Sabtu, 12 Maret 2016

Mutiara-mutiara #6

Cerita sebelumnya: Mutiara-mutiara #5

Biarkan Aku Pergi
Ara sangat menyadari sejak dulu Faiz bukan miliknya. Semakin kebahagiaan ia cicipi saat berdekatan dengan Faiz, semakin dalam luka menancap di palung hatinya. Lagi-lagi ia tak bisa menolak ajakan makan siang Faiz. Di kafe yang sama, bertemu di tempat yang sama.
“Kau masih memakainya, Ara?” kata Faiz ketika melihat cincin berlian pemberiannya masih tersemat di jari manis Ara.
“Engkau telah memakaikannya untukku. Apapun yang terjadi, aku takkan pernah melepasnya.”
“Tidak. Bukan itu yang kuinginkan.”
“Ia telah mengikat hatiku selamanya.”
“Ara, jangan biarkan aku menyesal telah melakukannya. Aku hanya ingin memiliki kenangan terindah bersamamu.”
“Kau telah memilikinya. Aku juga. Aku tak memintamu melakukan apapun atau menyesali segala yang telah kau lakukan. Ini pilihan yang kuambil dengan sadar.”
Faiz tak kuasa menahan sakitnya darah yang melumuri luka hatinya.
“Apa yang dikatakan Fadia, Ara?”
“Sejak lama ia sudah curiga sesuatu terjadi antara kita. Tapi karena aku selalu bisa memberinya penjelasan yang masuk akal, dia masih percaya. Apalagi, pikirnya nggak mungkin karena kau sudah bertunangan. Namun hari itu, aku benar-benar tak bisa lagi mengelak dengan segala kenyataan yang ada.”
“Kau mengaku?”Faiz tampak khawatir.
“Tadinya tidak, tapi Fadia terus mencecarku dengan bukti-bukti, dan… cincin itu… aku tak bisa mengelaknya lagi.”
“Maafkan aku, Ara, telah melibatkanmu dalam masalah yang rumit.”
“Berapa kali harus kubilang. Tak ada yang salah, Faiz. Lagipula kau tak usah khawatir, Fadia bisa menjaga rahasia kita.”
Pulang dari kafe, belum lima menit mereka di atas motor, gerimis tiba-tiba mengguyur. Faiz membelokkan motornya ke sebuah halte yang kebetulan sepi. Mereka berdua duduk bersisian menikmati derai. Ara sedikit menggigil karena dingin. Buru-buru Faiz melepaskan jaketnya dan memakaikannya untuk Ara.
“Thanks, tapi kau jadi kedinginan,” kata Ara.
“Tidak dengan hati sehangat ini.”
“Kurasa, kita nggak bisa seperti ini terus, Iz.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan?”
Ara tak menjawab. Hening beberapa lama. Menyelami pikiran masing-masing.
“Sudah berhenti hujannya. Kita balik yuk. Please, kali ini turunkan aku di luar kantor ya?”
Faiz tetap menggeleng. Sekali lagi dan selalu, Ara tak bisa memaksa.
***
Ara merasa akan terperangkap semakin jauh. Masalahnya dengan Faiz akan semakin pelik jika dibiarkan. Ia memilih untuk mencari cara agar bisa berjauhan dengan Faiz dalam wcara yang lama tanpa kentara. Keluar dari kantor rasanya bukan sebuah pilihan untuknya saat ini. Ara lebih memilih mengikuti short course beberapa bulan. Diam-diam ia sibuk berburu shortcourse di luar negeri. Dan hari ini ia berdiri di bandara bersiap menuju Tokyo. Keluarga dan teman-teman dekatnya mengantarkannya. Faiz juga. Ketika ia berkesempatan bisa berdua sesaat dengan Faiz, ia hampir tak bisa berkata.
“Kenapa, Ara?” gumam Faiz nyaris berbisik.
“Aku harus menata hatiku. Siapa tahu dalam 6 bulan ini aku bisa melupakan perasaanku,” kata Ara tak kalah lirihnya nyaris tersedak oleh air matanya yang berontak mau keluar.
“Maafkan aku, Ara.”
“Bukan salahmu. Tapi aku punya satu permintaan. Berjanjilah untuk memenuhinya.”
“Apapun untukmu.”
“Jangan menghubungiku sekalipun. Sampai aku pulang.”
Faiz terhenyak. “Haruskah? Lalu bagaimana bila aku tak tahan lagi menahan rinduku?”
“Kau harus bisa. Pasti bisa. Aku... aku juga pasti bisa.”
Ara menatap Faiz pilu. “Please!?”
Faiz melihat kesungguhan dimata Ara.
“Baiklah, jika itu akan membuatmu bahagia.”
“Kau tahu aku tidak akan bahagia karenanya. Aku cukup bahagia dengan kenanganmu bersamaku.”
Faiz paham apa yang dimaksudkan Ara. Ia melirik cincin pemberiannya di jari manis Ara. Hatinya makin retak bernanah-nanah.
Obrolan mereka terputus oleh panggilan kepada penumpang yang akan ke Tokyo agar memasuki ruang tunggu.
“Berjanjilah, Faiz.” Kata Ara sambil bersiap mengambil barang-barangnya.
“Baiklah. Jaga dirimu disana ya. Aku akan menunggumu.”
“Tidak. Jangan menungguku. Ada seseorang yang lebih berhak bersamamu.”
Ara tersenyum terpaksa dan melambaikan tangan sambil berlalu meninggalkan Faiz. Sebisa mungkin ia menahan gejolak didadanya agar tak sampai menitikkan air mata. Berhari-hari ia sudah membayangkan perpisahan ini.
Ara menumpahkan rasa begitu duduk di pesawat. Tak peduli penumpang di sebelahnya melihatnya penuh tanya. Baginya, semua sudah berakhir, setidaknya untuk sementara ini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar