-duduk. Ia menuju tempat yang lebih sepi kemudian dengan hati-hati menyusuri karang-karang terjal. Akhirnya sampai juga ia di tempat ia pernah membangun dunia bersama Faiz. Ceruk eksotis julukan yang ia berikan.
Disanalah ia akhirnya menangis. Menumpahkan semua beban dihatinya tanpa tertahankan. Debur ombak seperti berusaha meredam tangisnya. Sampai ia merasa lega. Ara tetap termenung di sana, melihat arak-arakan awan yang seperti menghiburnya. Sesekali gumpalan awan putih itu menyerupai bentuk-bentuk binatang atau benda-benda lain. Ara terbawa ke alam pikirannya sendiri hingga tak menyadari, sejak tadi seseorang telah memperhatikannya diam-diam. Ia sangat terkejut ketika sebuah suara menegurnya.
“Sudah kuduga engkau pasti akan kesini. Sudah nangisnya?” Ara nyaris terlompat.
“Faiz? Bagaimana kau bisa tahu aku di sini?”
“Kau melanggar janjimu.”
“Aku tak peduli lagi janji itu.”
“Aku tahu. Aku sempat melihat perubahan wajahmu saat mendengar Andi berbicara soal undangan pernikahanku. Aku berusaha mengikutimu. Dan benar dugaanku kau pasti ada di sini.”
Faiz meraih jemari Ara dan menggenggamnya lembut. Ara bagai tersedak. Bongkahan rasa itu begitu sesak.
“Maafkan aku, Ara. Kadang aku berpikir seandainya aku bisa menjadi seorang pecundang lalu dengan mudah meninggalkan ikatan yang sudah terjadi dan mengejar mimpi bersamamu. Tapi aku tak pernah bisa. Aku terlalu takut membawamu kedalam lingkaran penolakan dan kebencian di keluargaku. Aku tak sanggup jika seumur hidupmu akan terkucilkan dari mereka. Kini baru kusadar kalau aku ternyata telah menjadi seorang pecundang besar yang tak berani memperjuangkan kebahagiaan untuk gadis yang sangat aku cintai.”
Ara kembali melelehkan kristal-kristal di matanya.
“Sebenarnya hari ini adalah hari yang dijadwalkan keluargaku untuk menyebarkan undangan pernikahanku. Tapi aku tahu, hari ini adalah hari kepulanganmu, hari pertamamu masuk kantor. Aku tak ingin merusaknya. Aku ingin menikmati senyum ceriamu yang selalu kurindukan. Maka undangan itu hanya kusimpan dalam laciku sampai Andi tak sengaja melihatnya. Maafkan aku, Ara. Aku merusak semuanya bahkan sejak awal.”
Faiz tak dapat menahan diri untuk memeluk Ara. Kerinduan dan belas kasihnya melihat penderitaan Ara mengalahkan segalanya. Ara tergugu.
Lalu seperti biasanya bila mereka berdekatan, dunia berhenti berputar. Menciptakan dunia milik mereka. Yang kini tak seindah biasanya, debu-debu seperti beterbangan dengan bebasnya membuat dunia indah itu menjadi suram, menciptakan sesak didadanya. Ara melepaskan pelukan Faiz.
“Kalau begitu aku harus mengucapkan selamat atas pernikahanmu.”
“Mengapa kau ucapkan selamat atas kehancuran hati kita, Ara?”
“Lalu apa yang harus kuucapkan?”
“Entahlah.”
“Ara, sudah hampir gelap. Kita pulang ya.”
“Aku masih ingin disini.”
“Menikmati dunia kita?”
Ara terkejut.
“Kau? Kau juga bisa merasakannya?”
“Tentu saja. Bersamamu selalu tercipta dunia milik kita yang kurasa hanya kita yang bisa merasakannya. Dimanapun aku, siapapun yang memiliki ragaku, engkau tetap menjadi mutiara yang bersinar dihatiku, Ara. Aku berharap suatu saat engkau akan menemukan seseorang yang lebih segalanya dariku.”
“Kau yakin aku bisa?”
“Harus bisa. Dan kumohon, berjanjilah sekali lagi untuk tak ke sini sendirian. Sangat berbahaya. Dan aku takkan memaafkan diriku kalau terjadi sesuatu denganmu di sini karena itu berarti aku yang telah mengantarmu pada bahaya. Karena aku yang mengenalkanmu pada tempat ini.”
Dengan berat hati Ara mengangguk. Sekali lagi mereka saling bersitatap. Begitu lekat seolah itulah saat terakhir mereka bisa bersama.
Mereka lalu meninggalkan ceruk itu dengan langkah gontai bagai kehilangan semua semangat yang belum lama membuncah. Semburat senja mengiringi kesedihan yang tertelan dalam diam. Esok, mungkin tak ada lagi senyum itu, keusilan itu, dan semua kenangan romantis lainnya. Ara hanya berharap, waktu bisa menyembuhkan luka di hatinya hingga suatu saat nanti ia bisa tersenyum kembali seperti matahari terbit esok hari.
***
Akhir babak I. Bersambung ke Babak II, Mozaik Cinta

Sumber gambar: www.dailysilfia.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar