Minggu, 06 Maret 2016

Mutiara-mutiara #4

Cerita sebelumnya: Mutiara-mutiara #3

Nyanyian Ombak
Betapa kesalnya Ara. Seharian ia terpaksa harus berdekatan terus dengan Faiz. Kantor mereka sedang mengadakan rapat koordinasi dan gathering selama tiga hari di hotel pinggiran kota dekat pantai. Kegiatan pada hari kedua adalah outbond. Pagi-pagi setelah senam bersama dan sarapan pagi, mereka bermain paint ball. Ara dan Faiz tergabung dalam satu kelompok. Ara tak terlalu peduli karena paint ball yang notabene permainan perang-perangan, sifatnya berpencar dan tak memerlukan kedekatan intens. Sebaliknya pada kegiatan berikutnya, yaitu arung jeram di sungai yang dingin, Ara merasa merana saat harus menjadi satu perahu bersama Faiz. 
‘Siapa pula yang punya kerjaan memasangkan aku dengan Faiz terus, sih,’ batin Ara kesal. Faiz tersenyum ditahan melihat wajah kesal Ara. Sungguh ia ingin sekali menjahilinya saat itu, seandainya ia tak ingat sikap Ara yang dingin akhir-akhir ini.
Perjalanan perahu mereka mulanya aman-aman saja. Begitu memasuki jeram yang semakin deras, perahu karet mereka terbalik, reflek Faiz menarik tubuh Ara yang memang tidak bisa berenang, tak menunggu pembimbing mereka yang melakukannya sehingga Ara tak sempat kemasukan air terlalu banyak. Tubuh Ara bergetar karenanya. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih lanjut, mereka harus segera naik perahu lagi melanjutkan perjalanan. 
“Makasih ya, Iz,” ucap Ara setelah mereka selesai mengarungi  jeram yang lumayan menantang, khususnya bagi pemula seperti Ara. Faiz tersenyum. Sungguh banyak kata yang ingin ia ucapkan. Kata yang selama ini terpendam tak tersampaikan.
“Sama-sama,” hanya itu yang terlontar dari mulutnya. Kemudian mereka tenggelam dalam hening lagi.
Dalam permainan outbond terakhir, tocxic waste, merekapun tetap dalam satu kelompok. Permainan berupa upaya memindahkan limbah beracun ke dalam wadah dengan peralatan minim itu, memerlukan teknik, kejelian dan pengambilan keputusan yang cepat. Seperti biasa seperti halnya di kantor, Faiz mengambil inisiatif untuk memimpin kelompok mereka sampai akhirnya membawa kelompok mereka meraih kemenangan. Saat itu Faiz dan Ara benar-benar lupa dengan kebekuan yang terjadi antara mereka selama ini. Sayang setelah acara selesai. Kebekuan dengan cepat kembali mencengkeram.
###
Pagi keesokan harinya, selepas sholat shubuh, Ara ingin sekali mengusir resahnya dengan menyusuri pantai sendirian. Hari masih cukup gelap. Ia yakin teman-temannya tengah kelelahan dan tak berminat menikmati irama ombak atau bermain pasir pagi-pagi setelah seluruh rangkaian kegiatan outbond hari sebelumnya ditambah malam penutupan dan api unggun sampai larut. Jadi ia sangat yakin tak akan bertemu banyak orang apalagi teman-temannya di pantai itu. Ternyata ia salah mengira. Ketika remang perlahan menghilang, beberapa orang asing telah berada di situ. Lebih terkejut lagi saat melihat lelaki tegap yang berdiri tak jauh di depannya. Faiz. Ara terlambat menyadarinya dan tak sempat berbalik arah ketika Faiz terlanjur melihatnya.
“Kenapa ke sini, Ara?” tanya Faiz bernada menggoda. Ara tak tahu bahwa sebenarnya Faiz memang sengaja menunggu Ara di situ. Ia yakin Ara tak akan melewatkan pagi nan sunyi di pantai dan berharap akan bertemu Ara di situ 
 sekedar melepaskan kerinduan yang membebat hatinya. Ia tahu benar siapa Ara.  Tapi ia tak tahan untuk tak menjahili Ara. “Mau nemenin aku ya? Kangen?”
“Ih siapa juga yang mau nemenin kamu. Mana aku tahu kamu ada di sini. Pantai ini untuk umum, bukan pantaimu. Ya sudah aku cari tempat lain yang nggak ada orang usil seperti kamu.”
Ara berkata kesal. Padahal sesungguhnya ada yang bergetar. Geliat riang menciap di hatinya melihat Faiz. Tapi hatinya juga mendadak pilu dengan pertemuan itu. Secepatnya ia berbalik menjauhi Faiz mencari tempat sepi untuk menyembunyikan butiran kristal yang tiba-tiba ingin menyeruak di sudut matanya.
Faiz kembali menelan kecewa. Tapi kali ini ia tak ingin membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Matanya mengikuti kemana Ara melangkah kemudian diam-diam ia mengikutinya. 
Ara tengah menatap langit bersemburat merah sambil menahan sesaknya di sudut pantai yang sepi, sendirian. Ketika Faiz tiba-tiba muncul di sisinya, dengan cepat ia mengusap butiran kristal bening yang sempat jatuh tak tertahankan.
“Buat apa kau mengikutiku?”
“Tempat ini tak nyaman untuk melampiaskan kesal.” Faiz seperti tak peduli dengan ucapan Ara. “Kau mau aku tunjukkan tempat yang pas untukmu saat ini?” 
Dan tanpa menunggu persetujuan Ara, Faiz menarik tangan Ara untuk mengikutinya. Sedetik ia hendak menolak, tapi entah kenapa ia pasrah Faiz menggandeng tangannya menuju suatu tempat yang tak terlalu jauh dari situ. Makin sunyi pantainya, makin banyak karang-karang besar hingga mereka tiba di sebuah tempat penuh karang yang tersembunyi sehingga mirip gua di sisi lain pantai itu. Faiz membantunya menuruni dan memanjat karang-karang yang memang berliku dan terjal sampai mereka tiba di sebuah tempat yang benar-benar pas untuk melarung lara. Dari situ, riuhnya ombak seperti memiliki daya magis untuk menghempas semua kesal atau marah setiap orang yang mendengarnya. Ara terpaku takjub melihat keindahan di hadapannya. Untuk beberapa saat ia tak sanggup berkata. Kemudian ia berkecipak memainkan air laut sambil tersenyum. Faiz memandangnya lekat. Sudah lama ia tak melihat senyum lepas Ara. Ia rindu itu. Ia lalu mendekatinya. Ara menoleh dan berkata,
“Aku tak menyangka kamu bisa menemukan tempat seeksotis ini.” Faiz tersenyum. “Tapi mengapa tak ada yang kemari? Sungguh bodoh bila tempat ini tak dimanfaatkan.”
“Tak semua orang tahu tempat ini. Kau tahu sendiri bagaimana perjalanan kemari. Dan tak semua orang suka tempat model begini.”
“Dan kau..? Bagaimana kau bisa tahu tempat ini?” Ara tak habis mengerti.
“Berarti kamu belum mengenalku seutuhnya,” kata Faiz. Mendadak Ara seperti diingatkan pada galau yang sedang berkecamuk dihatinya.
“Aku memang tak pernah bisa memahamimu,” kata Ara hampir seperti keluhan.
“Kamu marah padaku, Ara? Akhir-akhir ini kamu selalu menghindariku.”
“Entahlah? Aku tak pernah bisa benar-benar marah padamu.”
“Meskipun aku telah amat menyakitimu?”
Ara mengangguk kelu.
“Kalau begitu, maafkan aku, Ara. Untuk semua kata-kata dan perbuatanku yang telah menyakitimu.”
“Maafmu kuterima karena telah menunjukkan tempat ini padaku,” Ara tersenyum.
Debur ombak yang tiba-tiba cukup besar menghempas karang besar dihadapan mereka dan menyisakan percikan di wajah mereka. Ara mundur beberapa langkah sehingga membuatnya hanya berjarak tak lebih dari selangkah dengan Faiz. Sontak kedua pasang mata itu bertemu dan seakan enggan beralih. Beberapa detik tatapan kedua pasang mata itu mentransfer ribuan kata dan rasa yang selama ini terpendam. Hempasan ombak berikutnya membangunkan mereka dari keterpakuan.
“Sebentar lagi air pasang akan merendam ceruk ini. Kita harus segera pergi dari sini, Ara,” kata Faiz.
“Sayang sekali. Aku masih ingin berlama-lama di sini.”
“Kapan-kapan kita masih bisa ke sini.” Ara menoleh pada Faiz, seolah mencari kebenaran kata-kata itu.
“Masih bisakah kita, Faiz?” Faiz tak menjawab. Ia menatap lekat mata Ara. Tiba-tiba ia menarik Ara ke dalam pelukannya sambil berbisik di telinganya.
“Ijinkan sekali ini saja aku memelukmu, Ara.”
Tubuh Ara menegang. Ia tak menyangka akan diperlakukan Faiz seperti itu. Namun demi mendengar kata-kata Faiz yang sangat lembut penuh harap, kekakuan tubuhnya mengendur. Dunia seakan berhenti berdenyut. Sebentar kemudian mereka seperti terbang ke dunia impian. Meniti pelangi dengan sejuta warna yang menghempaskan mereka pada sebuah padang harapan. Dunia yang hanya mereka yang bisa merasakan. Degub jantung mereka berpacu lalu tenang melembut seolah menyatu, seirama. Mereka saling memejamkan mata, meresapi buncahan kebahagiaan tak bertepi.
Tanpa kata-kata, kini mereka mengerti bahwa mereka saling mencintai. Cinta yang tak begitu saja tersingkir oleh sebuah ikatan pertunangan.
‘Apakah ini mimpi?’ batin Ara nyeri. Kalau ini mimpi tolong jangan pernah bangunkan aku, Tuhan. Aku ingin menikmatinya selamanya.’
“Kadang aku berpikir, mengapa kita bertemu untuk tak bersatu. Sementara aku begitu menginginkanmu,” ucap Faiz seperti keluhan.
Faiz menengadahkan wajah Ara lembut.
“Katakanlah kaupun ingin bersamaku, Ara.”
“Faiz, aku ingin. Sangat ingin. Tapi… bagaimana bisa?”
“Kita bisa pergi berdua, meninggalkan semuanya kalau kau mau.”
“Apa itu yang benar-benar kau inginkan? Tidak. Faiz yang kukenal bukan seperti itu. Dan aku tak ingin merubahnya. Kau harus menyelesaikan apa yang telah kau mulai. Biarlah semua berjalan seperti yang seharusnya. Akan terlalu banyak yang dikecewakan untuk meraih kebersamaan kita.”
Dan itulah yang membuatku ingin menjauhimu selama ini. Tambah Ara dalam hati. Mencoba mengendalikan perasaan yang tak penah mengerti sebuah ikatan telah terjalin. Dan ia tak kan mungkin melepas ikatan itu.
“Aku ingin kau berjanji padaku, Ara.” Ara mengerutkan keningnya.
“Berjanjilah untuk tak datang ke sini sendiri. Sangat berbahaya.”
“Lalu aku harus pergi sama siapa kalau ingin ke sini?”
“Terserah kau asal jangan sendiri. Kalau perlu aku akan mengantarmu kapanpun kau mau.”
Ara tertawa getir.
“Trus Sarah mau dikemanain?”
Faiz menatap mata Ara, merana dan sekali lagi memeluknya erat. Melambungkan semua angannya tentang segala mimpi indah bersama. Meluruhkan sejenak segala penghalang diantara mereka. Faiz dan Ara tak pernah menyadari, mereka telah membuka tirai kebahagiaan semu di atas penderitaan batin yang menyesakkan.
***
Sumber gambar: www.nendensaraswati.wordpress.com

next: Mutiara-mutiara #5

2 komentar:

  1. Buk'e, cerita ini pernah tayang di lapak rombongan sebelah ya? Salam kenal dari Jepang....

    BalasHapus
  2. Iyaa... Edisi revisi sekaligus melanjutkan babak ke 3 nya nanti, In sya Allah.
    Salam kenal kembali. Terima kasih sudah berkenan mampir

    BalasHapus