Minggu, 27 Maret 2016

Mozaik Cinta #2

Mozaik Cinta #1

Kampung Pelarian
Ara tak tenang hanya menunggu. Ia ingat perkataan Fadia bahwa Faiz mempunyai toko bunga di kota ini. Maka ia menjelajahi pertokoan bunga yang ada. Disetiap toko yang disinggahi, ia bertanya siapa pemiliknya. Entah berapa kali ia menelan kecewa saat mengetahui pemilik toko bukanlah Faiz.
‘Dimanakah kau, Faiz?’ Ara mengeluh dalam hati. Tak dipedulikannya keringat yang bercucuran, atau perutnya yang mulai mengeluarkan bunyi-bunyian. 
“Memangnya Eneng sedang mencari siapa?” tanya salah seorang penjaga toko bunga yang ditanyai. Mungkin heran dengannya yang bukannya membeli bunga malah bertanya siapa pemilik toko. Ara tersenyum memelas.
“Saya sedang mencari sahabat saya yang sudah lama hilang kontak. Kata seorang teman, dia memiliki toko bunga di daerah sini.”
“Namanya siapa, Neng? Siapa tahu saya kenal.” Si abang penjaga toko yang berambut gondrong dikuncir itu, sepertinya tulus ingin membantu. Barangkali tak tega melihat wajah Ara yang mulai pucat kelelahan dengan keringat yang terus bercucuran. “Saya kenal hampir semua pemilik toko bunga di sini.”
“ Namanya Faiz, Bang.”
“We lha dalah, cowok, to?” si abang itu tersenyum menggoda. Ara hanya bisa tersenyum malu.
“Kalau gitu pasti bukan sahabat. Pacarnya ya, Neng?” Sekali lagi Ara hanya tersenyum, pahit.
“Tapi sepertinya saya nggak pernah dengar nama itu, Neng.” Ara langsung mengkerut, sedih.
“Tapi siapa tahu memang ada mas nya itu dan saya tidak kenal.” Si Abang berusaha menghibur Ara yang tampak sangat kecewa.”Iya, Bang. Saya mau bertanya ke toko yang lain dulu. Terima kasih.”
“Kalau nanti nggak ketemu juga, di sini banyak yang masih jomblo lo, mbak. Daripada susah-susah nyari yang nggak ada. Ups, maaf.” Si Abang menutup mulutnya karena sudah terlanjur lancang menggoda Ara.
“Maaf, Neng.”
“Iya, Bang. Nggak pa-pa. Mari!”
“Mari, Neng!”
Sekali lagi Ara mengedarkan pandangan menyisir deretan toko-toko bunga yang berjajar rapi. Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah toko yang cukup besar dan apik. Toko itu bernama EKSOTIS. Ingatannya melayang pada suatu senja di ceruk eksotis. Saat terakhir kali ia berdekatan dengan Faiz. Buru-buru ditepiskannya kenangan itu. Ia segera menuju ke toko yang kelihatan berbeda dari yang lain. Bunga-bunga yang dijual juga lebih lengkap, dan mawar putih itu….mendominasi toko itu. Angannya kembali melayang pada 3 tahun silam. Setangkai mawar putih pemberian Faiz masih tersimpan di kamarnya meskipun telah kering. 
Kali ini Ara membeli beberapa tangkai mawar putih sebelum ia menanyakan siapa pemilik toko itu. Sayang sekali, yang disebutkan si penjaga bukan pula nama Faiz tapi nama seorang perempuan. Entah kenapa, Ara tetap merasa yakin, inilah toko yang ia cari. Barangkali Faiz pun tak ingin orang lain tahu ialah pemilik toko itu, jadi ia bisa saja menggunakan nama mamanya atau kakaknya. Bukankah Faiz punyak kakak perempuan. 
“Apakah pemilik toko ini punya seorang anak laki-laki?” tanya Faiz kembali, penuh harap.
“Emm… benar, Neng. Malah ia yang membantu mengurusi kebunnya. Kalau yang sering mengawasi toko ya bu Dahlia.” Darah Ara berdesir lembut.
“Apakah … emm...?” bibir Ara bergetar hendak menyebut nama nama Faiz. Sekejap kemudian ia teringat, Faiz tak ingin berhubungan dengan semua yang ia kenal. Ia telan kembali pertanyaannya.
“Eh, kenapa kak?” si embak penjaga toko itu bingung melihat Ara ragu-ragu bertanya.
“Oh, anu, bolehkah saya tahu dimana kebun bunga yang menyuplai toko ini. Saya tertarik sekali. Toko ini tampak berbeda dengan yang lain. Bunganya cukup lengkap dan segar-segar. Tentu menyenangkan bisa berjalan-jalan cuci mata ke sana.”
Maka sebuah nama desa yang sangat terpencil berada dalam genggaman Ara. Beberapa toko sempat ia datangi untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa feelingnya benar.
Seperti tak ingin membuang waktu sedikitpun, Ara segera mencari penyewaan mobil. Ia hanya beristirahat sholat dan makan siang sebentar lalu segera meluncur menuju sebuah desa yang dikatakan sama si embak penjaga toko Eksotis. Tiga jam perjalanan ke sana membuat Ara tak bisa berhenti memikirkan Faiz. Bayang wajahnya seolah lekat dimatanya. Jika tak sedang menyetir, mungkin ia sudah semakin dalam masuk dalam lamunannya.
Memasuki desa yang dituju, ia menanyakan letak kebun bunga yang ternyata cuma satu-satunya di desa itu.
“Apakah pemiliknya bernama pak Faiz?”
“Benar neng.” Rasanya seperti siraman air telaga dihatinya saat mendengar jawaban itu.
“Kalau rumahnya pak Faiz letaknya di mana.”
“Ndak jauh dari sini, neng. Lurus aja lalu belok kanan sampai ketemu danau kecil. Rumah pak Faiz di depan danau itu.
“Em, maaf pak. Pak Faiz yang bapak maksud yang....em, kakinya....”
“Maksud neng, cacat? Iya beliau pakai kursi roda. Memang neng ini kenal dengan Pak Faiz? Kata orang-orang kampung sini, beliau orangnya baik sekali. Kalau saya sih, dari desa sebelah. Tapi pak Faiz memang sangat terkenal baiknya.”
“Baiklah, pak. Terima kasih. Saya akan segera ke sana.”
“Sama-sama, neng.”
Ara melanjutkan perjalanannya menuju kebun bunga. Jalanan di desa itu lumayan bisa dilalui mobil meskipun masih berupa jalan makadam. Akhirnya Ara sampai di kebun bunga Faiz. Kebun itu sangat luas. Hamparan bunga beraneka warna dan rupa sedang berkembang, seperti pelangi melingkari bumi. Berlatar belakang pegunungan dan siluet senja, pemandangan dihadapannya begitu sempurna.
Ia selalu bisa menemukan tempat yang istimewa. Batin Ara. Ia menghentikan kendaraannya beberapa waktu, menikmati lukisan semesta yang sayang bila dilewatkan begitu saja. Ia lalu meneruskan perjalanannya mencari rumah Faiz sesuai petunjuk bapak tua yang ditemuinya tadi. Ternyata benar, rumah Faiz tak jauh dari kebun itu, hanya sekitar 300 meter. Rumah yang sangat asri dan menyatu dengan sekitarnya tanpa pagar. Terasnya menghadap danau kecil yang terawat bersih. Jantungnya serasa melompat saat dari jauh terlihat seorang laki-laki sedang duduk di kursi rodanya, menatap danau menikmati senja. Mata Ara memanas, ia nyaris tak bisa menahan diri untuk segera mendekatinya. Tapi ada sesuatu yang menahannya. Ia tak mau merusak pertemuan mereka karena ia yakin, Faiz tak akan mau menerimanya seperti dulu. Ia ingin menyiapkan pertemuan yang tak akan bisa ditolaknya. Ara buru-buru menjalankan mobilnya kembali sebelum ia benar-benar tak sanggup menahan diri untuk menemui Faiz. Selaksa bahagia menyelusup lembut di ruang hampanya melihat kekasih hatinya baik-baik saja.
Malam itu ia menginap di rumah salah seorang warga desa yang kebetulan kepala sekolah di satu-satunya sekolah yang ada di desa itu. Ia ingin menggali semua cerita tentang Faiz dan mencari celah untuk langkah yang akan dia ambil.
***
Dalam kesunyiannya, Faiz menjalankan bisnis peternakan dan kebun bunga jauh dari keramaian dan kenangan masa lalu yang menyakitkan. Ia tinggal bersama pembantunya, pak Somad dan bibi Nur, suami istri yang sudah dua tahun ini setia mendampinginya. Faiz suka termenung sendiri di tepi danau menikmati senja dan mengenang pelepah demi pelapah kenagannya bersama Ara. Hanya itu yang ia miliki. Ia tak ingin Ara tahu keadaannya sekarang.
Anak-anak kampung kadang menjadi penghiburnya. Mereka suka menemaninya setiap Sabtu sore dan ia akan bercerita atau mengajari mereka melukis. Salah satu anak yang sangat ia sukai adalah Intan. Ia anak yang cerdas dan tak malu bertanya-tanya tentang segala hal yang tak diketahuinya. Ia juga berbakat menggambar. Ia pernah menanyakan lukisan besar seorang gadis yang terpampang di dinding rumahnya. 
Saat itu Intan sedang membantu bibi Nur menyiapkan kue-kue untuk teman-temannya yang sedang asyik membuat prakarya.
“Om, lukisan gadis di ruang tengah itu bagus sekali. Seperti beneran. Lukisan siapa, om?” tanya Intan.
Faiz tersenyum. 
“Oh, itu hanya lukisan seorang gadis dalam khayalan om.”
“Ah masak sih. Pasti gadis itu ada beneran. Cantik deh, om.” Faiz tertawa.
“Namanya siapa, om?”
“Ara.”
“Om suka ya padanya?”
“Menurutmu bagaimana?”
“Menurut Intan, om cintaaa... banget sama gadis itu. Buktinya sampe om Faiz bisa melukisnya sebagus itu.” Faiz mengacak rambut Intan sambil tertawa. Intan banyak memiliki kesamaan sifat dengan Ara. Matanya yang cerdas dan berpendirian teguh, selalu mengingatkannya pada sosok gadis yang sekarang entah dimana. Mungkin ia malah sudah berkeluarga dan tak sedikitpun mengingatnya. Itulah mengapa ia sangat menyukai Intan.
“Kalau om Faiz cinta, kenapa tak menikah saja dengan dia?”
“Tapi kan om Faiz tidak lagi bisa berjalan. Pasti ia tak mau jadi istri om. Apalagi om nggak tahu sekarang ia ada dimana.”
“Menurut Intan kalau dia memang cinta harus bisa menerima kalau om bisa jalan atau enggak.”  “Kau ini sok ngerti aja, Tan.”
“Bener, om. Kayak mamaknya Arif tuh, tetep sabar waktu ayahnya Arif sakit parah nggak sembuh-sembuh. Tiap hari jagain, merawatnya sampai meninggal. Sampai sekarang mamaknya nggak menikah lagi.”
Faiz merasa tersindir dengan perkataan Intan.
“Sekarang kita nggak usah bicarakan itu lagi ya. Lagian Intan dah ditungguin teman-temannya tuh, ntar ketinggalan melukisnya.” 
Intan segera bergabung dengan teman-temannya, menyisakan Faiz yang hanya bisa menelan kepahitan dalam diam.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar